Mongabay.co.id

Rentannya Duyung di Pulau Bintan Riau. Ada Apa?

Keberadaan Duyung (Dugong dugon) di perairan Pulau Bintan dan sekitarnya, sejak lama sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di Provinsi Kepulauan Riau. Mamalia laut tersebut, selalu menarik perhatian sebagian masyarakat, baik yang ada di dalam maupun luar pulau. Tak heran, Duyung kemudian menjadi ikon pariwisata di Kabupaten Bintan.

Dari waktu ke waktu, ketertarikan masyarakat terhadap satwa laut tersebut makin meningkat. Bukan saja sebagai obyek pariwisata, Duyung juga diburu dan dikonsumsi. Seperti yang terjadi di pulau Air Glubi yang letaknya sangat berdekatan dengan pulau Bintan.

Site Manager Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP) Indonesia untuk Bintan Siti Kusmiati menyebut, ketertarikan masyarakat terhadap Duyung sebagai dua sisi mata uang. Yaitu berdampak positif, karena Duyung semakin dijaga keberadaannya di laut. Di sisi lain, Duyung terancam hilang dari perairan di sekitar Bintan.

“Duyung adalah mamalia laut yang keberadaannya semakin langka. Perlu kerja sama semua pihak, termasuk masyarakat di Bintan untuk bisa melestarikan hewan laut itu,” ucap perempuan yang biasa dipanggil Ati itu saat bertemu Mongabay di Bintan, pada akhir April lalu.

baca : Miris.. Masih Banyak Nelayan Berburu Duyung di Bintan Riau. Begini Ceritanya..

 

Seekor duyung (Dugong dugon) sedang mencari makan dengan mangaduk padang lamun di dasar perairan pesisir. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Menurut Ati, selain harus mengampanyekan perubahan cara pandang terhadap Duyung di masyarakat, tantangan sangat besar dirasakan di Bintan, adalah penyadartahuan konservasi Duyung kepada para nelayan. Pasalnya, meski pemahaman membaik, tetapi kebiasaan nelayan menangkap ikan masih membahayakan Duyung.

Ancaman tersebut, adalah penggunaan alat tangkap jaring yang biasa ditebar nelayan di satu blok kawasan perairan dan kemudian ditinggalkan selama hampir 24 jam. Kondisi itu bisa membuat Duyung terperangkap jaring.

“Karena jaring yang ditebar ada di lokasi perairan dangkal dan di sekitarnya terdapat padang Lamun yang menjadi lokasi favorit Duyung untuk mencari makan. Tetapi, biasanya, saat nelayan kembali mengecek jaring, tak jarang ditemukan Duyung yang sudah terperangkap,” jelasnya.

Duyung yang terperangkap selama berjam-jam, biasanya beresiko mati. Kalaupun masih hidup, peluang untuk bertahan dan pulih akan sangat kecil. Sehingga sebagian besar duyung akan mati.

baca : Terjerat Jaring Nelayan, Begini Nasib Duyung di Konawe Utara Ini…

 

Seekor Dugong (Dugong dugon) alias duyung yang tertangkap tak sengaja (bycatch) dengan jaring permukaan (gillnet) di perairan Pulau Laut, Natuna, Kepulauan Riau, Selasa (30/01/2018). Foto : Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pulau Laut / Mongabay Indonesia

 

Oleh karena itu ancaman tertinggi bagi Duyung di Bintan adalah tangkapan yang tidak sengaja (by cacth). Untuk menghentikan resiko tersebut, diakuinya bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Mengingat, penggunaan jaring sebagai alat tangkap sudah dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun dan itu dianggap sebagai kebiasaan yang normal.

“Sebenarnya, penggunaan jaring tidak menjadi masalah, karena itu tidak merusak lingkungan. Tetapi, karena ada Duyung, maka jaring juga menjadi ancaman. Masyarakat masih belum terlalu paham soal itu,” jelas Ati.

