Mongabay.co.id

Industri Sawit Harus Serius Terapkan Keberlanjutan Lingkungan dan Tak Langgar HAM

Hutan rusak jadi kebun sawit di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Sejumlah pihak menekankan industri sawit penting menjaga keberlanjutan lingkungan dan menghormati hak-hak masyarakat. Dengan begitu, komoditas ini bisa memenuhi tuntutan kebutuhan pangan yang terus meningkat sekaligus mempertimbangkan masa depan bumi dan tak melanggar hak asasi manusia. Hal itu mengemuka dalam International Conference on Palm Oil and Environment (ICOPE) 2018 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali pada 25-27 April 2018.

Aditya Bayunanda, Direktur Kebijakan dan Perubahan Keberlanjutan WWF Indonesia mengatakan,  tak bisa dipungkiri sebagian pelaku industri sawit di Indonesia masih bermasalah, termasuk penggunaan lahans ilegal ataupun mengelola kebun di dalam kawasan hutan.

“Kita harus mengakui memang masih ada masalah tetapi pada saat sama juga sedang berusaha memperbaikinya,” kata Dito, panggilan akrabnya.

Dia menyampaikan pendapat ini menanggapi ancaman boikot dari negara-negara di Eropa terhadap ekspor sawit. Menurut dia, memberikan informasi berimbang tentang kondisi sawit di Indonesia akan lebih mampu menjawab persoalan daripada membalas dengan perang dagang.

“Tunjukkan memang ada yang melanggar tetapi ada juga yang positif. Sampaikan dengan cara berimbang. Itu salah satu kunci,” katanya.

Saat ini,  Indonesia menghadapi tekanan internasional terkait ancaman terhadap keberagaman lingkungan akibat industri sawit. Industri sawit jadi salah satu penyebab deforestasi dan peningkatan suhu bumi.

Untuk itu, kata Dito, industri sawit harus melakukan intensifikasi, bukan ekstensifikasi atau peluasan perkebunan.

Sisi lain, pelaku industri sawit juga harus memastikan, praktik bisnis mereka telah memerhatikan aspek-aspek selain ekonomi, seperti lingkungan, hak asasi manusia, dan kesejahteraan petani kecil.

Di Indonesia, katanya, sudah ada beberapa mekanisme memastikan bisnis sawit di memenuhi standar keberlanjutan, seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

 

 

Upaya pemerintah

ISPO merupakan lembaga yang dibuat pemerintah Indonesia untuk memastikan praktik bisnis minyak sawit berstandar berkelanjutan. Lembaga ini diluncurkan Menteri Pertanian (Mentan) pada Maret 2011 dan diperbarui Maret 2015. Kini, aturan ini masih proses penguatan.

“Tujuan lembaga ini antara lain memastikan perusahaan-perusahaan minyak sawit mematuhi peraturan pemerintah, termasuk dalam isu lingkungan seperti mengurangi emisi gas rumah kaca, mencegah deforestasi, dan menyelamatkan lingkungan,” kata Azis Hidayat, Ketua ISPO pada Jumat (27/4/18).

Sebagai pemain penting dalam industri minyak sawit,  katanya, Indonesia berperan besar dalam pencegahan kerusakan lingkungan dan memastikan produksi minyak sawit menerapkan bisnis berkelanjutan untuk konsumen dunia.

Perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia, katanya,  harus memenuhi standar ISPO. Dengan begitu, produk sawit Indonesia tak hanya bisa memenuhi daya saing global juga memerhatikan masa depan bumi.

ISPO memiliki sejumlah standar. Perusahaan yang memenuhi standar itu, katanya, akan mendapatkan sertifikasi ISPO. Saat ini, ISPO memberikan sertifikat  kepada 346 perkebunan sawit, terdiri dari 342 perusahaan, tiga koperasi plasma, dan satu petani kecil. Adapun luas lahan yang telah tersertifikasi ISPO sebanyak 2,041 juta hektar dengan produksi 8,757 juta ton.

Sampai April 2018, ISPO telah menerima pendaftaran 619 perkebunan dengan 610 adalah perusahaan, enam KUD Plasma, dan tiga petani kecil.

 

 

Lembaga multipihak

Selain ISPO,  yang bersifat wajib, dan  lembaga bentukan pemerintah Indonesia, ada juga RSPO,  merupakan lembaga multipihak. RSPO beranggotakan dari perusahaan perkebunan, pengolah minyak sawit, organisasi non-pemerintah, bank, investor hingga pabrik pengolahan makanan. Hingga Juni 2017, RSPO memiliki 3.442 anggota di 89 negara, termasuk Indonesia.

Tiur Rumondang, Direktur RSPO Indonesia, mengatakan lembaga ini menerapkan delapan prinsip dalam standar, termasuk transparansi, kepatuhan pada hukum dan peraturan, serta dampak ekonomi jangka panjang. Dari sisi lingkungan, prinsip RSPO meliputi tak boleh ada pembabatan hutan, pembakaran, maupun penanaman di lahan gambut. Perusahaan yang menerapkan standar RSPO juga harus menghormati hak asasi manusia (HAM) dan menerapkan transparansi.

Untuk menjawab isu keberlanjutan, ada tiga tahapan RSPO yaitu menentukan standar, mengukur dampak, dan memastikan agar standar yang diterapkan. “Kami mungkin tak sesempurna yang diinginkan pasar, tetapi kami dari tahun 2004 sebisa mungkin memasukkan semua orang dalam proses dengan transparansi yang kami bisa,” katanya.

Secara global, katanya, 19% minyak sawit dunia menggunakan sertifikasi ber-RSPO. Dari 19% itu, 52% adalah produk Indonesia. Tak hanya diproduksi perusahaan besar, minyak sawit Indonesia berstandar RSPO itu juga hasil sembilan kelompok petani kecil dengan luas lahan 130.000 hektar. Mereka tersebar antara lain di Sumatera Selatan, Jambi, dan Kalimantan Tengah.

Dengan ada sertifikasi berstandar RSPO, katanya, berarti pelaku industri sawit telah memerhatikan aspek sosial dan lingkungan dalam praktik bisnis. Namun, kata Tiur, proses ini masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti sulit mendapat hak guna usaha (HGU) sesuai standar RSPO bagi pengeloa perkebunan, sisi lain, pemerintah belum memiliki aturan detail terkait HGU.

“Kami selalu menekankan, penggunaan lahan harus dengan cara-cara baik. Tidak boleh ada intimidasi, proses harus terbuka dan melibatkan semua pihak, tak hanya sebagian kalangan, serta didokumentasikan. Agar tidak muncul konflik sosial akibat penggunaan lahan,” katanya.

Perusahaan sawit sendiri mengklaim, selama ini mereka juga sudah menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Daud Dharsono, CEO Sinar Mas Agribusiness and Food, mengklaim,  selama 34 tahun di bisnis sawit dan turunan, Sinar Mas sudah mempertimbangkan tiga hal yaitu people (manusia), planet (lingkungan), dan profit.

“DNA Sinar Mas adalah keberlanjutan. Kami selalu menjaga agar tiga hal itu berjalan seimbang,” katanya.

 

Foto utama: Hutan rusak jadi kebun sawit di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay

 

 

Exit mobile version