Mongabay.co.id

Jaga Pulau Rangsang dari Abrasi ala Kadar dan Farida

Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Namanya Kadar Siono. Dulu, dia bolak balik Indonesia-Malaysia, untuk bekerja. Sekitar 2004, Kadar diminta Kepala Desa Anak Setatah, Rangsang Barat, Meranti, Riau,  jadi Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas  (Pokmaswas).

Tugasnya,  mengawasi orang-orang yang menebang mangrove dan pakai racun buat tangkap ikan. Kedua praktik ini dilarang di Pulau Rangsang.

Aturan ini ada karena kekhawatiran mangrove terus berkurang hingga pulau alami abrasi makin parah. Kadar lalu berpikir untuk budidaya mangrove. Dia lalu mendirikan kelompok pelestarian wilayah pesisir  bernama, Tegas, dua tahun kemudian.

Berdua dengan sang istri, Farida, Kadar membibit mangrove gunakan uang pribadi. Sesekali Kadar mengajak anak-anaknya dan keluarga. Mereka mencari bibit dengan sampan menyusuri desa-desa yang ditumbuhi mangrove di Pulau Rangsang.

Kadar dan Farida,  sampai berjualan rambutan dan durian dari kebun mereka untuk beli polybag. “Ini demi wilayah kami. Masyarakat pun mulai ada yang respon,” kata Farida.

Mereka membibit mangrove di sungai kecil samping rumah, dalam kubangan lumpur ketika sungai itu kering.

Setelah usia bibit tiga bulan, Kadar mengajak murid sekolah di Anak Setatah untuk membantu menanam di sepanjang tepi laut Dusun Karet, tak jauh dari belakang rumah Kadar.

Kadar bilang, tak punya biaya memadai untuk melakukan pekerjaan ini sendirian. “Anak-anak sekolah yang mau bantu itu hanya saya kasih uang jajan yang tak seberapa,” katanya.

Sudahlah begitu, Kadar dan Farida,  harus menghadapi cemoohan serta hinaan dari masyarakat pada awal-awal dia merintis pembibitan mangrove ini. Apa yang dia kerjakan dianggap mustahil.

 

Kadar dan Farida, dua penggerak penyelamat Pulau Rangsang dengan tanam mangrove. Foto: dokumen Kadar

 

Farida kuat karena suami menyakinkan dia untuk konsisten dengan pekerjaan itu.

Bibit kayu api-api tak mudah tumbuh. Berulangkali Kadar dan keluarga turun ke lumpur menyulam kembali bibit-bibit yang hanyut disapu ombak. Baginya, menanam mangrove harus sabar dan perlu ketekunan.

Kini, mangrove yang ditanam sejak 2006 itu tumbuh subur dan padat dengan akar-akar rapat.

Kadar sengaja melakukan itu di belakang rumah untuk membuktikan pada orang yang tak percaya bahwa, menyelamatkan abrasi bisa dengan menanam api-api.

“Kita tunjukan bukti, bukan omongan saja,” katanya.

Lambat laun, masyarakat mulai sadar, sudah ada yang peduli dan membantu Kadar membibit mangrove.

Pemerintah mulai mengetahui kegiatan Kadar bersama masyarakat. Bantuan pun mulai mengucur untuk Kelompok Tegas. Hal ini, katanya, bisa membantu meringankan biaya mereka untuk beli polybag, bahkan memberi uang lelah pada masyarakat yang sudi berkubang di lumpur memasukkan bibit ke wadah.

Akhirnya, Kelompok Tegas memiliki ketersediaan ribuan bibit mangrove dengan berbagai jenis. Ada yang mulai membeli. Permintaan pun datang dari luar Kepulauan Meranti. Kadang, bibit itu juga diserahkan dengan sukarela. Asal, katanya, mereka benar-benar tak punya uang dan mau menanam.

Siswa dan mahasiswa paling sering minta bibit mangrove Kadar, termasuk mahasiswa yang tengah mengikuti kuliah kerja nyata.

Rumah Kadar, tiap tahun jadi posko mahasiswa Universitas Riau selama dua bulan menjalankan tri dharma perguruan tinggi.

Dosen atau peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) beberapa kali pernah bermalam di rumah Kadar.

