Mongabay.co.id

Abrasi di Rangsang Barat Sangat Mengkhawatirkan

Tepi laut terus terkikis...Abrasi menghilangkan rumah dan kebun warga di Pulau Rangsang Barat. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Rumah, kebun warga di Pulau Rangsang Barat, Kepulauan Meranti, Riau,  sudah banyak menjadi laut. Tanah-tanah mereka terkikis gelombang besar. Abrasi begitu mengkhawatirkan. Warga entah mau pindah ke mana lagi kalau abrasi terus terjadi. Kini mereka berupaya melindungi ruang hidup mereka dengan menanam mangrove…

 

Kadar Siono,  tampak sibuk mengangkut pengeras suara ke tepi laut Dusun Demba, Desa Anak Setatah, Kecamatan Rangsang Barat, Kepulauan Meranti, Riau. Bersama anak buahnya, dia bolak-balik menarik gerobak dengan sepeda motor dari rumahnya di Dusun Karet.

Kadar juga dibantu pemuda setempat membersihkan pendopo tempat pengumpulan ikan. Mereka menata kursi dan meja serta memasang spanduk di dinding aula.

Matahari mulai muncul. Siswa sekolah dari Kecamatan Tebing Tinggi Timur dan Rangsang Barat,  mulai berdatangan pada Kamis pagi, (26/4/18).  Mereka menunggu diskusi di pondok-pondok kecil sembari menikmati ombak.

Ada pemandangan miris di pulau itu, tepian laut terkikis. Kampung warga makin menyempit.  Abrasi pulau ini  sangat mengkhawatirkan.

Diskusi, ini diadakan juga sebagai bentuk kepedulian bersama atas masalah abrasi di pulau ini.

Kadar Siono, adalah tokoh penggerak penyelamat mangrove di pulau itu. Selain penggagas acara, dia juga pembicara tentang mangrove di hadapan siswa pagi itu.

Bersama Sopandi, Ketua Sanggar Bathin Galang, selain diskusi dengan siswa, dia juga mengajak seniman dari berbagai latar belakang kelompok seni di Kepulauan Meranti turut serta.

Sopiandi berharap, masyarakat mulai sadar terhadap ancaman abrasi. Kegiatan bersama Kadar ini bertema “Rangsang Island Internasional Music Festival (RIIMF) 2018.” Selain menanam mangrove, ia juga mengajak para pegiat seni ikut bersuara terhadap abrasi di pulau-pulau Kepulauan Meranti.

Saat diskusi berlangsung, para pegiat seni dan grub band lokal sibuk memasang perkakas musik, persis membelakangi laut.

Diskusi tak berlangsung lama. Kadar menjelaskan sekilas tentang jenis mangrove dan penyebab abrasi di Desa Anak Setatah terutama di Dusun Demba.

Dia bilang, ada dua jenis mangrove yang banyak hidup di Pulau Rangsang, api-api dan bakau.

“Api-api lebih cocok menahan gelombang laut penyebab abrasi,” katanya.

Saat air laut mulai surut, setelah memberi penjelasan, para siswa diajak turun menanam bibit api-api. Mereka memasukkan bibit dalam gorong-gorong beton yang sudah tersusun.

Kadar bilang, gorong-gorong ini supaya menahan bibit api-api dari deburan ombak, menjelang tumbuh besar dan mengakar dengan kokoh. Akarnya, dapat menahan lumpur hingga tak terbawa ke laut.

Penanaman bibit api-api di bawah terik matahari itu dihadiri oleh Said Jamhur, Camat Rangsang Barat.  Dia yang beri ide memakai gorong-gorong.

 

Para siswa turun ke laut menanam bibit api-api. Harapannya, kalau tumbuh besar untuk menghalang gempuran ombak. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Abrasi parah, tanam mangrove

Penanaman api-api di Dusun Demba,  sudah berulangkali. Sejak Pemerintahan Kabupaten Bengkalis—Kepulauan Meranti mekar jadi kabupaten pada 2009—selalu gagal. Dari ribuan bibit yang ditanam, tak sampai 10 batang bertahan hidup.

Penduduk berulang kali menyulam bibit yang gagal tumbuh. Bila hanyut diterjang ombak, ditanam lagi. Begitu terus.  Salah satu cara menahan ombak, mereka memagari bibit mangrove dengan belahan bambu. Tetap saja gagal.

Hari itu, Kadar baru pertama kali menanam di Dusun Demba. Tanam mangrove, katanya,  harus sabar dan tekun.

Sebelumnya, pernah ada kelompok masyarakat peduli abrasi diketuai oleh Syamsul Bahari, di Dusun Demba.

Dia bersama warga sekitar menanam api-api pada 2009. Sayangnya, belum tumbuh besar, ribuan api-api justru tumbang oleh ombak besar.

“Saya menangis melihat kejadian itu,” kata Syamsul Bahari.

Pulau Rangsang, terutama Dusun Demba, berhadapan langsung dengan Selat Malaka. Ombak besar muncul pada Oktober hingga Februari. Masdur, Ketua RT, mengatakan, ikan pun akan naik ke daratan karena terhempas gelombang.

“Mau tidur kadang tak bisa karena suara ombak sangat keras,” katanya.

 

Gorong-gorong beton ini sebagai pagar bibit mangrove. ia diharapkan bisa menahan tanaman dari gempuran ombak. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Daratan Dusun Demba sudah terkikis ombak sekitar dua kilometer. Dia sudah menghilangkan perkampungan, rumah warga, rumah ibadah, makam hingga kebun masyarakat.

