Mongabay.co.id

Papua Barat akan Tinjau Ulang Izin Perkebunan dan Kehutanan

Hutan di kawasan adat Kelim Malamoi masih terjaga dengan baik, meski sekitar 65 persen kawasan di Sorong sudah dalam penguasaan perusahaan. Warga selama ini berupaya mempertahankan hutan yang tersisa melalui aksi unjuk rasa dan blockade jalan melalui kawasan hutan. Foto: Bentara/Yanuaris

Sejak 2015, Papua Barat, sudah berkomitmen sebagai provinsi konservasi. Sebagai upaya atas komitmen ini, Pemerintah Papua Barat berencana meninjau ulang perizinan perkebunan dan kehutanan di wilayahnya.

Dominggus Mandacan, Gubernur Papua Barat mengatakan, pembangunan ini melibatkan lintas sektor, dengan basis masyarakat dengan menjunjung tinggi kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam.

”Revisi tata ruang ini disesuaikan semangat dan arah Papua Barat sebagai provinsi konservasi,” katanya, akhir April lalu.

Peninjauan ulang perizinan perkebunan dan kehutanan ini sesuai agenda rencana tata ruang wilayah provinsi yang masih dalam proses.

Menurut Dominggus, ada 30 izin perkebunan skala besar di Papua Barat, namun hanya delapan yang aktif. Sisanya, tak jalan bahkan ada sudah kadaluarsa.

Dia benarkan, tawaran investasi perkebunan banyak menyasar pada provinsi yang terletak di kepala burung ini, namun Dominggus mengingatkan, kepala daerah maupun dinas terkait tak serta merta menerima.

”Pembangunan memang perlu untuk memajukan ekonomi tapi jangan sampai merusak hutan. Kalau ada hutan untuk perkebunan, harus dikaji dulu juga masyarakat tak keberatan atau menolak,” katanya.

 

Tak perlu sawit

Nataniel D Mandacan, Sekretaris Daerah Papua Barat menekankan pada pra musyawarah perencanaan pembangunan agar Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di kabupaten dan kota tidak usah menerima investor yang mau minta izin kebun sawit.

Dia bilang, masyarakat Papua masih bukan penanam dan pengelola sawit. Kebun-kebun sawit yang ada di Papua Barat, katanya, pemanen pihak lain. Akhirnya, masyarakat menyewakan kepada pemilik modal sekitar Rp10 juta per hektar per tahun.

Tak hanya itu, dampak dari perkebunan sawit juga mengancam bagi kelestarian alam, satwa dan keragaman hayati lainnya.

Hutan, katanya,  bagi warga Papua sebagai sumber kehidupan akan kebutuhan sandang, pangan dan papan.

”Terkait kebun ini kita bicarakan lagi dengan Bappeda dalam rapat kerja kepala daerah bupati agar selektif tanaman apa yang bisa dibuka. Tanaman apa yang bisa ditanam dan dikelola masyarakat. Rakyat itu memiliki hak dalam mengelola wilayah,” katanya.

Charlie D Heatubun, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Papua Barat menyebutkan, pernah melakukan penelitian soal kesejahteraan masyarakat di perkebunan sawit.

”Hasil penelitian kita, sawit tidak memberikan perubahan yang signifikan, khusus bagi masyarakat asli Papua.”

Papua Barat, katanya, jadi provinsi termiskin kalau dilihat dari nilai intrinsik (kepemilikan uang). ”Tapi orang Papua masih memiliki natural capital (modal alam-red) dalam mencari makan dalam mencukupi kebutuhannya, dari hutan hingga laut.”

Mereka tak mau, katanya, kemiskinan intrinsik itu jadi absolut. “Kalau hutan itu jadi padang pasir, masyarakat kami menjadi minta-minta.”

 

Anggaran

Dominggus mengatakan, perlu ada perencanaan dan penganggaran yang baik untuk menjaga dan melestarikan hutan.  ”Postur dana masih terbatas, belum bisa menggambarkan sebagai provinsi konservasi,” katanya.

APBD Papua Barat 2018 senilai Rp7,2 triliun, adapun dana alokasi khusus (DAK) dan dana perbantuan lain memiliki badan anggaran khusus dalam penggunaan dari pusat.

Padahal, Papua sebagai benteng terakhir bagi hutan di Indonesia, diharapkan dapat mendapatkan insentif dalam pengelolaannya. Hal inipun, katanya,  akan disampaikan kepada presiden.

 

ICBE 2018

Terkait provinsi konservasi ini, pada 7-10 Oktober 2018, Manokwari, Papua Barat, akan menjadi tuan rumah International Conference in Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy (ICBE).

Ia jadi sebuah kesempatan bagi Papua Barat untuk terus mengembangkan komitmen sebagai provinsi konservasi, baik segi pendanaan, pengelolaan maupun pemanfaatan.

Pemerintah Papua Barat, katanya, berupaya mencari skema-skema pendanaan global maupun nasional untuk program konservasi yang bisa dikelola langsung.

Selama ini, katanya,  selain anggaran pemerintah, Papua Barat juga gunakan dana seperti trust fund Blue Abadi untuk pengelolaan kelestarian laut.

ICBE, merupakan konvensi inisiatif dan terobosan dalam mencapai visi dan misi Papua Barat dalam kerangka inisiatif provinsi konservasi untuk pembangunan berkelanjutan.

Agenda dalam konferensi internasional ini, katanya, berupa seminar ilmiah, pameran, festival budaya, serta kuliner menu makanan asli Papua.

Adapun, peserta konferensi diharapkan mencapai 750 orang dari Indonesia dan mancanegara, seperti Amerika Serikat, Norwegia, Swedia, Denmark, New Zealand, Belanda, Inggris, Brazil, Spanyol, Australia, Jepang, Tiongkok, Korea, dan Papua Nugini.

Untuk pembicara utama dan narasumber dari pejabat pemerintah pusat dan pemerintah daerah, peneliti/ahli dan lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, praktisi, serta masyarakat adat dan gereja.

Suksesnya perhelatan ICBE ini juga jadi tolok ukur sejauh mana Papua Barat mengikuti perkembangan dan mengalami kemajuan di dalam pembangunan. Juga berkontribusi dalam pelestarian lingkungan hidup dan peningkatan kesejahteraan baik di Tanah Papua, Indonesia dan global.

”Peningkatan kesejahteraan melalui ekonomi hijau dan tidak merusak perlu dipertahankan untuk anak cucu ke depan,” kata Charlie, juga Ketua Tim Kerja ICBE 2018.

 

Foto utama: Hutan di kawasan adat Kelim Malamoi masih terjaga dengan baik, meski sekitar 65 persen kawasan di Sorong sudah dalam penguasaan perusahaan. Warga selama ini berupaya mempertahankan hutan yang tersisa melalui aksi unjuk rasa dan blockade jalan melalui kawasan hutan. Foto: Bentara/Yanuaris

Exit mobile version