Mongabay.co.id

Rawan Konflik Gajah-Manusia di Lanskap Bukit Tigapuluh, Koridor Satwa Masih Terkendala

Gajah Sumatera dari Bukit Tigapuluh, sedang mencari makanan. Habitat mereka terus tergerus hingga sering konflik dengan manusia. Foto: Frankfurt Zoological Society / Alexander Moßbrucker & Albert Tetanus

 

 

Ruang gerak gajah Sumatera makin sempit di lanskap Bukit Tigapuluh, Jambi. Alhasil, konflik dengan manusia pun terus terjadi, seperti menimpa Damanhuri, warga Desa Pinang Belai, Kecamatan Serai Serumpun, Tebo, Jambi. Dia alami cedera serius karena tertabrak gajah, April lalu.

Sementara, rencana pembuatan koridor satwa hingga kini masih terkendala karena sebagian bakal melewati dan menggunakan lahan konsesi perusahaan.

Kejadian Damanhuri bermula kala dia menghalau gajah dengan peralatan seadanya bersama beberapa warga yang berkebun di Dusun Tanjung Dani, Desa Tuo, Kecamatan Sumay.

Mereka menghalau gajah dengan berpencar. Saat dia berupaya mengusir gajah dan berhadapan langsung, warga ketakutan dan melarikan diri.  Gajah menabrak Deman terkena dada.

Berdasarkan pantauan tim mitigasi konflik gajah  Frankfurt Zoological Society (FZS) mengatakan, ada tiga gajah jantan dewasa dan satu remaja.

Wawan Gunawan, Kepala Seksi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi mendapatkan informasi konflik ini bersama Polres Tebo lalu mengunjungi Damanhuri di RSUD Hanafie.

Dia bilang, BKSDA Jambi juga akan sosialisasi cara menghalau gajah. Kala Damanhuri dan warga lain coba mengusir, katanya, gajah sedang istirahat. Kala warga datang, diduga gajah panik. “Kami akan sosialisasi ke masyarakat kalau menghalau gajah jangan pas siang, biasanya sore,” katanya.

Berdasarkan keterangan dokter Thobroni Ayub, Damanhuri tak alami patah tulang dan ada luka di leher tetapi tak mengganggu sistem pernapasan hingga tak perlu operasi.

“Leher itu bagian tubuh banyak urat syaraf hingga berisiko jika operasi. Jika sistem pernapasan terganggu atau terjadi pembengkakan operasi akan dilakukan” katanya.

Damanhuri sudah kembali ke rumah tetapi wajib kontrol ke klinik Thobroni. “Perlu istirahat dan banyak gerak” katanya.

Pada 25 April, BKSDA Jambi dan penggiat konservasi gajah memberikan santunan pada Damanhuri. “Sumbangan ini berasal dari teman-teman penggiat konservasi, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah untuk membantu Pak Damanhuri,” kata Krismanko Padang, Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI).

 

Koridor satwa terkendala

Soal konflik manusia dan gajah, katanya,  FKGI terus mendorong semua pihak bersama-sama mengatasi masalah ini.

“Opsi pembuatan koridor masih pilihan utama,” katanya.

Pembuatan koridor, katanya, sudah jadi wacana sejak beberapa tahun lalu. Meskipun begitu, dalam pelaksanaan seperti peruntukan kawasan untuk koridor masih menghadapi kendala.

Kawasan yang bakal jadi koridor, katanya,  berstatus hutan produksi yang sudah terbebani izin. Seharusnya, para pemegang konsesi di kawasan itu bisa merelakan sempadan sungai sekitar 100 meter di kiri dan kanan jadi koridor.

“Sebenarnya kawasan sempadan sungai sudah bisa untuk koridor karena dalam aturan wilayah konsesi sempadan sungai dilarang digarap.”

Dia berharap, konsesi dapat memberikan 50 meter di kedua sisi sungai untuk jadi koridor. “Nanti di titik-titik berkumpul gajah juga dilakukan pengayaan pakan.”

