Mongabay.co.id

Tolak Pengerukan, Warga Sarankan Jaga dan Pulihkan Hutan Sekitar Danau Poso (Bagian 2)

Plang seruan menjaga kelestarian danau tumbang. Warga sekitar Danau Poso, protes pengerukan, mereka mengusulkan pemulihan hutan sekitar danau yang kritis. Foto: Andika Dika/ Mongabay Indonesia

 

Warga nelayan sekitar Danau Poso, memiliki cara-cara tangkap ikan tradisional, dari pakai tombak, sampai bikin keramba di danau. Rencana pengerukan danau dan sungai untuk kepentingan PLTA otomatis mengkhawatirkan mereka. Warga usulkan daripada pengerukan, pemerintah dan perusahaan lebih baik menjaga dan memulihkan hutan di daerah aliran sungai yang merupakan daerah tangkapan air yang akan mengalir ke Danau Poso…

Baca juga: Sumber Hidup Terancam, Nelayan Protes rencana Pengerukan Danau Poso (Bagian 1)

PT Poso Energy, anak usaha Kalla Group sudah mengoperasikan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Poso II berkapasitas 195 Megawatt (MW) pada 2016. Pada 2019, PLTA Poso I dan PLTA Poso III bakal mulai beroperasi.

Pembangunan PLTA lanjutan, bikin warga khawatir karena rencana Poso Energi mengeruk dasar sungai di hulu-hilir.  Mulai mulut Danau Poso ke arah sungai sepanjang 12,8 kilometer dengan kedalaman empat meter dan lebar 40 meter.

Pengerukan ini berarti bakal merusak keramba, tumpuan hidup warga.  Mereka juga menilai, pengerukan berpotensi bikin masalah kala hutan yang jadi daerah tangkapan air tak terjaga.

Oma Lim, perempuan nelayan Danau Poso, Tentena, Sulawesi Tengah, mengatakan, masyarakat yang khawatir rencana pengerukan tak dianggap. Pemerintah, katanya,  justru bicara tentang kepentingan Poso Energy.

“Katanya PLTA Poso I akan gagal kalau tidak pengerukan. Saya lihat ini sudah masuk arena politik, tetapi sangat merugikan masyarakat.”

Dia bilang,  semua nelayan menolak pengerukan. “Sekarang perusahaan paksakan terjadi. Kalau dipaksa akan terjadi masalah besar, ini akan jadi musibah besar bagi warga Tentena,” katanya.

Menurut Oma Lim, dampak pengerukan setidaknya ciptakan dua masalah. Pertama, orang akan kehilangan pekerjaan karena keramba hancur. Kedua, pendangkalan danau akan terus terjadi karena limpahan material dari darat dampak pepohonan hutan di hulu terus berkurang. Poso Energy, katanya, tak berupaya melestarikan hutan di sekitar Danau Poso.

Nelayan di sekitar Danau Poso melihat ‘kekuatan’ yang ada sekarang bergerak ke arah pengerukan.  Oma Lim, khawatir, bila pengerukan dipaksa bisa membuat banyak orang kehilangan pekerjaan sebagai nelayan tradisional.

John Lusikoy, pegiat lingkungan Kota Tentena mengatakan, Poso Energy berencana mengeruk sungai sepanjang 12.8 km dari hulu sungai ke arah hilir, sejajar dengan situs Watu Mpangasa.

Pengerukan pada bagian tengah sungai, persis di badan sungai yang sejajar dengan Kantor Dinas Perhubungan Poso di Tentena,  sampai Muara Sungai Wimbi.

Rencana pengerukan itu, berdasar nota kesepahaman (memorandum of understanding) Pemerintah Poso dengan Poso Energi, 6 April 2017. Tandatangan MoU oleh Bupati Poso, Darmin Agustinus Sigilipu dan Presiden Direktur Poso Energy,  Achmad Kalla, di Kantor Bupati Poso.

Dikutip dari Palueskpres, menyebutkan, kerja sama itu guna dana tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/ CSR) dengan agenda utama memperbaharui dan membenahi debit air dan pariwisata seputar Danau Poso.

“Penandatanganan ini berguna untuk kemajuan dan kesejahteraan Kabupaten Poso, khusus Kota Tentena untuk membenahi danau dan sungai Poso,” kata Darmin, seperti dikutip di Paluekspres.

Kepada Mongabay, Roy, staf Badan Penelitian dan Pengembangan Poso mengatakan, sampai saat ini detail engineering design (DED) rencana pengerukan Danau Poso, masih tahap finalisasi, baik di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) maupun di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Opsi ini diambil setelah koordinasi dari berbagai organisasi pemerintah daerah terkait. Adapun dasar hukum adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang pengelolaan danau dan sungai,” katanya.

Data rencana pengelolaan sumber daya air (RPSDA) tahun 2017 dari Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi III, menyebutkan, bahaya erosi Sungai Poso adalah 180-480 ton per hektar pertahun dan beberapa titik di bantaran sungai merupakan area rawan banjir.

Wilianita Selviana, pegiat lingkungan mantan Direktur Eksekutif Walhi Sulteng mengatakan, kajian BWS ini jadi basis argumentasi Poso Energy mengeruk danau.

Data RPSDA 2017, menyebutkan, lebar sungai pada ruas ini sekitar 60 meter sampai 200 meter, lebar pengerukan  40 meter, dari sisi sungai 20 meter ke kiri dan 20 meter ke kanan.

Kedalaman sungai sebelum pengerukan pada ruas ini 4,4-5,5 meter, lebar sungai eksisting sekitar 30 meter-50 meter  dan lebar rencana pengerukan 26 meter.

