Mongabay.co.id

Berikut Ini Temuan Baru 8 Spesies Ikan Air Tawar di Jambi…

Ada kabar baik dan kabar buruk dari Jambi. Kabar baik, delapan spesies air tawar baru ditemukan di sungai dan rawa yang ada di Jambi, Sumatera. Kabar buruknya, sungai dan rawa di Jambi, terus mengalami beragam ancaman.

Tejo Sukmono, biolog air tawar di Jambi, perlu waktu setahun meneliti ragam ikan di 10 perairan di penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Yakni, Sungai Kemunu, Rawa Toman, Rawa Gajah, Hulu Sungai Magatal, Tengah Sugai Magatal, tengah Sungai Sekalo, hulu Sungai Sekalo, hilir Sungai Sekalo, hilir Sungai Magatal dan Sungai Batang Sumai yang jadi pertemuan aliran Sungai Magatal dan Sekalo.

Stasiun pertama hingga tujuh berada dalam Blok I, kawasan restorasi PT. Alam Bukit Tigapuluh (ABT), satu-satunya ekosistem alam hutan produksi penyangga di utara TNBT.

ABT adalah pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem (IUPHHK-RE) di kawasan hutan tropis daratan rendah, Tebo, Jambi, seluas 38.655 hektar.

Dalam musim kemarau 2015 hingga penghujan 2016, Sukmono menemukan 78 spesies ikan dalam 48 genera, 18 famili dan delapan ordo, 11 diantaranya belum dideskripsikan jelas pada tingkat spesies.

“Sebenarnya kalau  kita kejar lagi (11 spesies) peluang menemukan spesies baru. Data kita tidak cukup jadi tidak berani menyatakan itu spesies baru, takutnya hanya variasi,” katanya.

 

Spesies baru

Biolog ini juga menemukan,  delapan spesies yang jadi catatan baru, antara lain, Homaloptera opiolepis (ngengai), Osteochillus haseltii, Rasbora bankanensis (seluang), Rasbora enneolepis (seluang) dan Rasbora rutenii (seluang), Hippicthys spicifer, yang ditemukan di perairan hulu Sungai Sekalo dan Muara Sungai Lubang Punai,  yang berair jernih dan berbatu.

Temuan baru ini menambah daftar spesies ikan di Jambi jadi 319. Sebelumnya, 23 spesies baru ditemukan Sukomono ketika penelitian 2012-2014 di hutan penyangga Bukit Tigapuluh dan Hutan Harapan.

Maurice Kottelat, peneliti ikan dunia dari Raffles Museum of Biodiversity Research, Singapura juga pernah meneliti 1999-2006 bersama Britz, Tan dan White. Mereka menyimpulkan, spesies ikan air tawar di Jambi ada 289, termasuk Paedocypris progenetica atau ikan terkecil di dunia yang mereka temukan di sekitar rawa dan sungai gambut di Kumpeh Ilir.

Dalam laporan yang diterbitkan dalam sebuah buku: Ikan Air Tawar di Ekosistem Bukit Tigapuluh, Sukmono menemukan 10 spesies yang mendominasi ikan air tawar di kawasan penyangga TNBT. Sembilan dari famili Cyprinidae, satu spesies dari famili Osphronemidae. Sementara spesies yang mendominasi, yaitu,   Mystacoleus marginatus 80 ekor (8.9%),  Osteochillus wandersii 70 ekor (7.8%),  Labiobabus fastivus 60 ekor (6.6%), Epalzeorhyncos kalopterus 51 ekor (5.6%), Puntius lateristriga 51 ekor (5.6%).

Juga Rasbora elegans 40 ekor (4.6%) , Cyclocheilichthys apogon 40 (4.6%), Hampala macrolepidota 36 (3.9%), Osteochillus kappenii 30 (3.3%). Lalu, spesies dari family Ospronemidae yaitu sepat mutiara (Trichopodus leerii).

Ada juga lima famili  dengan keragaman tertinggi yakni, Cyprinidae 35 spesies (42%), Bagridae 10 (12%), Hemiramphidae lima (6%), dan Chanidae empat spesies (4.8%).

