Mongabay.co.id

Opini: Belajar dari Pelaksanaan Proyek REDD+ di Meru Betiri

Pembalakan liar di Meru Betiri. Foto: Pradipta Dirgantara/ Mongabay Indonesia

 

 

Pengurangan emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (reducing emissions from deforestation and forest degradation/REDD+) mendapat respon positif  sejak diinisiasi pada 2007 dalam Bali Action Plan. Sesuai namanya, REDD+ memiliki tujuan utama mereduksi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Salah satu proyek percontohannya di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB).

Penelitian Van Der Werf dan tim pada 2009 yang berjudul CO2 Emissions from Forest Loss, emisi karbon yang terjadi karena deforestasi dan degradasi hutan mencapai 10-15% dari total emisi global. Tak hanya mereduksi emisi karbon, REDD+ juga bertujuan memberikan manfaat lain seperti perlindungan jasa lingkungan yang disediakan hutan dan meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar hutan melalui peranan konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan.

Badan Pengelola REDD+ menyebutkan,  setidaknya pada 2013 sekitar 70 proyek percontohan REDD+ di Indonesia dengan kegiatan terus berkembang hingga periode berakhir. TNMB adalah proyek percontohan REDD+ pertama di tanah Jawa, yang berakhir pada 2014. Terletak di ujung timur Jawa bagian Selatan, TNMB membentang seluas 58.000 hektar dan terbagi dalam dua wilayah administratif, Kabupaten Jember dan Banyuwangi.

Proyek percontohan REDD+ di TNMB dikenal dengan nama Tropical Forest Conservation for REDD+ in Meru Betiri National Park yang mencakup penuh kawasan konservasi taman nasional dan didanai oleh International Tropical Timber Organization (ITTO) melalui 7 & i holding Ltd sebesar US$814.590 dan pemerintah Indonesia US$158.798,00.

Dalam dokumen resmi, proyek percontohan REDD+ di TNMB disebutkan memiliki durasi pelaksanaan 48 bulan dari 2010-2014 meliputi empat fase.

Fase pertama, fokus pada kerangka komprehensif untuk pelibatan pemangku kepentingan. Kedua, fase transisi ini fokus pada konsolidasi fase pertama dan pengembangan kegiatan fase dua. Fase kedua fokus pada pengembangan kapasitas individual komprehensif dan diseminasi informasi penghitungan cadangan karbon dan hasil proyek. Fase terakhir,  adalah pengawasan, pelaporan, dan evaluasi.

Pada 2011,  Balai TNMB berhasil menentukan baseline karbon pada proyek percontohan REDD+ dengan total 29.690.954,3 tCO2e.

Menilik indikator keberhasilan REDD+, dengan salah satu penurunan perhitungan emisi karbon, Balai TNMB mengakui, sampai 2015 penurunan perhitungan emisi karbon di TNMB belum mencapai target karena nilai tak signifikan.

Sebelum REDD+ diterapkan, TNMB sudah mengalami tekanan besar dari perambahan hutan dan pembalakan liar secara masif di banyak titik. Kondisi ini karena masyarakat sekitar taman nasional sangat bergantung pada komoditas hutan baik kayu maupun nonkayu.

Berdasarkan kajian ITTO tahun 2008, rata-rata pendapatan masyarakat sekitar taman nasional sangatlah rendah, hanya Rp1.500.000 per tahun.

Dari 12 desa yang tersebar di sekitar taman nasional, dua perkampungan yaitu Dusun Bandealit dan Sukamade,  berada di TNMB. Karena itu,  jauh sebelum masa REDD+, Balai TNMB sudah berupaya merehabilitasi lahan kritis karena pembalakan liar dengan menggandeng warga sekitar menanami tujuh hektar lahan kritis dengan tanaman bernilai guna dan konservasi. Juga memanfaatkan hasil seperti dilakukan warga di Desa Curahnongko dan Andongrejo yang berbatasan langsung dengan TNMB.

Sisi lain,  program REDD+ di TNMB digiatkan melalui program peningkatan kapasitas pemberdayaan masyarakat untuk kesejahteraan warga sekitar hingga bisa mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap hasil hutan. Salah satunya, melalui pelatihan dan pendampingan kewirausahaan pembuatan bibit budidaya jamur tiram mulai pada 2012.

 

 

Kasus pembalakan liar di TNMB berdasarkan kasus yang dikumpulkan penulis

 

Kegiatan ini,  ada di tiga desa yaitu Wonoasri, Curahnongko, dan Kebunrejo. Awalnya,  hanya ada satu lokasi usaha, setahun kemudian berkembang jadi tujuh lokasi budidaya jamur tiram yang masing-masing dikelola satu hingga dua anggota kelompok petani desa.

Dalam skema REDD+, jenis bantuan adalah penyelenggaraan pelatihan dan lokakarya, gudang jamur, dan pengadaan alat dan bahan dengan pendampingan dan pengawasan dari Balai TNMB.

Pada 2014,  penjualan jamur tiram hasil budidaya ini bisa menghasilkan keuntungan sekitar Rp3.500.000 perbulan.

