Mongabay.co.id

Kasus Pembakar Rawa Tripa: Aneh, Pengadilan Negeri Meulaboh Batalkan Putusan Mahkamah Agung

Rawa Tripa terus menghadapi ancaman, mulai dari perambahan hingga pembukaan perkebunan sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh mengeluarkan putusan mengejutkan, terkait kasus pembakaran hutan gambut Rawa Tripa yang dilakukan PT. Kallista Alam. Putusan tersebut berlawanan dengan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan perusahaan tersebut bersalah, saat kasasi maupun peninjauan kembali kasus.

Dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh bernomor: 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo, tertanggal 13 April 2018, majelis hakim yang diketuai Said Hasan, serta Muhammad Tahir serta T. Latiful sebagal hakim anggota, memutuskan PT. Kallista Alam tidak bersalah dan pengadilan mengabulkan semua gugatan perusahaan.

“Menyatakan posisi areal yang dimaksud di 96° 32′ 0″ – 98° 32′ 21″ BT dan 3° 47′ 8″ – 3° 51′ 22″ LU berada dalam tiga wilayah yaitu Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Gayo Lues,” sebut majelis hakim dalam putusan yang dibacakan 12 April 2018.

Majelis hakim juga mengatakan, putusan Mahkamah Agung Nomor: 1 PK/PDT/2015 tidak mempunyai titel eksekutorial terhadap penggugat atau PT. Kallista Alam. Selain itu, Majelis hakim juga memerintahkan Pengadilan Negeri Meulaboh untuk mengangkat sita jaminan tanah, bangunan, dan tanaman di atasnya yang terletak di Desa Pulo Kruet, Alue Bateng Brok, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Aceh Barat dengan sertifikat Hak Guna Usaha Nomor: 27 dengan luas 5.769 hektar.

“Memerintahkan tergugat satu, turut tergugat dua dan tergugat tiga patuh terhadap putusan tersebut.  Serta membebankan seluruh biaya perkara Rp9.085.000, kepada tergugat satu Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia,” sebutnya.

Baca: Kasus PT. Kallista Alam: Mantan Hakim Tinggi Sebut Tidak Ada Gugatan Setelah Putusan Tetap

 

Rawa Tripa terus menghadapi ancaman, mulai dari perambahan hingga pembukaan perkebunan sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dalam putusan itu, beberapa pertimbangan yang digunakan majelis hakim, sebagaimana gugatan PT. Kalista Alam sehingga mengabulkan gugatan perusahan tersebut adalah, tergugat atau Menteri LHK telah menggugat PT. Kallista Alam yang menyatakan areal kebun yang dikelola penggugat berada pada koordinat 96° 32′ 0″ – 98° 32′ 21″ BT dan 3° 47′ 8″ – 3° 51′ 22″ LU. Ini sebagaimana tertera dalam putusan PN Meulaboh Nomor: 12/PDT.G/2012/PN.MBO tanggal 8 Januari 2014. Koordinat 98,32,21 BT, nyatanya tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya atau error in objekto atau tidak ada pada areal PT. Kallista Alam.

Dalil yang digunakan Menteri Lingkungan Hidup untuk menggugat PT. Kallista Alam adalah dengan menyebut perusahaan sengaja membuka areal kebun dengan cara membakar pada Maret, Mei, dan Juni 2012, serta Mei dan Juni 2011, maupun Februari, April, Mei, dan September 2010, serta Februari hingga Juli 2009.

Dalil tersebut keliru karena Surat Izin Gubernur Aceh Nomor: 525/BP2T/1295.2/2011 tanggal 25 November 2011 yang memberi izin kepada PT. Kallista Alam membuka kebun budidaya adalah pada 25 Agustus 2011. “Sehingga, kebakaran pada Juni 2011 maupun Februari, April, Mei, dan September 2010 serta Februari hingga Juli 2009 diluar tanggung jawab PT. Kallista Alam karena izin dari Gubernur Aceh belum terbit,” sebut majelis hakim.