Di Bintan, alat tangkap yang biasa digunakan untuk menangkap ikan adalah kelong caca, yaitu jaring yang dipakai pada sebuah bangunan menyerupai bagan dan ditempat di satu lokasi perairan tertentu yang dinilai sebagai tempat berkumpul ikan.

baca : Jokowi : Ikan Putri Duyung Hanya Cerita. Begini 20 Fakta Sebenarnya Tentang Duyung

 

Seekor duyung (Dugong dugon) sedang memakan lamun di perairan Filipina. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Limbah Kapal

Ancaman lain di perairan Bintan, adalah limbah kapal seperti sisa bahan bakar. Biasanya, menurut Ati, limbah tersebut akan dibuang ke tengah laut di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang menjadi batas wilayah Negara. Peristiwa tersebut, selalu terjadi setiap tahun dan pelakunya juga masih sulit dideteksi karena dilakukan di kawasan ZEE yang tidak bisa dijangkau oleh aparat.

Hal itu dibenarkan Syamsul Hidayat, anggota Kelompok Pengawasan Masyarakat (Pokmaswas) Desa Pegudang Kecamatan Teluk Sebong. Limbah yang selalu muncul setiap tahun di perairan Bintan, menjadi masalah yang tidak terselesaikan. Pasalnya, limbah terbawa arus hingga naik ke kawasan pantai.

“Yang paling mengkhawatirkan, adalah limbah bisa merusak padang lamun yang menjadi makanan Duyung. Kalau Duyung mungkin akan berenang jauh ke laut dalam untuk menyelamatkan diri dari limbah. Tetapi, kalau mereka kehilangan makanan lamun, bagaimana bisa bertahan hidup Duyung-duyung itu?” ungkap Syamsul.

Sehingga limbah kapal menjadi ancaman besar lain pelestarian Duyung. Namun, penyelesaiannya perlu keterlibatan banyak pihak, termasuk Pemerintah Pusat. Mengingat, jalur pelayaran yang selalu ditemukan limbah bahan bakar kapal, selain di ZEE, juga di jalur yang dikelola Kementerian Perhubungan RI.

“Semoga saja segera dituntaskan itu masalah limbah. Kita, masyarakat juga menjadi terganggu dan proses pelestarian Duyung juga menjadi terhambat,” tandasnya.

baca : Miris.. Duyung Terdampar Di Pantai Ini Malah Dipotong-potong dan Dijual

 

Seekor duyung (Dugong dugon) sedang mencari makan dengan mangaduk padang lamun di dasar perairan pesisir. Seorang penyelam mengabadikan momen itu. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Sekretaris Desa Pegudang Yanti Mardaliah saat ditemui di Balai Desa Pegudang, menjelaskan limbah kapal menjadi ancaman besar pelestarian Duyung. Namun, ada lagi ancaman lain yang dihadapi yaitu penyusutan habitat padang lamun di Desa Pegudang yang semula 4 hektare menjadi tersisa 2 hektare.

Menurut Yanti, penyusutan terjadi karena perairan di Desa Pegudang masuk dalam wilayah pelabuhan internasional yang sedang dibangun di kawasan tersebut. Untuk proses pembangunan, pihak pelaksana mengambil kawasan padang lamun untuk pembangunan jalur pelayaran kapal.

“Tak hanya itu, di Desa kami juga tanah sebagian besar dikuasai perusahaan swasta. Jadi kalau kami ingin melaksanakan program konservasi menjadi terbatas. Padahal, di Desa Pegudang ini sering dijumpai Duyung sejak dulu hingga sekarang,” tuturnya.

