Mongabay.co.id

Ini Layangan Ramah Lingkungan dari Bali yang Melangit di Negara Eropa. Seperti Apa?

Natural Anger, demikian nama sebuah layangan yang terbuat dari sisa materi alami seperti guguran daun dan bambu. Layangan itu berbentuk makhluk astral berkaki dua, berwajah monster sebagai penggambaran kemarahan alam. Bentuk itu terinspirasi Barong Ket, salah satu tarian sakral Bali, simbol kebajikan melawan angkara murka.

Kadek Dwi Armika, seniman muda Bali pembuat Natural Anger menjelaskan cerita menarik dari layangan itu. Saat itu, layangan itu diterbangkan di acara festival layangan internasional yang bertujuan sebagai kampanye isu perubahan iklim di kota Dieppe, Perancis pada 2010.

Setelah lenggak lenggok di langit kota Dieppe, Natural Anger terbawa angin kencang dan hujan, jatuh entah di mana.

Armika pasrah. Dia mengira layangan tak bisa ditemukan lagi. Dedaunan membuat layangan ini sangat ringan, sehingga bakal jatuh jauh jaraknya dari lokasi penaikkannya. Dia tenang karena layangan berbahan alami, tidak bakal meracuni lingkungan.

Namun, beberapa saat kemudian sebuah truk pemadam kebakaran mengembalikan layangannya, utuh. Ternyata seorang warga menemukannya nyangkut di atas apartemen dan menelepon bantuan petugas untuk menurunkannya. Petugas langsung bisa mengidentifikasi sebagai layangan peserta festival. Armika kaget bukan kepalang saat menerima kembali layangannya.

 

Foto-foto layangan Natural Anger dalam buku, yang diterbangkan dalam festival layangan internasional bertema kampanye isu perubahan iklim di kota Dieppe, Perancis pada 2010. Latar belakangnya, Kadek Dwi Armika, pembuat layangan tradisional Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Simbol kemarahan alam karena meningkatnya emisi yang membuat perubahan iklim ini malah memberikan kesan mendalam untuknya. Persaudaraan dan keramahan warga di Perancis. “Mereka sangat menghargai layangan daun seperti ini,” ia sumringah. Perancis pun menjadi langganan tempat Armika menerbangkan aneka layangan kreasi ramah lingkungannya karena kerap diundang ke sejumlah festival.

 

Bahan Alami

Saat ditemui di rumahnya di Sanur, Denpasar, Bali pada Kamis (26/4/2018), Armika memperlihatkan karya lainnya, semua terbuat dari daun-daun kering, ranting, dan bambu. Layangan paling mencolok adalah Janggan Merak. Lebarnya 2,5 meter dan panjang ekor jika terbang sekitar 25 meter.

Janggan dimodifikasi dari layangan tradisional Bali, yang biasanya berkepala naga berekor puluhan meter. Bahkan ada Janggan raksasa dengan ekor ratusan meter yang dibuat sebuah kelompok muda banjar di Sanur.

Jika biasanya terbuat dari kain, di tangan Armika, Janggan Merak terbuat dari dedaunan. Ada daun bambu, anyaman bambu, dan kayu solid seukuran kepalan tangan untuk bagian ukiran topeng burung. Ekornya dirangkai dari jalinan ibung, daun janur Sulawesi.

Dibanding layangan Janggan sejenis dari bambu dan kain, beratnya jauh lebih ringan. Meski terlihat rapuh, namun saat berkibar di udara bisa sangat tinggi. Kombinasi daun dan angin adalah duet maut di langit. Layangan burung ini seperti mengkampanyekan perlindungan satwa liar.

baca : Melihat Penangkaran Jalak Bali di TNBB Bali. Begini Ceritanya

 

Layangan tradisional Bali, Janggan Merak (burung merak) berbahan alami ramah lingkungan. Layangan buatan Kadek Dwi Armika ini bertema kampanye pelestarian satwa liar. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ada juga The Owl, berbentuk burung hantu yang terlihat sederhana pembuatannya. Semua bahan dirangkai dari daun bambu, membentuk mata dan hidung. Sementara bulu-bulunya, potongan daun ditumpuk jadi seperti bulu burung yang lebat. Agar bulu memiliki warna berbeda, layangan menggunakan daun kering muda dan tua kecoklatan.

