Mongabay.co.id

Sumber Hidup Terancam, Nelayan Protes Rencana Pengerukan Danau Poso (Bagian 1)

Danau Poso, tempat warga nelayan menggantungkan hidup. Kini, nelayan khawatir pagar sogili, wahana tangkap ikan mereka hancur kalau rencana pengerukan danau berjalan. Foto: Andika Dika/ Mongabay Indonesia

 

 

Roy, sehari-hari sebagai nelayan tradisional di Danau Poso. Hari itu, dia tampak duduk santai menunggu waktu mencari ikan. Hujan rintik-rintik membasahi bumi.

Rumahnya persis di bantaran Rano Poso, aliran hulu Sungai Sulewana, pintu keluar alami air danau yang mengalir ke hilir di Kota Poso.

“Nelayan di Danau Poso, kerjanya malam, kita berangkat tergantung cuaca. Kalau cuaca bagus, mulai pukul 7.00 malam sampai pukul 5.00 pagi. Saya berangkat keliling danau, kalau lagi bagus, kita cuaca keliling danau. Tadi malam kami dapat ikan mas tiga ekor,” kata Papa Stevi, biasa warga Tentena, memanggilnya.

Papa Stevi, bersama nelayan lain, mencari ikan Danau Poso sebagai mata pencaharian utama untuk menghidupi keluarga.  “Hasil sangat tergantung cuaca, kadang lebih dari lima kilogram, kadang kurang dari itu,” katanya.

Ada tiga jenis ikan paling sering ditangkap di sini, yakni, sogili, ikan mas, dan mujair. Kadang ada juga gabus.

“Cara menangkap ikan kita tradisional, ikan kami tombak, monyilo, atau balobe,” katanya.

Musim hujan adalah masa paling dinantikan nelayan. Menurut Roy, pada Februari sampai Agustus, sogili naik ke permukaan hingga mudah didapat.

Saat ini, nelayan yang rutin turun ke danau mencari ikan sekitar 13 perahu. Dalam satu perahu kadang satu atau dua orang. Jumlah orang dalam perahu berkurang seiring perubahan zaman.

“Sekarang perahu sudah pakai mesin tempel. Ada yang masih mendayung karena tak mampu beli mesin tempel,” kata Hertien Tampa’i, warga setempat.

Selain monyilo, nelayan di sekitar Danau Poso juga membuat jerat ikan yang dinamai pagar sogili dan karamba sogili, keduanya alat tradisonal yang sudah turun temurun.

“Paling banyak di sini pagar sogili . Jumlah pemilik pagar sogili rata-rata sembilan orang satu pagar, jadi sembilan orang kali 46 pagar yang aktif, jadi ya kurang lebih 400 keluarga. Seluruhnya pagar sogili dengan yang tak terpakai sekitar 54 pagar,” kata Hertien.

Hertien Tampa’i, salah satu Ketua Pagar Sogili, menjelaskan, pekerjaan itu adalah warisan dari kakeknya.

“Saya pimpinan satu pagar, banyak kepala di situ, tiap pagar sogili ada ketua,” katanya.

 

Jembatan penghubung Kota Tentena. Foto: Andika Dhika/ Mongabay Indonesia

 

Pengerukan danau, nelayan khawatir

Nelayan tengah khawatir. PT Poso Energy, perusahaan PLTA Poso, akan menggali danau, otomatis semua arena Bantaran Sungai Poso akan dikosongkan.

“Sungai itu akan digali empat meter,  otomatis pagar sogili, tabanting (roboh), so tidak ada air,” katanya.

Warga diundang bupati, negosiasi mau ada pengerukan. “Kami tidak terima, apalagi jembatan Tentena diganti beton, kami tidak terima, kalau dikeruk sama rata, mungkin bisa menerima, tapi ini gali tengah. Kalau gali tengah, banyak rumah-rumah ta gantung. Tiang rumah di sini cuma satu meter semua akan ambruk,“ katanya.

Sekarang, katanya, di Tagolu masyarakat terkena banjir saat air permukaan danau naik. Pengerukan akan makin berbahaya.  “Apalagi kalau dikeruk sampai lapangan, mungkin, ibukota Kecamatan Lage, sewaktu-waktu bisa tenggelam.”

Warga khawatir, sumber hidup mereka, pagar sogili hancur. Bagi mereka, pagar sogili tak hanya mata pencarian, juga budaya.

“Banyak orang hidup, membiayai anak menghidupi rumah tangga dari hasil itu, berangkat awal malam pulang pagi. Kalau dihilangkan, pemerintah sudah tak sepihak dengan masyarakat, hanya mementingkan Poso Energy yang merugikan masyarakat, sawah masyarakat tenggelam, jembatan kayu itu, tinggal satu meter sudah dapat lantainya,” ucap Hertien.

Hertien bilang, ketika diundang bersama masyarakat pemilik pagar sogili dan karamba, mereka dijanjikan ganti rugi dengan catatan pengerukan sepanjang 12 kilometer, dari danau air dalam, sampai ke Poso I  tetap berjalan.

“Jika ini dipaksakan, banyak kerugian masyarakat, apalagi yang akan menerima dampak nanti, Rananoncu, Tagolu, Malobuko,” katanya.

Menurut Hertien, banyak yang menolak pengerukan karena warga hidup dari danau itu. “Banyak orang hidup dari pagar sogili, sampai bisa menyekolahkan anak.”

Harga sogili, katanya, paling tinggi Rp130.000 perkilogram, kini turun tinggal Rp70.000. “Kalau so panen nanti naik lagi harganya.”

Menurut Hertien, Danau Poso adalah tanah adat dalam kebudayaan orang Pamona. Saat ini, diperkirakan 18 desa berada di sekitar Danau Poso.

“Dalam sudut pandang hukum, itu hak ulayat, kenapa mau dirusak? Saya liat ini tidak ada lagi keberpihakan.”

Padahal, katanya, kalau dipahami Danau Poso adalah tanah adat. Seharusnya, pemerintah memikirkan cara melestarikan danau, misal, penanaman pohon, melarang penebangan pohon besar, bukan mengeruk.

Masalah jadi rumit karena pembicaraan mengenai keberlanjutan Danau Poso dalam hitungan perdagangan… (Bersambung)

 

Foto utama: Danau Poso, tempat warga nelayan menggantungkan hidup. Kini, nelayan khawatir pagar sogili, wahana tangkap ikan mereka hancur kalau rencana pengerukan danau berjalan. Foto: Andika Dika/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version