Mongabay.co.id

Menanti Sungai Citarum Pulih, Akankah Terwujud?

Limbah dan sampah adalah masalah utama Sungai Citarum. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Marna rebah, setelah mengangkut hampir satu setengah kubik pasir ke atas perahu. Pasir itu diambil dari dasar Sungai Citarum di Kampung Sawangemang, Desa Rancakasumba, Kecamatan Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pria 52 tahun itu, sesekali menyeringai sembari mengusap keringat yang membasahi tubuhnya.

Hingga hari beranjak sore, Marna hanya mampu mengumpulkan dua kubik pasir basah. Pekerjaan berat itu, dia lakukan bersama Suryana kawan karibnya.

“Dulu, sekalipun dapat pasir sedikit, hasilnya cukup untuk dibawa pulang. Sekarang sebanyak apapun dikumpulkan masih jauh dari cukup,” ujarnya, ketika beristirahat untuk sekadar menyeruput kopi dan menghisap rokok.

Uang yang diperoleh Marna untuk dua kubik pasir, antara Rp150 ribu – Rp200 ribu, tergantung adu kuat harga dengan pembeli. Jumlah itu harus dibagi rata dengan rekannya yang ikut menambang. Artinya, masing-masing mendapat Rp75 ribu dengan bekerja dari jam tujuh pagi hingga empat sore.

Untuk mengambil pasir di dasar sungai, Marna menggunakan satu bakul bambu. Bersama bakul itu, ia menenggelamkan tubuhnya ke dalam sungai. Namun, pekerjaan sebagai penambang pasir tradisional tersebut hanya bisa dilakukan ketika cuaca cerah.

Jika terlihat awan hitam bergumul di atap Gunung Wayang, tak ada seorang pun yang berani turun menambang pasir. Alasannya, Citarum menggeliat.

Terlebih ketika hujan lebat datang, Citarum kerap tidak ramah. Alirannya, acapkali menjadi bencana banjir yang membawa kotoran ternak dari hulu, selanjutnya berpadu dengan limbah bahan kimia di kawasan industri tekstil Majalaya. Selanjutnya, merendam ribuan rumah warga di Baleendah dan Dayeuhkolot.

“Kalau sudah begitu, terpaksa saya mencari pekerjaan lain,” kata Marna.

Baca: Citarum, Sungai Harum yang Pernah Menjadi Pusat Peradaban Manusia

 

Limbah yang meracuni Sungai Citarum membuat sungai ini tercemar berat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum memang disebabkan beragam persoalan kronis. Gundulnya kawasan hulu sampai pesatnya pembangunan di DAS Citarum mendorong terjadinya konversi lahan. Tahun 2025, tata guna lahan di DAS Citarum, diprediksi yang paling tinggi tingkat pertumbuhannya adalah permukiman.

Data Walhi Jabar menunjukan, di Majalaya yang menjadi setra tekstil, sudah melebihi daya tampung lingkungan dan daya beban pencemaran. Setidaknya, ada ratusan industri yang beroperasi dan marak membuang limbah.

Dana triliunan Rupiah telah dikucurkan 30 tahun terakhir untuk memperbaiki kondisi DAS Citarum, guna keperluan reboisasi dan rekayasa fisik badan sungai. Namun, sejauh ini antisipasi pertambahan penduduk serta melemahnya daya dukung lingkungan masih luput dari perhatian.

Berdasarkan informasi yang di himpun, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum telah melaksanakan Proyek Normalisasi Sungai Citarum dengan dana 7,8 miliar yen (sekitar Rp390 miliar) pada 1994. Hasilnya, pelurusan sungai sepanjang 68,8 kilometer. Dan tahun 2011, dimulai kembali tahap ketiga sepanjang 44,3 km dengan biaya Rp312 miliar.

BBWS Citarum memang memiliki tugas pokok dan fungsi mengurusi badan sungai. Guna meminimalisir tingginya sedimentasi, pengerukan Sungai Citarum rutin dilakukan. Namun pada 2007, pengerukan hanya efektif selama dua tahun.

Baca juga: Citarum Harum, Langkah Optimis Pemerintah Pulihkan Kejayaan Sungai Citarum (Bagian 3)

 

Limbah dan sampah adalah masalah utama Sungai Citarum. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Beban utang

Salah satu program prestisius untuk Citarum pernah dicetuskan pada 2008. Program yang digagas Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) ini mendapat pinjaman 500 juta dollar AS dari Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk penanganan Citarum secara komprehensif. Dan program tersebut mengukuhkan DAS Citarum sebagai DAS pertama di Indonesia yang ditangani terintegrasi pada tempo itu.

