Mongabay.co.id

Situs Keramat dan Spesies Endemik Danau Poso Terancam (Bagian 3)

Situs Watupangasa Angga di tepian Danau Poso. Lokasi ini rencana dibangun fasilitas pariwisata. Foto: Andika Dhika/ Mongabay Indonesia

Rencana di Danau Poso dan sekitar, tak hanya pengerukan sungai dan danau demi kepentingan energi, juga reklamasi untuk bangun infrastruktur pariwisata. Tak hanya mata pencarian warga yang terancam, juga situs keramat, spesies endemik sungai dan danau sampai lingkungan sekitar.

Wilianita Selviana, pegiat lingkungan juga mantan Direktur Walhi Sulawesi Tengah,  khawatir kalau reklamasi jadi pilihan utama para pengembang dalam membangun fasilitas pariwisata di Danau Poso.

Baca juga: Sumber Hidup Terancam, Nelayan Protes rencana Pengerukan Danau Poso (Bagian 1)

“Pemerintah dan swasta sama-sama mulai terdorong reklamasi pantai di pesisir Danau Poso. Mereka memanfaatkan sabuk hijau Danau Poso untuk membangun hotel dan taman hiburan,” katanya.

Informasi lapangan diperoleh Mongabay pada 2018, setidaknya ada tiga bangunan bakal dibangun di lahan reklamasi. Bangunan itu terdiri dari panggung baru Festival Danau Tektontik Poso (FDPTP), aset baru Pemerintah Poso, pengembangan Hotel Danau Poso, dan pelabuhan yang akan dibangun di situs Watu Vangasa Angga.

“Reklamasi jadi tren pilihan pembangunan yang dapat berakibat buruk bagi landskap, dan ekosistem Danau Poso,” katanya.

Awalnya, aktivis di Kota Tentena, mengira program tanggung jawab sosial Poso Energy hanya akan mengubah jembatan tradisional Yondopamona, ikon Kota Tentena, ternyata ada pengerukan danau dan lain-lain.

“Kami hanya mengetahui Poso Energy akan membongkar Jembatan Yondopamona dengan desain baru yang lebih modern, sebagai segmen wisata, dengan mengisi para pedagang kuliner di atas jembatan,” katanya.

Jadi, kata Lita, panggilan akrabnya, awal protes mereka hanya fokus penolakan rencana itu karena jembatan punya nilai budaya dan kearifan. “Jembatan itu simbol kegotongroyongan masyarakat Pamona.”

Jembatan itu, katanya,  dibangun dari tangan dan keringat warga Pamona secara gotong royong. “Kami tak ingin situasi sepenting itu dihilangkan atas nama modernisasi.”

Jembatan Yondopamona adalah penghubung antara Kota Tentena dengan Kelurahan Pamona, pasar baru, dan pusat pendidikan agama Kristen di Tentena, seperti Sekolah Tinggi Teologia, dan Universitas Kristen Kabupaten Poso.

Program perubahan bentuk fisik jembatan berdasarkan memorandum of understanding antara Poso Energy dengan Pemerintah Poso tahun lalu. Kegiatan diberi tajuk revitalisasi Sungai Pamona dengan tata ruang berbasis revitalisasi kawasan wisata sebagai realisasi program corporate social responsibility (CSR) Poso Energy.

Dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Poso, Roy, mengatakan, pemerintah daerah melihat CSR sebagai hal positif. Dia bilang, dengan penataan Danau Poso dapat meningkatkan ekonomi wilayah di daerah Pamona bersaudara, khusus Pamona Puselemba.

“Inti dari MoU,  masyarakat Poso harus mendapatkan keuntungan ekonomi maupun sosial dari pengelolaan Danau Poso,” katanya.

 

Aksi FARP di Jembatan Yondopamona. Foto: Andika Dhika/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Watu Pangasa Angga, begitu nama situs keramat yang ada di tepi Danau Poso. Ia berarti batu tempat roh–roh halus mengasah pisau, parang, dalam bahasa pamona disebut “penai.”

Konon dari cerita di masyarakat, di tempat itu sering muncul makhluk gaib dari kerajaan di dasar Danau Poso untuk mengasah penai mereka. Kabarnya, ia dibuktikan dengan goresan datar, layaknya orang selesai mengasah di atas batu, dan air biasa terlihat menetes walaupun air danau sedang surut.

Data Yayasan Panorama Alam  2018, menyebutkan, ada beberapa situs konservasi dan obyek wisata Danau Poso, yakni Taman Anggrek Bancea sebagai situs keragaman hayati,  Siuri, Kawasan Pasir Putih Pendolo, dan Dongi,  tempat ikan bertelur.

Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2014, terdapat tiga spesies endemik dalam kondisi kritis di Danau Poso, yakni, buntinge paru bebek, bungo Poso, buntinge popta, ketiga ikan ini hidup di balik akar kayu pepohonan di tepi danau. Ada dua situs tempat ikan ini berkembang biak, yakni, kawasan Dongi dan Watu Pangasa Angga.

Fadil, dari Yayasan Panorama Alam Lestari (YPAL) mengatakan, tugas berat saat ini, menjaga stabilitas air danau, dan melindungi spesies endemik.

YPAL, katanya, sedang membangun komunikasi dengan Balitbang Poso,  soal rencana penataan wilayah termasuk sungai dan danau Poso. Konsekuensi penataan wilayah, katanya,  akan berimbas pada situasi sosial.

Dia bilang, penting sekali ada rencana bersama atau kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Terlebih, Danau Poso, masuk kebijakan strategis nasional sebagai sembilan danau yang akan direvitalisasi.

Fadil mempertanyakan rencana Pemerintah Poso bersama Poso Energy, mengeruk sungai dan danau, bahkan lanjut dengan reklamasi.

“Apakah memang akan jadi bagian dari menstabilkan air danau, atau murni untuk kebutuhan listrik?”

“Apakah benar, ada pengerukan, meningkatkan danau itu jadi ekowisata, tertata rapi. Apakah pengerukan itu bisa menjaga endemik di danau?” tanya Yopi.

Seharusnya, katanya,  pengelolaan seluruh wilayah bisa terintegrasi dengan penataan zonasi ruang perlindungan, mekanisme pengelolaan lahan berkelanjutan, dan menempatkan zonasi hutan yang perlu dilindungi masyarakat.

Poso Energi, tak merespon permintaan konfirmasi Mongabay. Kami sudah mengirimkan daftar pertanyaan kepada Soni, Humas Poso Energy, sampai berita ini turun belum ada jawaban.

“Saya sudah melaporkan pertanyaan bapak ke atasan, tetapi belum ada respon Pak,” kata Soni.

Poso Energy, anak usaha Kalla Group telah mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso II dengan kapasitas 195 Megawatt (MW) pada 2016. Pada 2019, dua pembangkit lain, PLTA Poso I dan PLTA Poso III, bakal beroperasi.

Dalam Laporan Publik (2018), Poso Energy menyebutkan PLTA Poso terdiri dari tiga proyek, yakni Poso I memiliki kapasitas potensi 60 MW, Poso II kapasitas potensi 180 MW, dan Poso III dengan kapasitas 300 MW. Ketiga PLTA ini pakai sumber daya air Sungai Poso, Desa Sulewana, Kecamatan Pamona Utara, Poso.

Saat ini,  pembangkit listrik yang sudah beroperasi PLTA Poso II yang dibangun 31 Mei 2005.

 

Air gratis, listrik mahal

Sejak Poso Energy mengoperasikan PLTA Poso II,  masyarakat sekitar danau tak pernah diajak rembuk soal kesepakatan pembagian energi listrik.

“Saya cek kemarin, Kota Tentena ini hanya  butuh 2 MW, masa’ tak bisa dibebaskan dari biaya listrik. Kita kan pemilik waduk tetapi tak dapat apa-apa.  Semua hanya kepentingan Poso Energy. Kalau ini dibicarakan kita dianggap melawan kebijakan pemerintah,” kata Hertien Tambai, nelayan Tentena, Poso, Sulawesi Tengah.

Dia telah mengirimkan surat pada November 2017 ke Poso Energy. Sebanyak  14 orang bertanda tangan. Surat itu meminta pertimbangan perusahaan agar meninjau kembali isi kesepakatan lama. Warga sendiri tak memegang poin-poin kesepakatan lama.

“Surat kami pertanyakan MoU dulu, kalau tidak salah dengar 70-30, dijawab perusahaan tak ada,” katanya.

Dia bilang,  dulu listrik terpenuhi dari pembangkit diesel, per bulan warga membayar Rp200.000. “Sekarang air, kok lebih mahal, sudah Rp600.000, dulu dibilang kampanye, kalau Poso Energi sudah jalan, kita akan menerima keringanan karena ini bukan minyak, kenyataan tidak.”

Apakah segala pembangunan dari pembangkit listrik, sampai fasilitas pariwisata ini demi warga, atau malah munculkan masalah buat mereka? (Habis)

 

 

Foto utama: Situs Watupangasa Angga di tepian Danau Poso. Lokasi ini rencana dibangun fasilitas pariwisata. Foto: Andika Dhika/ Mongabay Indonesia

Petisi Warga Kota Pamona Menolah Perubahan Jembatan Yondopamona. Foto: Andika Dhika/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version