Mongabay.co.id

Menjaga Kelestarian Hutan Indonesia beserta Tantangannya

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik keanekaragaman ekosistem, jenis dan genetik. Menurut data Kementerian Perencanaan Nasional/BAPPENAS, tercatat 720 jenis mamalia (13% dari jumlah jenis dunia), 1.605 jenis burung (16% dari jumlah jenis dunia), 1.900 jenis kupu-kupu (10% dari jumlah jenis dunia) dan 91.251 jenis tumbuhan berspora (6% dari jumlah jenis dunia).

Beberapa dari jenis flora dan fauna tersebut merupakan jenis endemik atau hanya tersebar pada areal tertentu. Keanekaragaman jenis flora dan fauna yang membentuk keunikannya telah banyak dimanfaatkan oleh manusia secara langsung, namun sebagian lainnya belum dikenali manfaatnya secara tidak langsung.

Namun sayangnya, saat ini kita pun sedang menyaksikan berkurangnya jumlah tutupan hutan yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan. Penyebab konversi lahan hutan adalah maraknya perkebunan sawit, kegiatan pertanian lainnya, konversi untuk hutan produksi, kegiatan transmigrasi, pertambangan, juga pembangunan infrastruktur.

Data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan penurunan luasan tutupan hutan setiap tahunnya dengan rincian sebagai berikut: pada tahun 2011 persentase lahan berhutan dengan luas daratan Indonesia adalah 52,5 % (98,7 juta ha), tahun 2012 menjadi 52,2% (98,2 juta ha), tahun 2013 menurun menjadi 51,3% (96,5 juta ha), tahun 2014 menjadi 51% (95,7 juta ha) dan tahun 2015 menjadi 50,6% (95 juta ha).

Hal ini tak lepas masih lekatnya paradigma yang mengidentikkan hutan hujan tropis sebagai sumber produksi kayu tanpa menghitung nilai biaya eksternal ekonomi yang hilang seiring dengan rusak dan musnahnya hutan tropis Indonesia.

Padahal hutan hujan tropis memiliki peran yang lebih penting dari itu, termasuk fungsi untuk regulasi hidrologi alami pencegah banjir dan sumber air bersih, penambat karbon alami dalam mitigasi perubahan iklim dan bahkan tidak sedikit orang yang rela menghabiskan uangnya untuk menikmati keindahan alam hutan.

Peningkatan kepadatan penduduk dan penurunan luas lahan produktif akibat pemanfaatannya yang berlebihan menjadi tantangan di masa mendatang dalam pelestarian hutan dan keragaman hayati.  Untuk itu, dibutuhkan peningkatan inovasi teknologi, praktek pemanfaatan lahan yang lebih efisien, perubahan pola konsumsi, dukungan restorasi hutan dan dukungan kebijakan pemerintah agar pemanfaatan hutan tetap lestari.  Tulisan singkat ini coba memaparkan hal tersebut.

Inovasi Teknologi

Teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi dan memantau deforestasi di Indonesia seperti pemanfaatan penginderaan jarak jauh (remote sensing) dan teknologi drone untuk memetakan dan memantau kondisi terkini tutupan hutan. Pemanfaatan kamera jebak (camera trap) untuk melacak keberadaan satwa liar pun akan membantu para konservator dalam memanajemen kawasan konservasi.

Efisiensi Pemanfaatan Lahan

Sistem pemanfaatan lahan dengan cara konversi hutan alam menjadi perkebunan monokultur merupakan sistem yang tidak lestari, karena jumlah tutupan hutan yang sangat terbatas untuk dapat dimanfaatkan. Mengkombinasikan penanaman tanaman hutan dalam pertanian dapat memperkecil potensi erosi, memaksimalkan produksi biomassa, dan memaksimalkan interaksi positif antara tanah dengan tanaman.

Penerapan sistem agroforestry (kombinasi penanaman tanaman hutan dan tanaman pertanian dalam unit lahan yang sama) merupakan salah satu solusi dalam pemanfaatan lahan yang lestari alih-alih ladang berpindah dan pertanian monokultur yang menghilangkan keragaman hayati yang ada.

Contoh sistem agroforestry yang berhasil diterapkan di Indonesia adalah repong damar di Krui, pesisir barat Lampung. Repong sendiri adalah sebutan untuk menamai kebun hutan yang didalamnya terdapat berbagai jenis tanaman kayu dan pohon buah-buahan dan didominasi oleh jenis pohon damar (Shorea javanica) yang dapat dimanfaatkan hasil getahnya.

