Mongabay.co.id

Cerita Konservasi dari Desa Tanjung Putri (Bagian 1)

Lahan-lahan kosong terus ditanami. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay/ Indonesia

 

Mesin perahu kelotok menyala. Satu per satu kami duduk berjejer dalam perahu berukuran sekitar 1×8 meter itu. Kala itu, kami akan menyusuri sungai di Desa Tanjung Putri, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Letak desa merupakan pintu masuk hutan penyangga bagian timur Suaka Margasatwa Sungai Lamandau. Dengan hutan rawa gambut kedalaman rata-rata 134 cm sekitar 23.000 hektar. Kini, wilayah itu oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan jadi kawasan pencadangan hutan kemasyarakatan (HKm).

”Ini jadi sisa hutan bergambut yang memiliki tutupan vegetasi baik dengan kerapatan tinggi di Kabupaten Kotawaringin Barat,” kata Eddy Santoso, Direktur Yayorin di Pangkalan Bun.

Dia mengatakan, HKm ini sudah dapat rekomendasi dari Bupati Kotawaringin Barat untuk diajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

”Dengan ada surat rekomendasi jadi jaminan wilayah ini terbebas alih fungsi lahan,” katanya.

Adapun, kawasan penyangga itu terbagi dalam lima kelompok tani, yakni,  Kelompok Tani HKm Sepakat, HKm Mawar Bersemi, HKm Seluluk Jaya, HKm Tani Sejati dan HKm Sei Gandhis.

Kawasan dengan tipe hutan rawa gambut merupakan rumah bagi satwa endemik dan dilindungi, seperti orangutan Kalimantan dan Bekantan.

Potensi, katanya, cukup besar untuk konservasi dan pariwisata. Bahkan, kawasan ini jadi ekowisata seperti Taman Nasional Tanjung Puting.

Pengunjung dapat mengikuti susur sungai. Terlihat ekosistem rawa gambut membentang. Makin jauh dari desa, air sungai kian hitam pekat jadi ciri khas gambut. Tumbuhan paling dominan itu nipah dan jelutung,  sebagai pakan orangutan.

Keunikan desa ini, katanya, dibentengi rumpun ekosistem nipah lebih 257 hektar. Ekosistem ini menjaga Desa Tanjung Putri dalam ketersediaan air tanah, abrasi daratan, melindungi dari hembusan angin laut dan memberi sumberdaya hayati ekonomis.

Kala beruntung,  pengunjung akan disapa kemunculan satwa liar, seperti orangutan, rangkong, bekantan dan lain-lain. Sepanjang perjalanan saya hanya melihat bekantan.

Beberapa dahan pohon terlihat sarang orangutan, meski ada beberapa lama ditinggalkan karena daun sudah kering.

Lama waktu susur sungai diperkirakan 30-45 menit. Kala itu, rombongan baru menyusuri setengah perjalanan namun hujan turun. “Kami memilih kembali ke desa. Perahu kelotok tak memiliki atap melindungi dari hujan.”

 

Keluarga nelayan Tanjung Putri. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Kolaborasi

Kawasan ini,  sangat penting bagi kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama sumber daya hutan non kayu, seperti ikan sungai atau rawa gambut (toman, haruan/gabus, baung, lais, tapah, pepuyu/betok, kapar, tebakang serta lele rawa), getah jelutung, rotan, nipah, buah hutan dan jasa lingkungan.

”Potensi pariwisata dan konservasi ini kami harapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Eddy Santoso di Pangkalan Bun, Kalteng, awal April lalu.

Konservasi nipah dan hutan penyangga bagian timur Suaka Margasatwa Sungai Lamandau ini merupakan satu dari 20 program mitigasi berbasis lahan kelolaan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), dengan pendanaan program Rp2,4 triliun oleh Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin) bersama masyarakat.

Zona penyangga SM Sungai Lamandau yang didominasi hutan rawa gambut ini memiliki potensi tinggi dalam penyerapan emisi karbon. Penghitungan pun masih penyerapan karbon di permukaan tanah.

Hasil perhitungan Gaia tahun 2018, katanya, lebih 73 ton CO2eq per hektar, sebelumnya pada 2010 dengan baseline perhitungan World Agroforestry Centre (ICRAF) persediaan karbon 70 ton CO2eq. “Berarti terjadi penyerapan sekitar tiga ton CO2eq per hektar,” katanya.

Setelah itu, mereka memvalidasi data itu dengan luasan 15.000 hektar tersebar di Desa Tanjung Terantang dan Desa Tanjung Putri serta Kelurahan Mendawai dan Kelurahan Mendawai Seberang. Total emisi terserap mencapai 8.250 ton CO2eq pada permukaan tanah.

Dia yakin, jika penghitungan karbon dilakukan lebih dalam total akan makin besar. Berdasarkan penghitungan ICRAF pada 2010, di bawah permukaan tanah pada lokasi sama mencapai 841 ton CO2eq per hektar, sedangkan pada permukaan tanah hanya 70 ton CO2eq per hektar.

Yayorin pun melakukan berbagai program penguatan kapasitas bagi masyarakat dan usaha alternatif, misal, membuat 20 keramba jaring apung (KJA) untuk budidaya ikan sungai endemik Kalimantan Tengah.

Begitu juga dengan kaum perempuan, diajari memanfaatkan nipah. Mereka tergabung dalam kelompok usaha alternatif bagi kelompok HKm dan kelompok perempuan pendukung HKm.

Yayorin bikin material atap rumah, bungkus ketupat, lampit atau tikar, dan gula merah untuk tambahan pendapatan.

Encep Hidayat, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sektetariat Daerah Kotawaringin Barat menyebutkan, program Yayorin bersama masyarakat ini sudah berjalan dua tahun di Desa Tanjung Putri dan Desa Tanjung Terantang.

”Kita perlu menjaga keberlanjutan kegiatan ini untuk keluar dari lingkaran kemiskinan,” katanya.

Meski demikian, dia mengakui keterbatasan dana jadi salah satu kendala dalam pelaksanaan dan pengadopsian ke wilayah lain. ”Jika memang ini bermanfaat bagi masyarakat akan kita adopsi. Saya yakin masih banyak potensi di wilayah ini.”

Sama hal dengan, Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan, upaya ini jadi salah satu cara menghindari deforestasi dengan mengalihkan kegiatan pembalakan liar sebelumnya dengan memberikan alternatif pendapatan lain.

Menurut Eddy, program ini mendapatkan dukungan para pihak, salah satu Kepala Desa Tanjung Putri. BUMDes, katanya,  siap mendukung pengembangan usaha kelompok konservasi dan peningkatan pendapatan masyarakat. (Bersambung)

 

Foto utama: Lahan-lahan kosong terus ditanami. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay/ Indonesia

 

Nipah, jenis mangrove yang banyak tumbuh di Tanjung Putri. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Warga hidup dengan wilayah rawa gambut. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version