Dalam rilis Poso Energy pada 2018, menyebutkan, sejumlah jembatan yang akan dilalui proyek ini,  yakni jembatan beton Pamona, jembatan kayu Yondompamona, dan jembatan beton Petirodongi. Juga ada rencana penguatan kaki Jembatan Pamona  disertai renovasi jembatan kayu Pamona (Yondompamona)  dan penguatan kaki jembatan beton Petirodongi.

 

Front Advokasi Rano Poso (FARP) aksi protes pengerukan. Foto: Andika Dhika/ Mongabay Indonesia

 

Hutan berkurang

Dalam siaran pers Front Advokasi Rano Poso (FARP) pada 26 April 2018,  Koordinator Lapangan FARP Pdt. Nickolas A. Ladjamba menyampaikan, kurang 10 tahun laju tutupan hutan berkurang di Poso. Data BPS Poso, hutan lindung seluas 154,906 hektar pada 2017, turun hampir 50% dari 2012 seluas 299.170 hektar.

“Tahun 2016, UPT Kehutanan Poso mengakui kerusakan hutan di Poso makin nyata, seiring makin maraknya perambahan karena pembukaan lahan perkebunan serta pembalakan liar,” kata Nickolas.

Pemerintah daerah, katanya, kewalahan menangani, bahkan perambahan hutan hampir terjadi di semua desa.

Untuk itu, dia mengkritik, rencana penataan Sungai Poso dengan mengeruk di hulu Sungai Poso oleh Poso Energi berdasarkan data BWS III Sulawesi di bawah KPUPR.

Padahal, katanya, yang terjadi beberapa DAS (daerah aliran sungai) yang menyuplai air ke Danau Poso,  dalam kondisi kritis karena kerusakan daerah tangkapan air akibat pembalakan hutan maupun alih fungsi ke perkebunan– sebagian besar—jadi sawit.

Kondisi ini, katanya, tak boleh dibiarkan, apalagi luput dari perhatian semua pihak.

Upaya reboisasi atau penghijauan kembali maupun rehabilitasi hutan, katanya, harus dilakukan.  Dengan kondisi sekarang, perlu waktu cukup lama mengembalikan fungsi hutan yang rusak.

“Tidak cukup hanya satu atau dua tahun. Edukasi lingkungan terkait manfaat dan dampak ke masyarakat luas terutama di Poso harus dilakukan agar masyarakat terlibat aktif menjaga hutan dan melindungi area tangkapan air,” katanya.

Nickolas berpendapat, rencana penataan Sungai Poso dengan pengerukan di badan sungai sepanjang 12.8 km itu bukanlah solusi bijak. Karena, katanya, kondisi area tangkapan air kritis dan belum tertangani dengan baik.

“Ini sudah memunculkan masalah baru yang juga pasti berdampak pada kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan di hulu akan sangat menentukan di wilayah hilir. Sudah pasti tak terbantahkan, ketika hulu rusak,  hilir akan menuai bencana.”

Dia khawatir, kalau pengerukan terlaksana sama saja mengundang bencana besar di masa datang.

“Jika hulu sungai dikeruk, debit air yang akan terbawa ke hilir akan lebih besar bersama material bawaan,  apalagi jika ada pintu air yang mengatur otomatis air akan tetap pada posisi konda (tidak pasang dan tak juga surut-red), bentang alam dan proses alamiah air sungai sudah pasti berubah drastis,” katanya.

 

 

Tak transparan

Yopi Harry, Direktur Yayasan Panorama Alam Lestari  (YPAL), menyoroti soal kerjasama Pemerintah Poso dan Bukaka dalam hal penggunaan air. Dia duga, penggunaan air, tak hanya untuk perbaikan danau, tetapi ada keperluan industri terutama energi.

Dia bilang, penting melihat kembali, kesepakatan-kesepakatan seperti apa dan bagiamana dari sisi lingkungan, analisis dampak, maupun konstruksi bangunan.

“Danau Poso,  punya nilai kebudayaan tinggi bagi warga Poso. Danau juga tak bisa dilihat berdiri sendiri, ada sungai, kalau hulu dibongkar harus pertimbangkan hilir,” ucap Yopi.

Dia khawatir, secara birokrasi pemerintah daerah tak memiliki analisa yang baik. Pemerintah, seharusnya memberikan gambaran rencana jelas pada publik.

Dia bilang, fungsi sosial Danau Poso amat luas, selain bernilai budaya, secara ekonomi juga sangat penting bagi masyarakat.

Kalau wilayah itu akan ada intervensi,  berpotensi mengganggu stabilitas masyarakat.

“Misal, soal air, perlu ada kekhawatiran berdampak pada hilir, kalau konstruksi tak bagus, bisa berdampak pada orang-orang yang tinggal di Kota Poso.”

Menurut Yopi, masyarakat ingin ada mekanisme pembangunan yang transparan, misal, kejelasan soal pelibatan masyarakat.

“Informasi soal rencana ini tak didiskusikan dengan baik, akhirnya ini jadi polemik di masyarakat, konstruksi kebijakan sepertinya belum tersampaikan dengan baik, soal tanggung jawab dan lain-lain,” ucap Yopi.

Dia melihat,  upaya komunikasi sejauh ini oleh pemerintah daerah kepada masyarakat pun minim.

“Mau seperti apa rencana ini? Hanya sosialisasi terbatas, dan hanya beberapa pihak saja mengetahui. Dua kali hearing, DPRD baru akan memanggil. Harusnya juga melibatkan DPRD.”

Kunci dari semua ini, kata Yopi,  pelibatan para pihak terkait di sekitar danau. (Bersambung)

 

Foto utama:  Plang seruan menjaga kelestarian danau tumbang. Warga sekitar Danau Poso, protes pengerukan, mereka mengusulkan pemulihan hutan sekitar danau yang kritis. Foto: Andika Dhika/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version