Mongabay.co.id

Upaya Warga Tanjung Putri, dari Keramba Jaring Apung sampai Tanam Tanpa Bakar (Bagian 2)

Keramba jaring apung di Desa Putri, jadi alternatif pendapatan baru warga dalam dua tahun ini. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Masyarakat Desa Tanjung Putri, Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, sudah merasakan dampak perubahan iklim, seperti tangkapan ikan kian menurun. Akhirnya, mereka memanfaatkan kawasan penyangga Suaka Margasatwa Sungai Lamandau, untuk budidaya keramba jaring. Ia sudah berjalan sekitar dua tahun terakhir ini.

Rahmansyah,  warga setempat mengatakan, sejak 2003, cuaca mulai tak bersahabat dengan nelayan, ombak besar dan ikan tak lagi di pinggir laut. “Kami kan kapal kecil, susah jika harus ke tengah laut,” katanya.

Meskipun begitu, mereka tetap ke laut karena itulah andalan pencarian sehari-hari.

Baru dalam dua tahun terakhir, mereka mulai mengembangkan budidaya ikan dengan keramba jaring apung. Warga di sana membentuk Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan Sepakat.

Rahmansyah bilang, budidaya ikan air tawar jadi alternatif pendapatan di samping nelayan tangkap. ”Lebih untung, jadi tidak perlu memaksakan diri kalau ombak laut sedang besar.”

Ada sekitar 20 keramba melingkupi beberapa desa seperti Tanjung Putri, Tanjung Terantang, RT 23 Kelurahan Mendawai dan Kelurahan Mendawai.

Pengelolaan keramba beragam. Ada dalam satu kelompok tani memegang 6-10 keramba, pengelola setiap keramba biasa dua orang. Ikan budidaya dalam satu keramba beragam, biasa ditebar 1.500-2.000 benih ikan tawar seperti nila, patin, baung, lais, lele, gurame, toman, dan udang galah.

Bang Eneng, sapaan akrab Rahmansyah sendiri budidaya toman bermodal awal untuk bibit Rp500.000. Dia mulai 2016, pada 2017, sudah bisa panen.

”Pertama kali (panen) tahun lalu dapat dua kuintal toman, dapat uang sekitar Rp5 juta,” katanya.

Menurut dia, budidaya ini lebih menjanjikan dan bisa balik modal. Perawatan pun, katanya, tak rumit dibandingkan melaut yang bertaruh nyawa.

Penghasilan dari ikan ini, katanya, ada buat uang kas kelompok tani, sekitar Rp1 juta, Rp2 juta buat dia dan sisanya dibagi rata kepada teman yang mengelola.

”Hasilnya lumayan.”

Ahmad Ardiata, nelayan di RT23 Mendawai mengatakan, setelah melihat desa lain bikin keramba lalu tertarik mengikuti.”Saya melihat di desa sebelah berhasil, saya pun mencoba,” katanya.

Dia mengajak warga lain. Mereka lalu membeli benih ikan, 1.200 lele, 2.300 nila, udang 450, 700 lais, 225 bakut atau gabus.

Eddy Santoso, Direktur Eksekutif Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin) mengatakan, keramba ikan ini jadi alternatif mata pencaharian yang berkelanjutan. ”Harapannya dapat berkelanjutan dan dapat diadopsi di beberapa tempat di Kotawaringin Barat.”

Tak hanya keramba dan nelayan tangkap, sebagian warga Desa Tanjung Putri juga bercocok tanam padi ladang dengan memanfaatkan kawasan penyangga Lamandau.

 

Warga usai tanam pepohonan dengan menghijaukan lahan kritis. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Tanam tanpa bakar                

Ruslan Surbakti, petani ladang di Tanjung Putri. Dalam dua tahun ini, dia tak berani mengelola lahan dan membiarkan begitu saja. Dulu, mereka kelola lahan dengan membakar, tetapi setop karena ada larangan menyusul kebakaran lahan pada 2015.

