Mongabay.co.id

Ratusan Bajing Dilepas di Halaman Balai Kota Surabaya, Dampaknya Terhadap Lingkungan?

Sekitar 300 ekor bajing (Callosciurus notatus) dilepaskan di Taman Surya, halaman Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Kamis (26/4/2018). Satwa liar ini donasi dari sebuah perusahaan bernama Erha Clinic.

“Sudah lama saya ingin melihat bajing di halaman balai kota, karena menurut saya akan sangat bagus. Burung dara (merpati) sudah banyak di sini, kalau musim hujan juga banyak kupu-kupu dan capung, nah saya ingin ada bajing atau tupai juga,” tutur Risma.

Keberadaan satwa ini, menurut Risma, akan membuat halaman balai kota semakin lestari dan hidup. Ide adanya bajing, Risma terinspirasi saat kunjungannya keluar negeri, melihat satwa ini tidak takut manusia.

“Saya lihat di luar negeri, makhluk ini tidak takut orang,” ucapnya.

Risma mengatakan, pelepasan bajing diharapkan menjadi sarana edukasi anak-anak. Mereka dapat melihat langsung di halaman balai kota. Ayo kita sayangi, agar anak-anak kita tahu dan pastinya jangan ada yang menangkapnya. “Jumlahnya tidak akan ditambah lagi, menunggu perkembangan lebih lanjut dari pelepasan ini,” jelasnya.

Bajing-bajing ini diperoleh dari beberapa daerah di Indonesia, serta beberapa yang telah dipelihara di Jakarta. Andreas Bayu Aji, selaku Corporate Affairs Director Erha Clinic mengatakan, pihaknya menyanggupi permintaan Wali Kota Surabaya, sebagai bentuk upaya pelestarian lingkungan. Agar kota terbebas dari hama maupun serangga yang mengganggu.

“Ide ini dari Ibu Risma, yang berencana melepasnya di Taman Surya. Kebetulan kantor kami di Jakarta ada beberapa dan dari daerah juga.”

Menurut Andreas, satwa ini merupakan bajing kelapa yang banyak hidup di pohon kelapa. Di Halaman Balai Kota di Taman Surya itu, cukup dilepas liar saja, dengan menyiapkan tempat-tempat untuk pakannya, seperti buah-buahan dan jagung.

“Kami sarankan, ada tempat bagi bajing untuk hinggap di pohon. Karena di sini, tidak banyak pohon yang berbuah sehingga diberi jagung juga,” ujarnya.

 

Bajing ini dilepas di di Taman Surya, halaman Balai Kota Surabaya, Jawa Timur. Kajian mendalam diperlukan sebelum pelepasliaran, terutama mengenai daya dukung habitat dan ketersedian pakan. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Potensi jadi hama

Ketua sekaligus pendiri PROFAUNA Indonesia, Rosek Nursahid mengungkapkan, untuk pelepasan satwa liar, harus memperhatikan prosedur yang ada agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Pelepasan bajing ini, harus melalui karantina kesehatan, lalu pengecekan perilaku yang memang siap dilepas ke alam. Rosek juga mempertanyakan kesiapan habitat tempat pelepasan ini, apakah sudah sesuai habitat aslinya atau belum.

“Seharusnya, ada kajian daya dukung lokasi pelepasan atau habitat. Daya dukung ini meliputi ketersediaan pakan serta musuh alami dan kompetitornya,” jelasnya.

Ketersediaan tempat untuk bersarang atau tempat tinggal bajing, hendaknya juga dipikirkan dengan baik, sehingga bila mereka tidak menemukan apa yang dibutuhkan dapat menyebabakan bajing mencari tempat di luar Taman Surya. “Ini yang dikhawatirkan karena bajing termasuk satwa yang perkembangannya cepat. Kalau tidak ada predator alami, populasinya akan meledak dan kemudian menjadi hama, akan bermasalah di kemudian hari.”

 

Bajing biasa hidup di pohon, sehingga ketersedian pakan alaminya harus ada. Bukan mengandalkan pakan pemberian manusia. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Keberadaan bajing maupun tupai, kata Rosek, tidak dapat disamakan dengan keberadaan burung merpati atau kupu-kupu di Taman Surya. Selain sebagai satwa pengerat, bajing butuh tempat untuk tinggal dan pakan yang cukup seperti biji-bijian, buah-buahan, tanaman, dan jenis lainnya, yang justru lebih berpotensi merusak bila dibandingkan dengan burung merpati.

Bajing yang dilepaskan di halaman Balai Kota Surabaya menurut Rosek, dapat dipastikan diperoleh dari alam liar, melalui proses penangkapan atau perburuan. Menurut peraturan yang berlaku, menangkap semua jenis satwa liar di alam, baik dilindungi maupun tidak, harus mendapatkan izin dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

“Seharusnya demikian, walau pun itu tidak dilindungi, agar dapat terpantau kuota tangkapnya. Pertanyaannya adalah kenapa pelepasan ini tidak melalui kajian matang terlebih dahulu,” jelas Rosek.

 

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memperhatikan sekumpulan bajing di kandang sebelum dilepaskan di Taman Surya, halaman Balai Kota Surabaya, Jawa Timur. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Wirdateti, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang pernah meneliti perilaku bajing maupun tupai mengungkapkan, istilah pelepasliaran yang digunakan kali ini sudah keliru. Ini dikarenakan, habitat tempat pelepasan bukan habitat asli. Pakan alaminya juga tidak terpenuhi, malah disediakan.

“Tidak tepat untuk melepaskan satwa kalau habitat tidak mendukung. Melihat halaman kantor wali kota itu, sangat tidak tepat untuk bajing, karena tidak ada (banyak) pohon yang memungkinkan mereka bebas bergerak. Juga hidup dari pohon ke pohon arboreal, beerta ketersediaan pakan yang juga jadi persoalan,” terangnya.

Selain itu, lanjut Wirdateti, habitat bajing di Taman Surya berbeda dengan habitat aslinya, sehingga akan menimbulkan kesulitan bagi satwa itu untuk adaptasi. Pada akhirnya, dapat mempengaruhi keberlangsungan hidupnya di alam.

“Ke depan, ini bukan hanya berpotensi menjadi hama, tapi mungkin saja mereka tidak dapat bertahan hidup karena habitat yang mendukung pergerakan dan kebutuhan pakannya tidak terpenuhi. Bajing bukan satwa di atas tanah, berbeda dengan burung merpati,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version