Krismanko bilang, kalau kawasan itu dikonservasi sebagai koridor satwa, tak hanya gajah atau satwa terjaga, sungai yang jadi sumber air masyarakat juga terpelihara.

 

Konflik gajah dan manusia di Jambi, seperti di Kawasan Ekosistem Bukit Tigapuluh, makin parah. Foto: Frankfurt Zoological Society/ Mongabay Indonesia

 

Gajah di Bukit Tigapuluh

Merujuk data FZS, populasi gajah di Tebo terutama di lansekap Bukit Tigapuluh diperkirakan ada 143. Hampir semua gajah berada di luar kawasan konservasi. Saat ini,  ruang jelajah dan ketersedian makanan makin terbatas karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan baik dikuasai masyarakat atau perusahaan, atau jadi pemukiman.

Selama 2017,  tim mitigasi konflik gajah FZS mencatat, terjadi konflik antara gajah dan manusia lebih 150 kali. Sebagian besar konflik menyebabkan tanaman dan pondok warga rusak. FZS memperkirakan, kerugian ekonomi karena konflik lebih Rp1,5 miliar setiap tahun.

“Dulu gajah masuk kampung kami paling hanya empat kali dalam setahun, sekarang hampir tiap malam” kata  Baharun, warga Desa Muaro Sekalo, Sumay, Tebo.

Menurut dia, perilaku gajah sangat berbeda dengan lima tahun lalu. “Mungkin jika mercon diledakkan di kuping gajah sudah tak takut lagi. Mereka lapar, jadi nekat” katanya.

Marhat, tetangga kebun Baharun mengatakan,  konflik dengan gajah mulai sering sejak akhir tahun 80an.”Sejak banyak perusahaan dan perambahan di sekitar desa, gajah jadi makin sering dating.”

Cara gajah masuk kebun warga juga mulai berubah. “Dulu, sekali masuk kebun ramai-ramai bisa 15-30 gajah, sekarang mereka datang kelompok lebih kecil, paling dua atau tiga ekor,” kata Marhat.

Berdasarkan pantauan tim mitigasi konflik gajah FZS,  kawasan Sungai Suren, tempat Damanhuri ditabrak gajah dulu bukan jalur yang sering gajah lalui. Terdesak ditempat lain dan kawasan ini lumayan berhutan, gajah pun datang. Belakangan, kawasan mulai tergarap warga hingga terjadilah konflik.

 

Satgas  satwa Jambi

BKSDA Jambi mencatat dari 2016–2018, terjadi 42 konflik manusia dan dan satwa liar. Konflik ini meningkat pada 2018,  meskipun baru berjalan beberapa bulan sudah ada 10 kasus.

Untuk mengatasi ini BKSDA Jambi, pemerintah provinsi, perusahaan serta lembaga swadaya masyarakat membentuk tim koordinasi dan satuan tugas penanganan konflik satwa dan manusia. Ia tertuang dalam Peraturan Gubernur Jambi No. 297 tertanggal 21 Februari 2018.

Dalam peraturan ini, tim koordinasi dikomandani gubernur dan tim satuan tugas dipimpin BKSDA Jambi. “Kami berencana koordinasi dengan bupati dan walikota agar peraturan gubernur ini dapat diturunkan jadi peraturan bupati atau walikota agar lebih aplikatif di lapangan” kata Rahmad Simbolon, Kepala BKSDA Jambi.

Dengan koordinasi ini, dia berharap seluruh satu kerja di daerah terkait seperti Dinas Sosial ikut terlibat.

Selain membentuk satgas penanganan konflik satwa,  BKSDA Jambi  juga membuka hotline pengaduan kalau terjadi konflik. Masyarakat dapat menghubungi 0823 77792384 jika ada konflik satwa di daerahnya.

 

Foto utama: Gajah Sumatera dari Bukit Tigapuluh, sedang mencari makanan. Konflik gajah (satwa) dan manusia makin parah di kawasan ini karena hutan beralih fungsi antara lain jadi kebun maupun pemukiman.  Foto: Frankfurt Zoological Society / Alexander Moßbrucker & Albert Tetanus

 

Exit mobile version