Mongabay.co.id

Cikalang Juga Menderita Bila Laut Tercemar

Peneliti Aldo Pacheco Ferreira dalam jurnal Marine Ornithology tahun 2014 menyatakan, burung laut merupakan salah satu indikator produktivitas dan kesehatan yang baik bagi lingkungan laut. Pola distribusi dan kelimpahan burung laut, sangat berkorelasi dengan produksi primer dan kelimpahan ikan.

Fluktuasi populasi, kematian massal, dan fenomena lain yang mempengaruhi populasi burung laut dapat digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan kontaminan. Tidak mengherankan, burung laut digunakan dalam beberapa studi pemantauan lingkungan.

Beberapa penelitian pun mengungkapkan, jenis yang berguna sebagai indikator sehatnya laut, untuk mengetahui jenis polutan di tubuh burung laut, adalah burung cikalang. Alasannya, jenis ini termasuk konsumen paling tinggi dalam jaring-jaring makanan di laut.

 

Cikalang christmas betina. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Penelitian yang dilakukan Rowan Mott dan kawan-kawan dalam jurnal Marine Pollution Bulletin 2017 menunjukkan, paparan merkuri melalui bulu mengungkapkan bahwa jenis cikalang kecil dan cikalang besar sama-sama terpapar. Perbandingan konsentrasinya adalah burung dewasa lebih tinggi ketimbang burung muda.

“Kami melakukan analisis terhadap bulu kedua burung ini saat di sarang, sebelum melakukan perjalanan ke beberapa lokasinya untuk mencari makan di Samudra Hindia bagian timur, Australia bagian barat laut, dan Indonesia. Hasil ini memberikan masukan, perlunya pengaturuan emisi merkuri yang lebih ketat untuk meminimalkan potensi ancaman terhadap cikalang dan jenis burung lainnya,” jelas Rowan.

Merkuri yang menggenangi laut, tentunya akan diserap oleh ikan, krustasea, dan plankton. Biota laut yang terpapar ini selanjutnya dimakan oleh cikalang dan burung laut lainnya. Efek dari kandungan merkuri yang tinggi berakibat telur burung pecah sebelum waktunya, perkembangan sistem syaraf terganggu, keberhasilan reproduksi menurun, hingga berdampak pada ketidaksempurnaan embrio.

Baca: Burung Air, Kenapa Harus Disensus?

 

Sekumpulan cikalang yang bertengger di bambu sero di Teluk Jakarta. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Cikalang

Cikalang merupakan burung laut dari suku Fregatidae. Jenis ini memiliki tubuh panjang dan ekor menggarpu, tipikal penerbang handal dengan bentuk paruh seperti kait. Julukannya, “burung perampok” karena kecepatannya merebut makanan dari jenis lainnya.

Di Indonesia, ada tiga jenis cikalang yang beredar yaitu cikalang christmas (Fregata andrewsi), cikalang kecil (Fregata ariel), dan cikalang besar (Fregata minor). Di utara Jakarta, tiga jenis ini akan dengan mudah terlihat, terutama di Teluk Jakarta, saat mencari makan.

Di teluk yang terletak antara Tanjung Pasir dan Tanjung Karawang ini, memang masih dijumpai berbagai jenis ikan. Berdasarkan data volume dan nilai produksi perikanan tangkap di laut dan perairan umum Provinsi DKI Jakarta, diperkirakan di wilayah ini terdapat sekitar 60 jenis ikan, cumi, rajungan, hingga udang.

Meski memiliki keragaman biota, nyatanya Teluk Jakarta tidak bebas dari beban pencemaran. Ini dikarenakan, ada 13 sungai yang mengalir ke wilayah ini sekaligus sebagai aliran pembuangan yaitu Angke, Bekasi, Cakung, Cidurian, Ciliwung, Cikarang, Cimancuri, Ciranjang, Cisadane, Citarum, Karawang Krukut, dan Sunter.

 

Sampah plastik yang bertebaran di Teluk Jakarta. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Arifin, peneliti LIPI Oceanography dalam laporan Condition and Trend of the Greater Jakarta Bay Ecosystem tahun 2004 menuliskan, sejatinya ekosistem Teluk Jakarta menyediakan empat fungsi utama kesejahteraan manusia dan pembangunan ekonomi. Ada layanan pendukung kehidupan, pasokan sumber daya alam, rekreasi, dan pengatur limbah.

