Mongabay.co.id

Munculnya Generasi Kriminal, Puncak Kalahnya Masyarakat dalam Kelola Sumberdaya Alam

Banyak yang terkejut ketika beberapa waktu lalu, berita media mengekspos terjadinya tindakan kriminal pembobolan ATM yang dilakukan oleh warga Desa Tulungselapan, Kabupaten Ogan Kemiring Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Tidak hanya pembobolan ATM, wilayah pesisir timur OKI pun dikenal sebagai wilayah sentra produksi senjata api rakitan. Tidak hanya memenuhi kebutuhan lokal, produksi senpi rakitan ini lalu menyebar ke sejumlah wilayah di Sumatera Selatan, Lampung dan wilayah lainnya. Senpi rakitan tidak hanya digunakan untuk berburu, tetapi juga digunakan para pelaku kriminal dan lainnya.

Sebagai sebuah pengalaman pribadi, dalam sebuah perjalanan di Kecamatan Cengal, OKI beberapa waktu lalu, penulis sempat menjumpai seorang anak berusia sekitar 11 tahun membawa senjata api rakitan yang diselipkan di pinggangnya.

Bukannya tinggal diam, beberapa kali kepolisian melakukan penyitaan atau mendapatkan penyerahan senjata api rakitan dari masyarakat. Pada pertengahan April 2017, sebanyak 66 senjata api rakitan, 23 senjata laras pendek dan 43 senjata laras panjang diserahkan masyarakat ke Polres OKI.

Peredaran narkoba pun disinyalir tinggi di wilayah Pesisir Timur OKI. Kepolisian menangkap sejumlah pengedar narkoba di Palembang, yang berasal dari Tulungselapan. Perlawanan pun dilakukan terhadap aparat, seperti yang dialami Polres OKI saat menangkap seorang pengedar di Desa Petaling, Tulungselapan, awal Desember 2017 lalu.

Apakah berbagai peristiwa kekerasan, pelanggaran hukum dan hilangnya rasa taat terhadap aturan ada kaitannya dengan memudarnya kekayaan sumberdaya alam dan rusaknya bentang alam? Tulisan sederhana ini hendak memotret dan menganalisisnya.

 

Eksploitasi Hingga Habisnya Sumberdaya Alam

Beberapa dekade, masyarakat di desa-desa OKI banyak yang bekerja di usaha ekstraksi dan eksploitasi sumberdaya alam. Saat HPH berjaya, banyak warga yang bekerja di usaha perkayuan. Tidak saja di OKI, menurut informasi dan pengakuan warga, bahkan ada sebagian warga asal pesisir OKI yang bekerja kayu di Kalimantan, Riau, Jambi hingga Papua. Terakhir, saat kayu memudar, ada ratusan hingga ribuan warga dari wilayah ini yang menjadi penambang liar pasir timah di pulau Bangka.

Berdasarkan telusuran sejarah terbentuknya masyarakat di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan, khususnya OKI, sejak zaman Kesultanan Palembang, era kolonial Eropa hingga Orde Baru wilayah OKI didorong untuk menjadi wilayah pemenuhan kebutuhan bahan baku industri. Beberapa komoditas unggulan, seperti kayu, perikanan, peternakan, serta getah karet. Wilayah pemukiman dengan fungsi-fungsi itu, dapat dijumpai di Mesuji, Sirah Pulau Padang, Kuro (Pampangan), Tulungselapan dan Cengal.

Yang sedikit berbeda, di era kesultanan hingga kolonial masyarakat masih terjaga lembaga adat. Lembaga ini yang menetapkan wilayah mana untuk lahan pemukiman, perkebunan, dan hutan adat atau hutan keramat. Umumnya hutan keramat ini yang berada di kubah gambut.

Pada era Orde Baru, pembentukan masyarakat di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan tidak berubah. Ditujukan demi kepentingan kayu (HPH), perkebunan karet dan sawit, pertambakan udang dan ikan. Hal baru, adanya masyarakat transmigran, yang awalnya ditujukan untuk mengembangkan lahan pertanian pangan beras dan palawija, tapi selanjutnya sebagian mereka beralih menjadi pendukung perkebunan sawit dan HTI.

Di era Orde Baru juga, masyarakat adat bersama struktur dan hukumnya terbubarkan karena adanya penerapan pemerintahan desa. Bersamaan dengan itu, dilakukan tindakan eksploitatif yang dilakukan oleh masuknya investasi berbasis lahan. Pertama, membuka hutan untuk mengambil kayunya. Kedua, setelah hutan terbuka lahan dijadikan lahan perkebunan, HTI, pemukiman, pabrik, jalan, dan lainnya.