Namun, 10 tahun berjalan, keberhasilan program tersebut masih perlu dikaji kembali. Selain beban pencemaran dan sampah belum terselesaikan, beban hutang juga ikut mengendap di Citarum.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga menganggarkan Rp25 miliar per tahun untuk Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis. Dana itu bertujuan menutupi 37.758 hektar lahan di luar kawasan hutan negara yang hingga akhir tahun 2009 tercatat sebagai lahan kritis.

Pemprov Jabar juga pernah merekomendasi program penanganan banjir Citarum dari hulu hingga hilir senilai Rp3,356 triliun. Skema pendanaannya ditanggung bersama antara pemeritah daerah dan pusat.

Rekomendasi itu meliputi pembuatan waduk atau embung di hulu, penampungan air di hilir, tanggul penahan banjir, dan normalisasi sungai berupa pengerukan dan pelebaran. Pemprov Jabar berencana membuat 14 waduk besar dan kecil untuk menampung 15,8 juta meter kubik air.

Pendekatan yang dilakukan Pemprov Jabar juga mengalami kebuntuan. Sehingga pada 2013, pemprov menginisiasi adanya program baru yaitu Citarum Bestari untuk memastikan perbaikan perilaku masyarakat. Keberhasilannya juga perlu dikaji secara komperhensif.

 

Foto udara kondisi Sungai Citarum, Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Rencana pemulihan

Babak baru pemulihan Sungai Citarum dimulai kembali Febuari tahun 2018. Menggunakan skema baru yang teritegritas, penataan Citarum dikomandoi langsung Kementerian Koordinator Kemaritiman.

“Penataan Citarum sudah dimulai dengan skema baru yang tertuang dalam Pepres 15 Tahun 2018, karena ini menyanggkut hajat orang banyak. Saya harap dalam 3 bulan kedepan industri harus konsisten mengelola limbah. Jangan sampai kasus pencemaran tidak selesai-selesai,” ujar Kemenko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan awal Mei 2018.

Luhut, di Bandung, mewacanakan akan membuat instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) komunal untuk menyelesaikan pencemaran. “Untuk industri tidak ada lagi alasan, pokoknya jangan main-main di program Citarum,” imbuhnya.

Namun, banyak pihak mempertanyakan dana untuk pembuatan IPAL komunal. Di lain sisi, Pemerintah Jepang berniat membantu pemulihan Citarum. Hal itu telah disampaikan Menteri KLHK Siti Nurbaya saat memperingati 60 tahun hubungan kerjasama RI-Jepang di Jakarta awal tahun 2018.

Namun, Luhut menegaskan, tidak ada bantuan dana asing untuk pemulihan Citarum. Semua akan dikerjakan pemerintah secara teritegrasi, antar-lembaga terkait sesuai target 7 tahun yang dicanangkan Presiden Jokowi.

 

Presiden Jokowi didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menanam pohon di kawasan hulu Citarum, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (22/2/2018). Presiden menargetkan revitalisasi dan rehabilitasi Sungai Citarum secara bertahap selama 7 tahun. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Program Citarum silih berganti. Pendanaan Citarum tak berhenti. Tetapi, nasib masyarakat yang hidup di sepanjang sungai tidak beranjak dari garis kemiskinan dan rendahnya pendidikan.

“Airnya selalu kotor dan bau,” ucap Marna. “Saya melihat Citarum bersih itu terakhir kali tahun 80-an. Setalah itu ya begini saja.”

Direktur Walhi Jabar Dadan Ramdan menilai, target 7 tahun pemulihan Citarum mesti ada roadmap supaya jelas tolok ukurnya. Jika pemulihan dimulai di hulu, setidaknya butuh 10 tahun untuk efektif mengikat air. Di samping itu, tata ruang di sempadan sungai penting karena wilayah itu termasuk DAS Citarum.

Sementara itu, Kelompok Riset Cekungan Bandung, T. Bachtiar beragumen, kacau balaunya tata kelola dan situasi Sungai Citarum secara umum merepresentasikan pergeseran budaya. “Ada kemunduran disini,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version