Khaidir, Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Anak Setatah mengatakan, kebun orangtuanya sudah hilang.

“Kebun durian dan sagu masyarakat makin habis. Saya lahir di laut itu, yang dulu masih daratan seperti ini,” kata Khaidir, sambil menunjuk ke laut.

Syamsul Bahari, bahkan lebih khawatir lagi mereka tak punya tanah untuk pindah kalau lahan terus terkikis ombak. 

Sehari setelah menanam mangrove dan sebelum meninggalkan Pulau Rangsang, Sopandi mengajak saya mendatangi lokasi lain juga alami abrasi.

Mereka pergi ke Desa Bantar,  yang bersebelahan dengan Desa Anak Setatah. Saya berdiri persis di belakang rumah warga,  Nuryati dan Yusri. Rumah mereka hanya beberapa langkah ke tepi laut. Ada sedikit pohon api-api mulai tumbuh besar. Itu ditanam warga dari bibit dari Kadar Siono.

Kata Yusri, rumah mereka sebelumnya jauh di depan sebelum terkena abrasi. Dia sudah tiga kali pindah. Kebunnya sudah banyak hilang. Tanah yang ditempati sekarang pun pemberian Kepala Desa Bantar. “Kami tak ada tanah lagi.”

Nuryati pun begitu. Rumah yang ditempati sekarang milik orangtuanya. Rumah kakaknya pun sudah habis tenggelam. “Kalau musim ombak besar, air sampai ke atap rumah ini.”

Kondisi sama juga terjadi di Desa Permai, bersebelahan dengan Desa Bantar. Di tepi laut desa ini ada cafe tempat tongkrongan sore hari hingga malam. Ia dibuat dengan pondok-pondok kecil beratap nipah. Sebagian kaki pondok itu sudah mulai terlepas karena tanah terkikis ombak bahkan tampak akan roboh.

Beberapa meter dari bangunan pondok-pondok kecil itu ada turap batu bronjong sepanjang 75 meter. Meskipun begitu, turap tidak mampu menahan ombak karena kurang tinggi. Abrasi melampaui dinding dengan batu-batu besar itu.

 

Tanah terkikis, daratan makin menyusut. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Harun, nelayan yang tengah membongkar kayu bakau dari sampan, mengatakan, daratan Desa Permai, dulu sempat menyatu dengan Desa Anak Setatah. Ada jalan yang sempat menghubungi kedua desa itu. Kini, kedua desa itu hampir terpisah.

“Bahkan, Tanjung Motong itu sedikit lagi akan habis,” kata Harun, sambil menunjuk daratan yang sedikit menjorok ke depan.

Napas pria 61 tahun ini tersengal-sengal saat becerita. Sekitar tiga kilometer dari tempat kami berdiri mengarah ke laut, bekas perkampungan masyarakat. Di sana, ada tanah datuknya, dulu kebun durian, sagu juga karet.

“Saya lahir di tengah laut itu. Tapi dulu, saat masih daratan,” kata Harun dan kembali ke sampan lalu membasuh kaki.

Desa Permai,  sama sekali tak ada mangrove. Bukan karena tak tahan dengan terjangan ombak. Kata Sopandi, pemilik cafe tak mau tanam mangrove karena takut tak nampak laut untuk pemadangan orang-orang yang nongkrong.

Sayangnya, saat saya berada di sana, cafe masih sepi dan pemilik belum datang. “Mungkin sore atau malam baru ada,” kata Sopandi.

 

***

Efialdi, Kepala Bagian Perbatasan di Pemerintah Kabupaten Meranti juga hadir. Dia datang setelah semua bibit mangrove ditanam dan ketika para seniman menyanyi, bermain musik, menari dan berpuisi.

Dia tengah merancang ide memecah ombak supaya mangrove tidak sia-sia. Pekerjaan menyelamatkan abrasi di pulau-pulau itu akan melibatkan semua instansi di Meranti.

“Tak bisa satu instansi saja, seperti Dinas Perikan dan Kelautan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, harus terlibat menyelamatkan pulau-pulau terdepan dan terluar ini dari abrasi,” katanya.

Dia ingin memanfaatkan abrasi ini jadi pendapatan daerah lewat pariwisata. Idenya, dengan manancapkan tiang-tiang besar di tengah laut dan menimbun batu besar di dasar laut supaya ada pemecah ombak. Lalu, akan dibangun jalan di tengah laut dengan menambah rumah terapung di sisi jalan itu.

Dengan begitu, katanya, baru tanam mangrove, pasti tak akan terganggu oleh hempasan ombak. “Karena sudah ada pemecah ombak di depan.” Namun, dia tak membahas soal tiang dan batu-batu itu berpotensi merusak bawah laut.

Dia membayangkan, ada permain rakyat lokal di sekitar kawasan  itu. Efialdi hendak merangkai pulau-pulau itu supaya mobilitas dan akses masyarakat lebih mudah.

“Harga-harga akan lebih murah,” katanya.

Ide Efialdi baru wacana dan baru dibahas pada rapat koordinasi antarinstansi, 2 Mei ini.

Saat ditanya mengenai kajian dan dampak rencana itu, katanya, akan mengundang ahli terlebih dahulu. Termasuk bicara dengan masyarakat sekitar yang akan terdampak langsung dengan ide ini.

 

Foto utama: Tepi laut terus terkikis…Abrasi menghilangkan rumah dan kebun warga di Pulau Rangsang Barat. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version