Ia membuat The Owl sepasang berukuran 1,20 dan 1,60 meter namun tersisa di rumahnya satu unit. “Lainnya diambil museum Turki. Saya terus dikejar karena tak jual layangan,” katanya. Karena alasannya untuk pelestarian dan dipajang di museum, ia memberikan si burung hantu. Armika senang mengoleksi layangan karyanya sendiri. Namun permintaan terus muncul dari sejumlah orang yang sangat ingin mengoleksi. Beberapa layangan dilepas seperti layangan berjudul Simple Leaf.

Simple leaf sangat sederhana, dirangkai dari tangkai janur palem hutan, tali, dan bambu saja. Bentuk janurnya pun seperti aslinya saat dibeli, dilengkungkan menjadi sepasang sayap. Kuncinya, jumlah janur kedua sayap harus sama agar seimbang. Terlihat mudah dibuat, tapi pembuat layangan harus memahami konstruksi dan aerodinamika.

Penggunaan bambu, selain sebagai kerangka yang kuat dan ramah lingkungan, Armika punya misi lainnya. Ia ingin memberi pesan jika bambu berkualitas main sulit ditemukan karena petani atau penjualnya tak mempedulikan cara panen dan pemeliharaan yang baik.

“Bambu berkualitas makin langka, kalau jual ditebang habis semuanya, jenis bambu habis,” keluhnya. Menebang bambu ada resepnya. Armika meyakini kearifan lokal di Bali dalam budidaya, panen, serta pemeliharaan. Ia sendiri menggunakan bambu dengan nama lokal Jajang dan Betung Lengis karena kekuatannya bagus.

baca : Gara-gara Sampah, Sebuah Mall di Bali Jadi Ramai. Ada Apa?

 

Layangan bernama Simple Leaf, terbuat dari bahan alami daun palem hutan. Meski terlihat sederhana, layangan karya Kadek Dwi Armika dari Denpasar, Bali, pembuatannya memperhatikan unsur aerodinamika. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay-Indonesia

 

Kolesi Museum Luar Negeri

Layangan bukan hal asing di Bali. Tradisi yang terus dilestarikan termasuk pembuatan layangan tradisional. Bebean (bentuk ikan) dan Janggan (naga) adalah jenis yang paling banyak dibuat dan dilombakan tiap tahunnya. Ada juga sesi layangan kreasi yang dieksplorasi dari berbagai bahan dan bentuk.

Armika juga bermula dari seniman dan pecinta layangan tradisional. Ia menyukai layangan Bebean atau Jangan knock down. Bisa dibongkar pasang agar lebih aman dibawa dan tidak membuat kemacetan lalu lintas karena rata-rata ukuran layangan ini sangat besar lebih lebar dan panjang dari truk.

Kemudian ia menentukan sikap. Armika melihat pelepah pisang, daun bambu, daun janur, lidi, dan bambu bisa dikreasikan sebagai layangan yang indah, estetik, dan tak membuat limbahnya berbahaya. Selain itu ia pernah mengeksplorasi kertas sebelum memastikan pilihannya di dedaunan sampai saat ini.

Pilihannya tepat, layangan dengan bahan baku daun direspon sangat baik terutama luar negeri. Ia rutin mendapat undangan untuk menerbangkan kreasi-kreasinya. Tantangannya adalah mengemas bahan baku ringan dan rentan hancur ini agar selamat sampai tujuan. Tipsnya adalah membawa bahan baku lebih sebagai cadangan. Semua dedaunan mudah mengkerut dan hancur jika terlalu panas. Semua materi dirakit di lokasi karena ide dan alat yang dibutuhkan sederhana. “Dirakit di sana sekitar 5-10 menit,” ujarnya.

Sejauh ini Armika tak menghitung detil jumlah layangan daun yang dibuatnya. Ia masih menyiapkan arsip digital sekaligus media berbagi pengetahuan. Karena itu ia menyanggupi jika ada pihak museum yang mau merawat karyanya.

Ironisnya, belum ada museum di Bali yang mengoleksi layangannya. Hanya dikoleksi dihampir semua museum di luar negeri dan satu museum layangan di Jakarta. “Heran saya, di luar negeri museum itu sangat kreatif bisa betah berlama-lama. Pemasukannya luar biasa,” tutur pria lulusan arsitektur Universitas Udayana ini. Mimpi yang dipupuknya sejak membuat tugas akhir kuliah dengan membuat sketsa museum layangan.

Exit mobile version