Sementara itu, sambung majelis hakim dalam putusannya, kebakaran pada Maret, Mei, dan Juni 2012 tidak dapat diminta pertanggungjawaban kepada PT. Kallista Alam, karena aktivitas perusahaan dihentikan oleh Gubernur Aceh pada 25 November 2011.

“Sehingga tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan PT. Kallista Alam sehubungan kebakaran hutan seperti putusan PN Meulaboh Nomor: 12/PDT.G/2012/PN.MBO. PT. Kallista Alam harus dibebaskan dari pertanggung jawaban hukum atas kebakaran tersebut,” tambahnya.

Terhadap putusan tersebut, penasehat hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh.

Baca: Eksekusi Kasus PT. Kallista Alam Tak Kunjung Dilakukan, Kenapa?

 

Rawa Tripa yang dibakar oleh PT. Kallista Alam. Foto: Paul Hilton/SOCP/YEL

 

Lapor KPK dan Mahkamah Agung

Terkait putusan Pengadilan Negeri Meulaboh yang memenangkan PT. Kallista Alam, sejumlah pegiat lingkungan di Aceh dan Jakarta melakukan protes. Bahkan melaporkan hakim PN Meulaboh ke Mahkamah Agung dan KPK.

Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) menggelar aksi di depan Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada 3 Mei 2018. Dalam aksi tersebut, mereka meminta hakim diperiksa dan diskors karena secara kontroversial memberikan perlindungan hukum dan memutuskan tidak akan mengeksekusi denda yang harus dibayar PT. Kallista Alam.

“Kami melihat ada pelanggaran yang telah dilakukan. Putusan Mahkamah Agung tidak dieksekusi selama bertahun-tahun oleh PN Meulaboh. Kami meminta badan pengawas Mahkamah Agung untuk turun dan memeriksa kasus ini,” jelas koordinator aksi Harli Muin.

Pada 2 Mei 2018, Crisna Akbar dari Rumoh Transparansi juga mengadukan dugaan indikasi penyimpangan eksekusi Putusan MA terhadap PT. Kallista Alam ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan nomor pengaduan 96297.

“Kami mencium ada penyelewengan pada yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp366 miliar,” ujarnya.

PT. Kallista Alam telah dibuktikan bersalah berdasarkan undang-undang administrasi, pidana, dan perdata oleh majelis pengadilan dan Mahkamah Agung. Bila suatu pengadilan negeri bisa menentang putusan Mahkamah Agung, ini sangat tidak masuk akal.

“Tidak mengejutkan kalau sekarang banyak pengamat yang mempertanyakan motif di belakang putusan hakim PN Meulaboh. Kami minta ada investigasi khusus,” kata Ketua Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Farwiza Farhan, yang juga menjadi saksi fakta dalam sidang melawan PT. Kalista Alam pada kasus sebelumnya.

Perwakilan Sumatran Orangutan Conservation Programme Ian Singleton, mengatakan keputusan Pengadilan Negeri Meulaboh bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung yang menetapkan PT. Kallista Alam bersalah. Tentu saja ini menimbulkan preseden buruk untuk reputasi sistem hukum di Indonesia.

“Penetapan oleh MA membawa angin segar bagi hukum lingkungan di Indonesia, dan menjadi bukti bahwa negara ini komit untuk melawan perubahan iklim. Namun, jika semua itu bisa dengan mudah diubah oleh satu putusan kontroversial hakim pengadilan negeri, ini kemunduran besar,” kata Ian.

T.M Zulfikar dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) mengatakan, pihaknya telah mengamati perkembangan gambut Rawa Tripa semenjak kasus ini mencuat pada 2012. Dari 2013 hingga 2017, deforestasi hutan primer di wilayah ini mencapai 4.069 hektar, sebanyak 60 hektar berada di HGU PT. Kallista Alam. Pada periode yang sama, jika dianalisis melalui VIRSS, layanan satelit pendeteksi titik api, ada 2.564 titik api di Tripa, yang sebanyak 193 titik berada di wilayah PT. Kallista Alam.