Sejak 2009, mangrove hasil pembibitan Kelompok Tegas sudah tersebar ke mana-mana.

 

Abrasi di Pulau Rangsang. Warga mulai lakukan penanaman mangrove. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Kadar pun mulai dikenal. Itu juga berkat tamu dari luar yang sering datang di rumahnya. Kadar kerap diundang jadi pembicara soal mangrove dan penyelamatan wilayah pesisir dari abrasi. Kadar juga jadi pembina adiwiyata di beberapa sekolah di Kepulauan Meranti.

Selama tiga tahun, Badan Lingkungan Hidup Kepulauan Meranti mengajak dia jadi tim penilai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan. Sekarang, Kadar ditunjuk sebagai Direktur Bank Sampah Kepulauan Meranti.

Beberapa penghargaan diterima Kadar. Penghargaan Setia Lestari Bumi dari Bupati Kepulauan Meranti 2009-2011. Dua tahun kemudian, dia juara I Adibakti Mina Bahari kategori pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem dari Menteri Kelautan dan Perikanan.

Tahun berikutnya, pada Hari Nusantara dan Hari Ikan Nasional, dia meraih juara pada penilaian kelompok masyarakat pengawas tingkat Riau. Tahun lalu, dia kembali diberi penghargaan oleh Bupati Kepulauan Meranti sebagai penyelamat lingkungan.

Kadar terus membibit dan menanam mangrove di sepanjang bibir pantai yang terkena abrasi di Pulau Rangsang. Kadar sembari belajar mengenal jenis-jenis mangrove berikut istilah latinnya. Pengetahuan itu sebagai modal jadi pembicara di berbagai daerah.

“Saya belajar otodidak. Saya dapatkan ilmu itu justru dari mahasiswa dan peneliti yang datang ke rumah ini,” katanya.

Malam pertama saya nginap di rumah Kadar, dia menghidangkan sepiring dodol dan sebotol sirup. Panganan ini terbuat dari olahan buah mangrove dengan bermacam jenis.

Farida dan Kadar mulai melakukan sejak 2012 setelah mengikuti pelatihan.

Waktu itu, mereka hanyabelajar  bikin sirup. “Padahal, kami pikir dengan buah mangrove bisa diolah bermacam makanan,” kata Farida. Mereka pun mulai mencoba dengan peralatan dapur seadanya.

Farida dan perempuan anggota Kelompok Tegas mengolah dodol, sirup serta selai dengan kedabu atau perpat (Sonneratia ovata). Buah api-api dari beragam jenis (Avicennia sp) diolah jadi bolu, kue bawang dan kerupuk.

Mereka juga berhasil bikin peyek dan kerupuk dari olahan jeruju (Akantus) dan mengolah tumu (Bruguiera) jadi tepung beras.

Mangrove, sebagai pelindung pulau dari abrasi terus menerus. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Kadar berharap, suatu saat produk olahan ini mendapatkan merek dan lulus uji laboratorium. Saat ini, mereka masih mengolah untuk keperluan rumah tangga dan sekali-kali menerima pesanan.

“Sekarang, pengolahan buah mangrove untuk bermacam jenis makanan jadi pekerjaan ibu-ibu di sini,” kata Farida.

Mayoritas anggota kelompok pelestarian wilayah pesisir yang didirikan Kadar memang perempuan. Dari 30 anggota, 25 adalah ibu rumah tangga.

Asni, salah satu anggota kelompok mengatakan, usaha ini untuk meringankan biaya ekonomi di rumah. “Tidak hanya berharap dari pekerjaan suami,” Amida, juga anggota.

Asni, Amida dan Wati,  pagi itu, Kamis (26/4/18) sedang memasak mie sagu dalam kuali besar di samping rumah Kadar. Mereka bergantian mengaduk seperti memasak dodol di tungku dengan kayu bakar.

Makanan khas masyarakat Kepulauan Meranti itu untuk hidangan siang pada Rangsang Island Internasional Festival Music Abrasi 2018.

“Kalau tidak begitu, pulau ini akan habis. Beruntung ada Pak Kadar yang mau peduli,” kata Sopandi, Ketua Sanggar Bathin Galang.

 

Foto utama: Lokasi Kadar dan Farida, membibit mangrove. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Alat untuk mengolah mangrove jadi beragam panganan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version