”Kami petani tak ada yang berani menanam padi karena tak tahu cara bertani selain dengan membakar,” ceritanya.

Lahan pertanian Ruslan di lahan gambut kedalaman sekitar satu meter. Ketakutan ini dilatarbelakangi peraturan pemerintah pusat yang melarang masyarakat membakar di lahan gambut.

”Seandainya kami melawan, tak ada guna… Lebih baik kita mengikuti peraturan saja,” kata Ruslan juga Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki Desa Tanjung Putri.

Purwadi, penyuluh pertanian Dinas Pertanian Kotawaringin Barat mengatakan, berladang pernah jadi mata pencarian menjanjikan bagi warga. Bahkan, pada 2012,  ada pencetakan sawah di lahan rawa oleh Dinas Pertanian Kotawaringin.

Menurut Purwadi, Ruslan salah seorang yang sukses punya rumah sendiri, pindah dari rumah mertua dari hasil berjualan gabah.

Pada 2016, dia mulai mengenal pembukaan lahan tanpa bakar.

Beberapa bulan berjalan, Yayorin masuk untuk pendampingan kepada masyarakat. Kini, warga bisa menanam dua kali setahun, sebelumnya hanya sekali.  Biasanya, selama dua bulan, lahan dibiarkan beristirahat setelah panen.

Dia bilang, buka lahan tanpa bakar perlu biaya lebih tinggi, mulai permulaan untuk penebasan membuka lahan, didiamkan kurang lebih 25 hari.

Setelah itu, lahan disemprot dekomposer, yakni BeKa untuk membantu penguraian sampah organik selama 20 hari.  Itu kalau lahan baru buka.

Menanam lanjutan di lokasi sama, kata Ruslan, lebih murah karena bisa menekan biaya penebasan sampai Rp3,5 juta per hektar.

Biaya ini dihitung dari penebasan, penyemprotan dekomposer sampai penanaman. Kalau dibakar,  petani hanya keluarkan biaya Rp1,5 juta per hektar dan menunggu abu yang bakal jadi pupuk. Untuk hasil panen, katanya, tak jauh beda antara metode bakar maupun tidak, sekitar 1,2 ton per hektar.

“Yang berbeda, kita tidak perlu sesak napas. Udara sekarang segar dan tidak ada asap lagi.”

Saat ini, sudah delapan hektar mengikuti jejak Ruslan membuka lahan tanpa bakar.

Sejauh ini, katanya,  kendala yang dihadapi petani adalah perlu pintu pengatur pasang surut air laut. Seringkali, katanya,  air laut masuk membanjiri lahan persawahan karena tak ada pintu pengatur.

”Kalau sampai masuk, ini membuat pertumbuhan padi kurang bagus dan lengket.”

Kendala lain, hama padi yakni kera dan penggerek batang.

Eddy Santoso, Direktur Eksekutif Yayorin mengatakan, pendekatan awal adalah pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat jika pembukaan lahan tanpa bakar bisa mencegah kebakaran di lahan gambut.

Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengapresiasi upaya tanam tanpa bakar ini.

”Tanam tanpa bakar memang kurang favorit karena dinilai susah dan membutuhkan peralatan cukup banyak.”

Dia bilang, upaya warga ini pun perlu disinergikan dengan lintas lembaga di daerah.

Tony Wagey, Direktur Eksekutif Sekretariat Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) mengatakan, langkah ini sebagai upaya warga berbasis lahan terhadap penurunan emisi gas rumah kaca.

”Persoalan perubahan iklim ini perlu diikutsertakan pula ekonomi sosial. Ini jadi jawaban pembangunan rendah karbon,” katanya. (Selesai)

 

Foto utama: Keramba jaring apung di Desa Tanjung Putri, jadi alternatif pendapatan baru warga dalam dua tahun ini. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Hasil panen warga dari keramba. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version