“Ini menunjukkan, meski menjalani kasus hukum, PT. Kallista Alam tidak menghormati sistem hukum di Indonesia. Lain halnya dengan kasus pidana, hakim PN Meulaboh, dengan perkara No 131/Pid.B/2013/PN MBO dan 133/Pid.B/2013/PN MBO, telah menghukum Manager Pengembangan PT. Kallista Alam, Khamidin Yoesoef, 3 tahun penjara yang sudah dijalani oleh terpidana,” ujarnya.

Baca: Mahkamah Agung Kembali Tolak Kasasi PT. Kalista Alam, Ini Putusannya

 

Penyelamatan Rawa Tripa harus dilakukan agar ekosistem hutan gambut ini kembali berfungsi normal. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Juru Bicara Komisi Yudisial (KY)   Farid Wajdi   berpendapat, putusan PN Meulaboh yang memenangkan gugatan PT. Kallista Alam setelah berkeputusan hukum tetap, tidak memberikan kepastian hukum dalam peristiwa tersebut.

“Rasanya, tidak ada satu pun logika hukum yang dapat menjelaskan apa yang telah terjadi dalam perkara lingkungan di PN Meulaboh. Ini benar-benar keterlaluan. Kepastian hukum sama sekali tidak ada dalam peristiwa ini,” jelasnya, baru-baru ini.

Farid mengatakan, Komisi Yudisial tidak akan tinggal diam terhadap kejanggalan luar biasa ini. Seluruh sumber daya dan kewenangan yang ada akan dikontribusikan untuk menegakkan keadilan. Sejauh ini, menurut dia, seluruh majelis merupakan hakim yang proses perekrutannya disesuaikan dengan kondisi darurat pada masa itu.

“Pendalaman terhadap kemungkinan intervensi luar dalam perkara ini akan terus dikejar. Kami percaya, Mahkamah Agung juga tidak akan menutup mata atas hal ini,” tegas Farid.

Berdasarkan informasi yang diterima Mongabay, tim Mahkamah Agung telah mendatangi Pengadilan Negeri Meulaboh untuk memeriksa hakim dan panitera, terkait putusan PN Meulaboh yang memenangkan gugatan PT. Kallista Alam.

Tim tersebut, selain memeriksa para hakim dan panitera, juga memerika berkas dan dokumen perkara. Mereka berada di Meulaboh, pada 9 hingga 10 Mei 2018.

Baca juga: Rawa Tripa yang Tak Kunjung Usai Dirundung Masalah

 

Penutupan kanal dilakukan agar gambut di Rawa Tripa ini tetap basah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dinyatakan bersalah

Sebelumnya, KLHK menggugat PT.   Kallista   Alam   ke pengadilan secara perdata dan pidana karena telah melakukan pembukaan lahan di dalam hutan gambut Rawa Tripa, wilayah yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dengan cara membakar.

Pada 2014, PT.   Kallista   Alam   (PT KA) telah dinyatakan bersalah secara hukum karena melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar hutan Gambut Rawa Tripa, di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.

Pada tingkat pengadilan pertama, Pengadilan Negeri Meulaboh di Aceh Barat memerintahkan PT.   Kalista   Alam   membayar Rp114.3 miliar kepada negara dan Rp 251.7 miliar untuk memulihkan kawasan seluas 1.000 hektar yang dibakar itu.

PT. Kallista   Alam  tidak menerima putusan tersebut, lalu banding ke Pengadilan Tinggi Aceh, namun ditolak dan terakhir melakukan kasasi.   Pada 28 Agustus 2015, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Kasasi Nomor 651 K/Pdt/2015 Mahkamah Agung (MA), yang juga menolak kasasi PT.   Kallista   Alam   sekaligus memerintahan PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap putusan tersebut.   Namun, Pengadilan Negeri Meulaboh tidak mengeksekusi putusan itu.

 

 

Exit mobile version