Mangrove, padang lamun dan terumbu karang yang berada di sekitar Teluk Jakarta mendukung keberadaan kehidupan laut dan komunitas lokal. Sementara, di daratan ada sekitar 50 industri mulai dari transportasi, dermaga, produk susu, hingga industri dan rekreasi.

“Perkembangan yang cepat di Jabotabek dalam 20 tahun terakhir menyebabkan perairan pesisir Teluk Jakarta semakin dipengaruhi kombinasi dampak manusia dan alam yang meliputi transformasi ekosistem alam, praktik-praktik tidak berkelanjutan, hingga eksploitasi sumber daya dan polusi,” jelasnya.

Polusi yang paling mengancam keberadaan biota laut adalah logam berat hasil buangan industri yang berada di sekitar Teluk Jakarta. Penelitian mengenai logam berat di Teluk Jakarta ini telah dilakukan oleh Cordova bersama peneliti LIPI Oceanography pada 2016 sebagaimana tertera dalam jurnal Marine Research in Indonesia.

Riset ini mengungkapkan, logam berat tembaga (Cu), kadmium (Cd), seng (Zn) ditemukan dekat mulut sungai. Sedangkan konsentrasi tinggi jenis logam berat timbal (Pb), nikel (Ni), dan merkuri (Hg) ditemukan sekitar lima kilometer dari garis pantai.

 

Distribusi cikalang christmas di Teluk Jakarta. Sumber peta: Burung Laut Indonesia

 

Cordova dkk juga menjelaskan nilai yang dapat dibandingan dengan TEL dan PEL. TEL (Threshold Effect Level) adalah tingkat dibawah efek merugikan yang jarang menyebabkan efek kematian pada biota akuatik; sedangkan PEL (Probable Effect Level) adalah tingkat konsentrasi rendah dalam memberikan perlindungan untuk biota akuatik.

Konsentrasi logam berat yang berada di bawah TEL akan menghasilkan kurang dari 10% efek berbahaya, sementara konsentrasi yang lebih tinggi dari PEL akan menghasilkan 50-70% efek berbahaya.

“Hasil yang diperoleh yaitu tembaga (Cu) di muara sungai dan 5 km; timbal (Pb) di jarak 5 km; nikel (Ni) di muara sungai jarak 5 km, 10 km, dan 20 km; seng (Zn) di muara sungai, 5 km dan 10 km; merkuri (Hg) di mulut sungai, di jarak 5 km, 10 km, dan 20 km melewati nilai TEL. Sementara konsentrasi seng (Zn) di mulut sungai dan merkuri (Hg) di mulut sungai dan di jarak 5 km telah melewati nilai PEL,” terangnya.

Menurut Cordova, konsentrasi logam berat yang lebih tinggi di dekat pantai Teluk Jakarta mencerminkan dampak antropogenik yang tinggi. Hal ini karena banyaknya industri transportasi, farmasi, kertas, kulit, kimia dan industri petrokimia yang membuang limbahnya ke sungai. Kurangnya instalasi pengelolaan air limbah di kawasan industri hulu juga menyebabkan sejumlah besar logam berat dibuang ke ekosistem Teluk Jakarta.

 

Literatur

Cordova M,R., Purbonegoro, T., Puspitasari, R., Hindarti, D. 2016. Assessing contamination level of Jakarta Bay nearshore sediments using Green Mussel (Perna viridis) larvae. Mar. Res. Indonesia vol 41 (2): 67-76

Mott R., Herrod A, Clarke, R.H. 2017. Post-breedaing dispersal of frigatebirds increases their exposure to mercury. Marine Pollution Bulletin 119: 204-210.

Ferreira, A.P. 2014. Persistent organic pollutant levels in Magnificent Frigatebird Fregata magnificens in Southeastern Brazil. Marine Ornithology 42:163-167

Arifin, Z. 2004. Local Millenium Ecosystem Assessment: Condition and Trend of the Greater Jakarta Bay Ecosystem. Report submitted to the Assistant Deputy Minister for Coastal and Marine Ecosystem, Ministry of Environment, Republic of Indonesia.

 

 

Exit mobile version