Mongabay.co.id

Laut Natuna Masih Disukai Kapal Asing Penangkap Ikan Ilegal. Kenapa?

Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di kawasan Laut Natuna Utara, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, hingga saat ini masih menjadi salah satu lokasi favorit penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) di Indonesia. Lokasi tersebut disukai, karena posisinya yang sangat strategis dan berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan yang berbatasan dengan sejumlah negara.

Dengan fakta tersebut, tidak heran jika Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sering kali menangkap kapal ikan asing (KIA) yang sedang beroperasi di kawasan perairan tersebut. Padahal, KIA sejak 2014 sudah tidak boleh lagi menangkap ikan di perairan Indonesia, atau dengan kata lain sudah dinyatakan ilegal.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Nilanto Perbowo di Jakarta, Rabu (16/5/2018) menjelaskan, di kawasan perairan tersebut, KIA yang ditangkap sering kali menggunakan bendera negara di Asia Tenggara ataupun Asia. Seperti penangkapan KIA terakhir yang diduga kuat berasal dari Vietnam oleh KKP di perairan tersebut.

Penangkapan dilakukan oleh Kapal Pengawasan Perikanan (KP) HIU 04 itu, pada 14 Mei lalu di perairan ZEE Laut Natuna Utara. Sebelum mendapati 2 KIA dari Vietnam, kapal pengawas saat itu sedang melakukan operasi pengawasan rutin terhadap kapal-kapal pelaku Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUUF) di sekitar Laut Natuna Utara.

“Saat itu, sekitar pukul 03.35 Waktu Indonesia Barat, KP HIU 04 mendeteksi adanya KIA yang sedang beroperasi di ZEEI Laut Natuna Utara,” ungkap Nilanto.

 

Satu dari dua kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam yang ditangkap kapal pengawasan perikanan (KP) HIU 04 di perairan ZEE Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, pada Senin (14/05/2018) karena melakukan illegal fishing. Foto : KP HIU 04/Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Setelah berhasil mendeteksi, kapal pengawas kemudian langsung melakukan pengejaran terhadap kapal tersebut dan berhasil menghentikan 1 (satu) kapal KM. BV 97192 TS dengan bobot kapal 140 gros ton (GT). Kapal tersebut dikejar, karena menggunakan alat penangkapan ikan (API) yang dilarang, yaitu pukat hela pertengahan dua kapal (pair trawl).

“Saat ditangkap, kapal tersebut di dalamnya terdapat awak kapal sebanyak tiga belas orang yang seluruhnya berkebangsaan Vietnam,” jelasnya.

Hanya berselang sekitar sejam, kapal pengawas kemudian mendeteksi adanya kapal lain yang melakukan aksi serupa. Setelah dilakukan pengejaran, sekitar pukul 04.30 WIB, KP Hiu 04 berhasil menghentikan KM. BV 99922 TS yang bertonase 90 gros tone (GT). Kapal yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) orang awak kapal berkebangsaan Vietnam itu, diduga kuat menjadi kapal bantu bagi KM. BV 97192 TS.

Saat diperiksa, selain ditemukan pair trawl, kedua kapal tersebut juga tidak memiliki dokumen yang sah dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI).

 

Satu dari dua kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam yang ditangkap kapal pengawasan perikanan (KP) HIU 04 di perairan ZEE Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, pada Senin (14/05/2018) karena melakukan illegal fishing. Foto : KP HIU 04/Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Kemudian, sekitar pukul 05.00 WIB kedua kapal Vietnam tersebut dikawal oleh KP. Hiu 04 menuju Satuan Pengawasan (Satwas) Natuna, Kepulauan Riau, untuk proses hukum oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan.

Atas dasar hasil pemeriksaan awal, kapal-kapal tersebut diduga melakukan pelanggaran di bidang perikanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.31/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No.45/2009 tentang Perikanan dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp20 miliar.

Penangkapan dua kapal tersebut menambah jumlah kapal perikanan yang ditangkap oleh KKP melalui Kapal Pengawas Perikanan. Sampai dengan 16 Mei 2018, jumlah kapal perikanan ilegal yang ditangkap sebanyak 39 kapal, dengan rincian kapal Vietnam sebanyak 8 kapal, Filipina 2 kapal, Malaysia 1 kapal, dan Indonesia 28 Kapal.

 

Awak kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam yang ditangkap kapal pengawasan perikanan (KP) HIU 04 di perairan ZEE Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, pada Senin (14/05/2018) karena melakukan illegal fishing. Foto : KP HIU 04/Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Kapal Kecil

Selain KIA, kapal kecil berukuran dibawah 10 GT berbendera Indonesia juga diduga kuat melakun aksi IUUF di wilayah perairan Indonesia. Dugaan itu diungkapkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan beberapa waktu lalu.

Potensi melakukan IUUF tersebut, bisa terjadi karena kapal berukuran maksimal 10 GT tidak memiliki kewajiban untuk melakukan registrasi dan perizinan. Kondisi tersebut, secara tidak langsung akan memberi kesempatan kepada pemilik kapal berukuran tersebut untuk melakukan IUUF.

“Tanpa pengaturan, hal ini berpotensi merusak upaya mewujudkan praktik perikanan berkelanjutan yang dikampanyekan sendiri oleh pemerintah Indonesia,” ungkapnya.