Pada ekosistem perairan berbeda, Sukmono menemukan kumpulan ikan berdeda. “Karakter ikan hidup di hulu dan hilir, beda. Keragaman ikan di hulu lebih tinggi dibanding hilir.”

Di hulu, katanya, ikan memiliki organ penempel dari modifikasi moncong maupun sirip pelvic (perut) dan sirip pectoral (dada) sebagai alat melekatkan badan di batu.

Dia contohkan, familii Nemacheilidae dan Balitoridae dikenal umum sebagai ikan batu dan beberapa anggota Cyprinidae, banyak hidup di perairan hulu yang cenderung bararus deras.

Di hulu, juga dihuni ikan perenang cepat, macam Epalzeorhynchos kalopterus atau ikan flying fox dan Tor soro (semah). Di bagian hilir, dihuni ikan yang beradaptasi dengan substrat pasir seperti ikan pasir Acantopsis dialuzona.

Beberapa jenis ikan yang ditemukan dapat untuk menilai kualitas hutan. Beberapa jenis ikan punya kepekaan terhadap perubahan kondisi lingkungan, seperti perubahan tutupan hutan dan tingkat polutan.

Sukomono mengatakan,  keragaman spesies yang ditemukan mempertegas pentingnya sistem perairan stabil untuk konservasi dan biodiversiti.

 

Rasbora bankanensis (atas) dan Rasbora rutteni. Foto: repro Sukmono dan Mira, 2017/ Mongabay Indonesia

 

Beragam ancaman

Banyak jenis ikan ditemukan dalam ekosistem Bukit Tigapuluh, bergantung pada vegetasi yang menaungi sungai dalam hutan. Bahkan beberapa spesies hanya hidup pada kondisi hutan masih baik. Mereka jadi indikator kondisi sungai dalam hutan.

“Ikan bujuk (Channa lucius) itu ikan yang hidup di vegetasi pinggiran hutan. Karena butuh naungan. Kalau ikan masih ditemukan, berarti karakter itu masih mendukung kehidupannya.”

Pada perairan berbeda ditemukan karakter ikan beda. Ikan perenang cepat umumnya di arus deras. Di sungai berbatu akan ditemukan ikan penghisap.

“Kalau kita cuma nemu kelompok ikan sapu-sapu semua berarti sungai itu bioindikator negatif, karena yang hidup cuma ikan-ikan yang tahan pencemaran tinggi.”

Menurut Sukmono, aktivitas antropogenik berupa perambahan hutan dan pembalakan liar dapat mempengaruhi kehidupan ikan. Perambahan hutan dan pembalakan liar dekat sepadan sungai bisa menyebabkan sedimentasi tinggi pada sungai.

Selanjutnya,  terjadi peningkatan suhu dan oksigen terlarut rendah di sungai-sungai terbuka. Hal ini, katanya,  akan berdampak terhadap biota perairan termasuk keragaman ikan.

“Karena saat hujan tak ada lagi penahan material tanah dan terjadi run off. Sungai pun jadi lebih dangkal dan keruh.”

Dia juga bilang, jika salah satu indikator keberhasilan kegiatan restorasi adalah kestabilan ekosistem hutan–selain tutupan hutan yang terus membaik–, aksi-interaksi dan rantai makanan antara spesies berjalan baik.  Kestabilan ekosistem daratan, katanya,  akan tercermin pada kondisi perairan sungai sekitar.

Meski sungai-sungai di penyangga TNBT, katanya,  masih baik, bukan berarti perairan pada Blok I tak ada tekanan atau ancaman serius bagi habitat ikan.

Di sana, katanya, banyak orang menebang hutan di sempadan sungai  dan belum ada areal larangan penangkapan ikan.

“Penangkapan ikan dengan racun, juga ancaman spesies ikan di Jambi. Pestisida dan insektisida berdampak sistemik terhadap ikan yang terpapar, dan praktis berdampak langsung pada kehidupan ikan.”