Tidak hanya usaha peningkatan kesejahteraan warga, upaya meningkatkan kesadaran pun dilakukan Balai TNMB melalui konsultasi dan pertukaran informasi mengenai konservasi, kehutanan dan REDD+. Rata-rata pendidikan formal warga di sekitar TNMB masih rendah menyebabkan konsep REDD+ rumit seringkali sulit dimengerti. Karena itu,  banyak istilah REDD+ yang disederhanakan dengan konteks lokal. Dengan cara itu, warga terutama di Desa Curahnongko,  tetap antusias saat dilibatkan dalam sosialisasi dan pembuatan 40 plot sampel permanen (PSP) yang disebar di TNMB.

PSP itu ditanami jenis tanaman dengan buah dapat dimanfaatkan, tanpa perlu menebang pohon. Tak hanya melibatkan warga sekitar, beberapa kegiatan pun bersama pemangku kepentingan lain seperti Kembaga Konservasi Alam Indonesia Lestari (Kail).

Kail adalah LSM lokal yang dibentuk Latin dengan fokus cakupan konservasi di sekitar TNMB dengan anggota mayoritas warga Andongrejo.

Dengan berbagai program yang melibatkan partisipasi warga sekitar, idealnya,  perambahan dan pembalakan liar perlahan mulai menunjukkan pengurangan. Nyatanya,  partisipasi warga sekitar merehabilitasi dan REDD+ tak mengurangi kasus pembalakan liar di TNMB.

Kondisi ini menunjukkan, tingginya partisipasi komunitas dalam REDD+ tak selalu linier dengan pengurangan perambahan hutan dan pembalakan liar.

Dalam laporan strategi nasional REDD+ Bappenas menyebutkan, selama 2000-2010,  laju deforestasi Indonesia mencapai 1,125 juta hektar pertahun, 55,6% karena pembalakan liar. Pembalakan liar ini pula yang jadi tantangan terberat TNMB.

Pada awal implementasi REDD+ di TNMB,  terjadi peningkatan kasus pembalakan liar dari 2010-2011. Peningkatan terlihat menjelang akhir proyek yaitu 2013-2014. (Lihat tabel)

Balai TNMB bersama warga menyatakan pembalakan liar dilakukan oknum-oknum tak bertanggung jawab dan memiliki hubungan dengan penadah di luar kawasan. Awalnya,  lokasi pembalakan liar di dalam kawasan jauh dari jalan utama. Seiring waktu, ditemukan sisa-sisa kayu hasil pembalakan liar di pinggir jalan.

Beberapa kayu pembalakan liar temuan polisi hutan langsung dirusak agar tak bernilai ekonomi hingga tak bisa diperjualbelikan.

 

 

Pekerjaan rumah

Usai REDD+ di TNMB, banyak hal perlu dievaluasi jadi lesson learned bagi keberlangsungan proyek selanjutnya. Perlu kerja ekstra pemerintah pusat dan lokal menyinergikan program dan kebutuhan masyarakat terdampak di akar rumput maupun pemangku kepentingan lain. Ia juga berkaitan dalam menjaga optimisme dan memenuhi komitmen Indonesia menurunkan emisi sebesar 26% dari skenario pembangunan business as usual pada 2020 dengan dana sendiri dan 41% dengan bantuan asing.

REDD+, tak bisa berhasil kalau hanya fokus penurunan emisi. Untuk itu, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat terdampak ikut masuk sebagai indikator keberhasilan.

Selain itu,  masih ada REDD+ SES (social and environmental standards) yang perlu dipenuhi hingga jadi sistem safeguards penting. Hal ini untuk menghindari risiko serius dan dampak fatal pada masyarakat terdampak yang berkontribusi signifikan terhadap hak asasi manusia (HAM), pengurangan tingkat kemiskinan, dan konservasi hayati.

 

 

Referensi

Hakam, Januar. (2014). BP REDD Plus Jelaskan Status Demonstration Activities di Indonesia. Diakses melalui [https://www.ekuatorial.com/id/2014/08/english-the-redd-management-agency-explains-the-status-of-demonstration-activities-in-indonesia/][09/05/2018]

Balai Taman Nasional Meru Betiri. (2011). Buku Informasi Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri. Jember: Taman Nasional Meru Betiri.

Balai Taman Nasional Meru Betiri. (2010). Buku Informasi dan Demografi, Ekonomi, dan Sosial Taman Nasional Meru Betiri. Jember: Taman Nasional Meru Betiri.

Bappenas. 2010. Strategi Nasional REDD+. Jakarta: Bappenas.

ITTO. (2008). Project Document of REDD+ in Meru Betiri. ITTO.

ITTO. (2010). Tropical Forest Conservation for Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation and Enhancing Carbon Stocks in Meru Betiri National Park, Indonesia. Tokyo: ITTO.

Van Der Werf, GR., et al. (2009). CO2 emissions From Forest Loss. Nature Geoscience, 2(11)

 

Penulis adalah jurnalis lepas, pernah bekerja di TVRI.  Tulisan ini berdasarkan dari penelitian tesis magister penulis di University of Twente, Belanda,  pada 2016 dengan judul asli Participation of Local Community In The Implementation of REDD+ and Its Compliance with Sixth Principle of REDD+ SES (The Case of Meru Betiri National Park, Indonesia).

 

Foto utama: Pembalakan liar di Taman Nasional Meru Betiri. Foto: Pradipta Dirgantara/ Mongabay Indonesia

Papan tanda REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri. Foto: Pradipta Dirgantara
Exit mobile version