Selain Desa Pegudang, kawasan lain di Pulau Bintan yang juga menjadi kawasan konservasi Duyung dan diinisiasi oleh DSCP Indonesia, adalah Desa Teluk Bakau, Malang Rapat, dan Berakit. Di empat desa tersebut, saat ini sudah dibuat peraturan desa (Perdes) tentang Daerah Perlindungan Padang Lamun (DPPL) yang menjadi induk dari konservasi Duyung. Untuk pelaksanaan tersebut, DSCP juga menggandeng pihak swasta yang ada di Bintan seperti Banyan Tree Resort, Nikoi, dan Club Med.

baca: Kisah Para Pemburu Dugong di Teluk Bogam

 

Seekor duyung (Dugong dugon) sedang mencari makan dengan mangaduk padang lamun di dasar perairan pesisir. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bidang Kelautan, Konservasi, dan Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau Sunipto menjelaskan keempat desa yang memiliki DPPL tersebut, saat ini sudah dimasukkan dalam naskah akademik rancangan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Draf tersebut, diharapkan sudah bisa disahkan pada pertengahan tahun ini atau maksimal pada akhir 2018.

Adanya perda RZWP3K di Kepri, maka pengaturan kawasan perairan bisa dilakukan dengan bijak dan sesuai peruntukkan. Keberadaan perda tersebut, ke depannya akan mendukung upaya konservasi pada biota laut yang ada di perairan Kepri, khususnya Bintan seperti Duyung.

Upaya konservasi terhadap Duyung di Bintan, juga dilakukan dengan menyelamatkan spesimen mamalia laut tersebut. Upaya tersebut dilakukan oleh tim Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB), bertujuan untuk penanda keberadaan Duyung dan penguat aksi konservasi kepada masyarakat.

baca : Penanganan Dugong Terdampar: Diteliti Dulu atau Langsung Dikubur/Ditenggelamkan?

 

Seekor Dugong (Dugong dugon) alias duyung yang tertangkap tak sengaja (bycatch) dengan jaring permukaan (gillnet) menjadi tontonan masyarakat di perkampungan nelayan di Pulau Laut, Natuna, Kepulauan Riau, Selasa (30/01/2018). Foto : Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pulau Laut / Mongabay Indonesia

 

Pengajar pada FPIK Adriani Sunuddin di Bintan, mengatakan, penyusunan spesimen dilakukan pada 2015 saat tim IPB mendatangi Desa Pegudang. Saat itu, penyusunan dilakukan, karena tim ingin mengabadikan fisik Duyung dan dilihat oleh masyarakat umum. Kebetulan, pada saat itu, tim mendapat kabar ada anakan Duyung yang mati dan dikubur selama dua tahun sejak 2013.

“Saat itu kemudian kita bongkar kuburan dan diangkat kerangka anakan berusia sekitar dua tahunan itu, kemudian menyusunnya menjadi bentuk utuh. Perlu waktu sekitar lima hari untuk menyelesaikannya. Dengan adanya spesimen, maka warga bisa melihat kapan saja bagaimana rupa dan bentuk Duyung itu sebenarnya,” jelas dia.

Dengan keberadaan spesimen yang disimpan di Desa Pegudang, Adriani berharap, kesadaran masyarakat terhadap konservasi Duyung dan Lamun bisa terus meningkat. Juga, diharapkan masyarakat bisa ikut menularkan pengetahuannya kepada warga lain yang belum paham tentang Duyung dan Lamun.

baca : Padang Lamun di Teluk Bogam, Rumah Makan Kawanan Dugong

 

Padang lamun di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Lamun merupakan makanan dari duyung. Foto : DSCP Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Dilindungi

Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga yang tumbuh di dasar perairan pesisir. Biasanya, lamun membentuk hamparan yang disebut padang lamun. Lamun sejatinya bukanlah rumput laut, tapi dia adalah tumbuhan yang memiliki daun, rimpang/ batang yang menjolor (rhizome), dan akar sejati. Sedangkan rumput laut (seaweed) adalah ganggang (elgae).

Sebagai tumbuhan laut, lamun biasanya tumbuh terendam di dalam air laut yang bersubstrat pasir atau campuran pasir, lumpur, dan pecahan karang, sampai ke kedalaman air laut yang tidak lagi terkena penetrasi sinar matahari. Di Indonesia, lamun umumnya tumbuh di daerah pasang surut dan sekitar pulau-pulau karang.