Dalam catatan International Union for Conservation of Nature (IUCN), ikan temuan Sukmono di penyangga TNBT, 42 spesies belum pernah dievaluasi, 30 spesies berisiko rendah, tiga spesies–seluang juo (Luciosoma setigerum) , dan selimang (Epalzeorhyncos kalopterus), punguk (Tor tambra)– masih kurang informasi. Dua spesies lain dalam kondisi hampir terancam, yakni lele gunung (Bagarius yarrelli) dan sepat mutiara (Trichopodus leerii).

Seluang (Rasbora ennealepis), umum jadi konsumsi masyarakat Jambi  masuk dalam status rentan. Di Jambi sendiri, ada lebih 20 spesies seluang.

Di DAS Sungai Magatal banyak ditemukan perladangan dan kebun Suku Talang Mamak, namun sungai dalam kondisi baik.

Kata Sukmono, itu karena Suku Talang bisa menjaga hutan adat dari aksi perambahan dan perambahan. Berbanding terbalik dengan DAS Sekalo yang buruk, banyak bekas dan aktivitas pembalakan liar saat musim penghujan.

Kerusakan sungai karena pencemaran juga ditemukan di sekitar perkebunan sawit.

Dodi Febri, Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut, Dinas Perikanan dan Kelautan Jambi, mengatakan, perkebunan monokultur tak bisa menahan erosi tanah yang terbawa saat hujan. Sedimentasi pun terjadi di sungai sekitar.

Sungai-sungai di Perentak, Merangin juga hancur karena penambangan emas ilegal. Aktivitas tambang ilegal menyebabkan ekologi sungai rusak, mulai dari pelebaran hingga pencemaran.

Dari analisis Citra Lansat TM 8 tahun 2016 oleh unit GIS Warsi, terdapat kerusakan alur sungai seluas 10.926 hektar, 6.370 hektar di Sarolangun, dan 4.556 hektar di Merangin.

Dari 33 lubuk larangan di Sarolangun, lebih separuh rusak karena tambang emas. “Lubuk larangan Tanjung Gagak, dulu bagus sekali, ikan lampam besar-besar, kemarin kita survei tak ada lagi. Karena di atas (hulu) sudah ada tambang emas ilegal. Itu kan mengeluarkan lumpur dan merkuri, jadi ikan tak bisa berkembang biak,” kata Dodi.

Kerusakan sungai dianggap mengancam populasi ikan lokal. Pada 2016, kata Sukomono, 11 spesies ikan air tawar di Jambi dengan kondisi mulai menghawatirkan. Ada empat spesies status endangered, yaitu arwana silver, ridiangus, putak dan belida.

Tiga lainnya, lais kaca, parang bengkok, dan sepat mutiara dalam kondisi hampir terancam (near threadned). Sedangkan, kerapu rawa, tilan, flying fox, botia dalam status kepras (least concern).

Gurami coklat yang dikabarkan mulai sulit masih belum dievaluasi (not evaluate).

Tahun ini, Dinas Perikanan Jambi,  berencana merestoking 200.000 bibit ikan ke lubuk larangan.

Data Dinas Perikanan, Jambi,  memiliki 200 lebih lubuk larangan tersebar hampir di semua kabupaten. Dodi bilang, akan mengevaluasi lokasi lubuk larangan yang jadi target restoking.

“Rata-rata sungai kita sudah tercemar, terutama Sarolangun, Merangin, sebagian Bungo, Batanghari.”

Lubuk larangan bukan hanya untuk menjaga kelestarian habitat ikan di sungai, juga sumber pemenuhan konsumsi ikan di Jambi, yang rata-rata 35,4 kg per kapita per tahun.

Hingga kini, Jambi belum bisa mandiri, 20% kebutuhan ikan di Jambi dipasok dari Sumatera Barat dan Jakarta.

Menyadari terjadi kerusakan lingkungan hebat, Dodi berharap ada keberanian pemerintah yang berpihak pada kelestarian lingkungan.

 

Rasbora rutteni (atas) dan Cynoglossus waandersii (bawah). Foto: repro Sukmono dan Mira, 2017/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version