Baca juga: Berharap Petambak Tradisional di Pantai OKI Peduli Gambut. Mungkinkah?

Yang mengejutkan, situs-situs sejarah pemukiman masyarakat Kerajaan Sriwijaya yang selama ini terlindungi di dalam gambut, yang umumnya berada di hutan keramat, pun kini turut terusak. Akibat terbakarnya dan terbukanya lahan gambut, para pemburu harta karun pun berdatangan. Mereka mencari benda-benda berharga berupa emas dan guci, dan merusak artefak bernilai sejarah seperti perahu, tiang rumah, yang bagi mereka nilai tak berharga.

Selain hilangnya hutan, gambut dan kawasan penting lindung, maka kerusakan alam memunculkan berbagai persoalan pada masyarakat.  Penulis mengidentifikasikan sebagai berikut:

Pertama, hilangnya identitas mereka sebagai masyarakat adat, akibat hilangnya lahan adat.

Kedua, kehilangan lahan adat memunculkan berbagai konflik, baik secara vertikal maupun horizontal, sehingga memutuskan tali komunikasi dan kasih antar anggota masyarakat, yang memacu perilaku kekerasan dan tindak kriminalitas. Hidup di desa tidak lagi nyaman, sejumlah warga desa menjadi pembuat senpi rakitan, bandar narkoba, menjadi perompak di Selat Malaka, dan perambah lahan negara khususnya kawasan lindung atau konservasi, baik di Sumsel, Jambi, Riau dan Kalimantan.

Ketiga, hilangnya pangan lokal. Pindang ikan dan pempek, yang sangat baik bagi perkembangan tubuh dan otak manusia, dan antioksidan mematikan seperti kanker, mulai jarang dikonsumsi masyarakat, sebagai akibat sulitnya mereka mendapatkan bahan baku ikan akibat kerusakan lahan gambut.

Keempat, hilangnya buah-buahan lokal. Hutan dan kebun yang selama ini menjadi sumber pangan dan ekonomi tambahan, seperti duku dan durian, produksinya terus menurun sebagai akibat alih fungsi lahan atau kerusakan bentang alam.

Kelima, hilangnya jejak kekayaan sejarah yang sebenarnya dapat menjadi potensi ekonomi kreatif, berupa artefak Kerajaan Sriwijaya yang selama ini terjaga di hutan keramat, hilang dan tak dapat digantikan.

 

Dua guci dari masa Dinasti Tang yang ditemukan di situs pemukiman Sriwijaya di OKI beberapa waktu lalu. Foto Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Pertanyaan pentingnya, apakah para leluhur di wilayah Pesisir Timur Kabupaten OKI memang bercita-cita agar keturunannya hidup di dunia untuk menjadi penjahat? Penulis pikir tidak.

Tidak ada manusia di Indonesia yang memiliki kebudayaan gelap tersebut, selama ditemukan adanya ajaran agama atau spiritual di masyarakatnya. Tapi kehilangan akar budaya luhurnya menyebabkan tidak ada lagi upaya menjaga untuk menjaga identitas tersebut. Padahal dahulu masyarakat di Pesisir Timur OKI dapat hidup makmur dan damai dengan mengelola sumberdaya alamnya.

Munculnya “generasi resah” yang diikuti dengan berbagai kecenderungan krimininalitas akan mendorong kerugian sosial. Jika ditarik benang merah, maka akan dijumpai hubungan antara hilangnya kekayaan alam yang dapat diakses masyarakat dengan munculnya kekacauan kehidupan dan perilaku negatif.

Hilangnya sumberdaya alam, tidak saja menyangkut berbagai persoalan kemiskinan, kebodohan dan kesehatan, tapi juga turut melahirkan generasi kriminal karena tidak ada lagi identitas yang perlu dijaga.

 

*) Taufik Wijaya, penulis dan praktisi seni budaya. Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis. Tulisan ini mengalami sedikit perubahan dari artikel yang disampaikan pada FGD Pemetaan Masyarakat Tidak Terlihat (Hidden Population) Dampak Praktik Penguasaan SDHL di Sumatera Selatan yang digelar Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan KLHK, di Palembang, 18 April 2018 lalu.

 

Foto utama: kanal di lahan gambut di OKI yang mulai menghijau, beberapa kali gambut di OKI mengalami dampak kebakaran. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

Exit mobile version