Abdi mengatakan, walau mendominasi jumlah armada penangkapan ikan di Indonesia berdasarkan data profil armada tangkap, dalam periode 2013 hingga 2014 telah terjadi penurunan jumlah armada ukuran di bawah 10 GT dari 198.297 unit menjadi 194.867 unit. Fakta tersebut bisa menjadi catatan sendiri untuk tata kelola armada penangkapan ikan di Indonesia.

 

Awak kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam yang ditangkap kapal pengawasan perikanan (KP) HIU 04 di perairan ZEE Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, pada Senin (14/05/2018) karena melakukan illegal fishing. Foto : KP HIU 04/Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Sesuai dengan Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, Abdi menjelaskan, kapal berukuran kecil di bawah 10 GT dikategorikan sebagai kapal nelayan kecil. Dengan status tersebut, pemilik kapal berukuran tersebut kemudian mendapatkan beragam kemudahan dari KKP.

“KKP juga membebaskan pengurusan izin dalam melakukan penangkapan ikan,” tuturnya.

Menurut Abdi agar tidak terjadi praktik IUUF yang sedang gencar dikampanyekan sekarang, Pemerintah harus segera menyiapkan langkah antisipasi dengan kemudahan yang didapat kapal berukuran kecil di bawah 10 GT. Karena selain potensi IUUF, dia menilai ada potensi negatif lainnya yang bisa dilakukan pemilik kapal kecil tersebut.

“Ketiadaan izin bagi kapal kecil akan berkonsekuensi pada sulitnya melakukan traceabilty hasil dan lokasi tangkapan serta berpotensi berkontribusi pada terjadinya overfishing,” tambahnya.

Tak hanya potensi IUUF, Abdi juga menyoroti dampak lain dari pembebasan kapal berukuran kecil dari berbagai kewajiban yang ditetapkan Pemerintah. Menurut dia, jika tidak dilakukan pengawasan dan langkah antisipasi, maka ada potensi pembiasan data Maximum Sustainable Yield (MSY) yang sekarang rutin dilakukan setiap tahun oleh KKP.

“Jika ini terjadi, maka dapat dipastikan, ikan yang ditangkap oleh nelayan kecil masuk kategori unreported,” tegasnya.

 

Nelayan pulang dari melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Subsidi

Sementara Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata mengatakan, subsidi perikanan dunia diperkirakan sudah mencapai USD35 miliar, di mana sekitar USD20 miliar di antaranya adalah subsidi yang berkontribusi langsung terhadap aktivitas penangkapan ikan yang berlebih (overfishing) dan berdampak langsung pada keberlanjutan sumber daya perikanan.

“Hal ini berdampak terhadap pangsa stok ikan yang terus menurun sepanjang tahun. FAO mencatat adanya penurunan stok ikan yang yang cukup signifikan, dari sekitar adanya 90 persen stok ikan di tahun 1974 dan menurun hingga 69 persen di tahun 2013,” ujar dia belum lama ini.

Menurut Marthin, untuk mencegah terus berlangsungnya praktik penangkapan berlebih dan penangakapan ilegal, KNTI mendukung penuh upaya global untuk mengatasi overfishing, overcapacity, dan praktek IUUF di seluruh perairan dunia yang disebabkan oleh adanya pemberian subsidi di bidang perikanan berlebih pada industri penangkapan ikan berskala besar, dan secara khusus subsidi di negara-negara industri.

Untuk level nasional, Marthin menyebut, kasus pencurian ikan di Indonesia yang sudah berlangsung bertahun-tahun diketahui sudah melibatkan jaringan besar dan kuat melalui pemasaran yang rapi. Jaringan tersebut, adalah pencuri ikan dari berbagai negara dan diperkirakan menyebabkan Indonesia mengalami kerugian sekitar USD20 miliar atau sekitar Rp260 triliun.

“Sementara, di tingkat global kerugian akibat Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing diperkirakan mencapai USD10 miliar hingga USD23,5 miliar atau setara Rp310 triliun per tahun. Untuk itu, tindakan tegas terhadap praktik pencurian ikan menjadi salah satu cara untuk menekan over exploitations yang terjadi di Indonesia,” tegas dia.

 

Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Perlunya melakukan penghentian subsidi perikanan, menurut Marthin, karena penindakan illegal fishing oleh Pemerintah Indonesia tidak cukup hanya dengan melakukan penenggelaman kapal saja. Akan tetapi, bagaimana dilaksanakan penegakan hukum terhadap perusahaan pemilik kapal yang menjadi kunci utamanya.

“Walaupun, jumlah kapal yang ditenggelamkan sudah mencapai 317 unit,” tuturnya.

Dengan mengejar perusahaan pemilik kapal, Marthin menilai, pelacakan akan lebih mudah dilakukan dan penindakan IUUF bisa lebih tepat karena tertuju pada kuncinya. Jika itu terjadi, maka efek jera bisa dirasakan pelaku.

“Karena penindakan hukum hanya sebatas pada kapten kapal tidaklah cukup membuat efek jera perusahaan pemilik kapal. Selain itu, penegakan hukum terhadap illegal fishing harus menyentuh pada praktik-praktik pencurian ikan di perbatasan seperti double flagging, mematikan alat VMS (vessel monitoring system), dan transshipment (alih muat kapal) di tengah laut,” tambahnya.

 

Exit mobile version