 

 

Tajuk hutan hujan tropis. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Perubahan Pola Konsumsi

Aktivitas pertanian komersial menjadi aktor penting atas lebih dari setengah deforestasi yang terjadi, karena membuka lahan hutan untuk memproduksi komoditas yang digunakan sebagai bahan konsumen sehari-hari.

Dibutuhkan perubahan pola konsumsi secara individu atau kolektif menjadi lebih efisien dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati. Permintaan pasokan sumberdaya alam yang tinggi untuk minyak sawit, daging sapi, kedelai serta kertas dan pulp dapat meningkatkan laju deforestasi, karena lahan hutan dijadikan sasaran untuk dapat memproduksi pasokan tersebut.

Dukungan Kebijakan

Diperlukan dukungan oleh Pemerintah dalam pengelolaan dan perlindungan hutan untuk memberantas penebangan hutan secara ilegal, juga melakukan penegakan hukum bagi pelakunya. Aksi restorasi lahan yang terlanjur rusak akibat pemanfaatan intensif harus dilakukan. Penyediaan bantuan teknis dan finansial dari Pemerintah kepada masyarakat pun diperlukan guna meningkatkan pengelolaan lahan yang berkelanjutan.

Indikator Pengukuran Keberhasilan Pengelolaan Hutan

Sesuai target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Pemerintah Indonesia yang tertuang dalam NDC (Nationally Determined Contribution), hutan memiliki peran penting untuk pencapaian target tersebut.

Dari sektor kehutanan dibutuhan penurunan deforestasi kurang dari 0,45 ha – 0,325 Mha/tahun di 2030, rehabilitasi 12 juta ha lahan terdegradasi pada tahun 2030 dan restorasi 2 juta ha gambut pada tahun 2030 dengan tingkat kesuksesan sebesar 90%, agar target penurunan emisi GRK (tanpa bantuan internasional sebesar 29%, dengan bantuan internasional 41% dari skenario business as usual di tahun 2030) dapat tercapai.

Konservasi lahan gambut, hutan mangrove dan padang lamun sangat berpotensi dalam mencapai target pengurangan emisi karena ekosistem tersebut memiliki kemampuan dalam menambat karbon yang lebih baik dibandingkan dengan ekosistem lainnya.

Harus diakui, bukan hal yang mudah untuk mencapai target tersebut dan membutuhkan strategi yang tepat untuk mengimplementasi komitmen terikat tersebut. Sistem pemerintahan yang buruk, korupsi, pembagian penguasaan lahan yang tidak jelas, perencanaan sumberdaya alam yang tidak memadai dan penegakan hukum yang lemah turut harus dibenahi dan diselesaikan.

Jika upaya serius agar hutan tetap lestari maka sejarah deforestasi dan degradasi hutan diharapkan tidak akan terulang kembali di masa yang akan datang.

 

Daftar Pustaka:

Darajati, W. et al. (2016). Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2015-2020.

Gunarso, P. et al. (2013). ‘Oil Palm and Land Use Change in Indonesia , Malaysia and Papua New Guinea’, Reports from the Technical Panels of RSPOs 2nd Greenhouse Gas Working Group, (January 2013), pp. 29–64.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2017). ‘Rekalkulasi Penutupan Lahan Tahun 2015’.

Kissinger, G., Herold, M. and De Sy, V. (2002). ‘Drivers of deforestation and forest degradation: A Synthesis Report for REDD+ Policymake’, Kissinger, G Herold, M De Sy, Veronique, pp. 1–46. doi: <br />.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2017) Summary Nationally Determined Contribution (NDC) and Progress.

Pollini, J. (2009). ‘Agroforestry and the search for alternatives to slash-and-burn cultivation: From technological optimism to a political economy of deforestation’, Agriculture, Ecosystems and Environment, 133(1–2), pp. 48–60. doi: 10.1016/j.agee.2009.05.002.

TFA (2017) Commodities and Forests Agenda 2020 : Sepuluh prioritas untuk menghilangkan deforestasi hutan tropis dari rantai pasokan komoditas. .

Widjaja (2014) Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia 2014, Igarss 2014. doi: 10.1007/s13398-014-0173-7.2.

 

Foto utama: Hutan mangrove yang masih utuh di Pulau Auki, Biak Timur. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

* Ratna Tondang, penulis adalah mahasiswa Program Studi Rekayasa Kehutanan, Institut Teknologi Bandung. Artikel ini merupakan opini penulis.

Exit mobile version