Sebagai pengendali ekosistem di laut, lamun menjadi habitat yang penting dan sebagai tempat bagi biota laut mengasuh dan membesarkan anaknya, serta tempat mencari makan bagi ikan-ikan karang, seperti kakap dan satwa laut berukuran besar seperti penyu dan duyung.

 

Padang lamun di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Lamun merupakan makanan dari duyung. Foto : DSCP Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Di Indonesia, terdapat 13 jenis lamun dari total 60 jenis lamun di seluruh dunia. Meski cukup banyak, namun DSCP mengingatkan bahwa lamun berpotensi bisa terkena penyakit diakibatkan air laut yang tercemar. Biasanya, itu dipengaruhi dari kesadaran warga pesisir untuk bisa menjaga laut dari pencemaran.

Dengan menjaga laut dari pencemaran, maka manfaat dan fungsi lamun akan bisa bekerja dengan baik. Lamun adalah tanaman bisa mengolah karbon dioksida dan mengubahnya menjadi energi dalam bentuk biomassa yang dimanfaatkan oleh biota-biota laut seperti ikan-ikan.

Lamun juga berperan sebagai pemerangkap sedimen di laut. Daun lamun yang lebat akan memperlambat arus dan ombak yang dapat menyebabkan erosi. Kemudian, daun dan sistem akar lamun dapat memerangkap sedimen dan mengendapkannya di dasar, sehingga air menjadi lebih jernih dan terjaga kualitasnya.

Sementara, Duyung adalah mamalia laut yang sudah dikenal di masyarakat Indonesia sejak lama. Hewan laut itu tubuhnya bisa mencapai antara 2,4 hingga 3 meter dengan rentang berat badan dari 230 hingga 908 kilogram. Sebagai mamalia laut yang bertubuh besar, Duyung termasuk lambat dalam reproduksinya. Untuk bisa mendapatkan satu anakan Duyung, waktu yang diperlukan bisa mencapai 14 bulan kehamilan dengan rentang waktu antar kelahiran rerata 2,5 hingga 5 tahun.

Menurut Ketua Yayasan Lamun Indonesia (Lamina) Aditya Hikmat Nugraha, anakan Duyung akan disusui selama 14 bulan dan akan terus bersama induk betina hingga berusia 7 tahun. Setelah itu, anakan Duyung akan dilepas oleh induk untuk kawin. Selanjutnya, Duyung akan menjadi dewasa dan hidup mencapai rerata hingga 70 tahun.

Sebagai negeri kepulauan, Indonesia diuntungkan karena menjadi negeri habitat bagi Duyung. Dari barat di Aceh hingga timur di Papua, populasi Duyung dinyatakan ada. Ilmuwan spesialisasi laut, Mark Spalding pernah memaparkan bahwa populasi Duyung di Indonesia sebagian besar ada di Indonesia Timur, khususnya di perairan Arafura, Papua, perairan Nusa Tenggara (Lesser Sunda), Paparan Sunda, dan selat Makassar.

Perang ekologis Duyung sangatlah penting, sebagai pengendali ekosistem laut yang tidak tergantikan biota laut lainnya. Sebagai pemakan lamun, Duyung biasa memakannya dengan cara mengaduk substrat yang ada di bawah pasir laut. Cara tersebut membantu siklus nutrien di alam dan menyuburkan tanah yang ada di bawah perairan.

Oleha karena itu, Pemerintah memasukkan Duyung sebagai satu dari 20 spesies prioritas yang dilindungi dan tercatat dalam Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Dan dalam UU No.31/2004 tentang Perikanan. Selain itu, dilindungi Peraturan Pemerintah No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Di level internasional, Dugong dilindungi dengan masuk daftar Global Red of IUCN dengan status rentan (Vulnerable/VU), dan daftar The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dengan status Appendix I atau dilarang memperdagangan bagian tubuhnya dalam bentuk apapun.

 

Exit mobile version