Mongabay.co.id

Menanam Air di Patemon, Panen Air di Senjoyo

Debit air melimpah di mata air Senjoyo setelah lima tahun lebih menurun. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Awalnya, daerah ini sulit air bersih, belakangan air jadi berlimpah, dengan membuat sumur resapan ini…

Dulu, air irigasi di Kalibening, Kota Salatiga, Jawa Tengah, jernih dan melimpah. Lima tahun belakangan, debit air berkurang. Kala kemarau,  sistem buka tutup irigasi untuk mengaliri sawah harus dilakukan. Air irigasi ini mengalir dari sumber air Senjoyo, Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Semarang, Jateng.

Ahmad Bahruddin, pendiri Serikat Paguyuban Petani Qoriyah (SPPQT) bercerita, kalau mata air Senjoyo itu hidup dan matinya. Kala mahasiswa, pada 1984,  bersama petani gabungan dari lima desa di Salatiga, mereka memulihkan mata air Senjoyo.

Saat itu, petani setiap hari berkelahi berebut air untuk irigasi. Lantas, dibentuklah SPPQT, selain mengkonservasi air, juga pertanian berkelanjutan.

“Cara mengkonservasi mata air Senjoyo dengan penanaman air melalui sumur resapan di daerah tangkapan air,” kata pria juga Presiden Desa Mandiri Tanpa Korupsi baru-baru ini kepada Mongabay.

Selain mengamankan air hujan kembali ke dalam tanah, sumur resapan juga mengurangi risiko bencana di hilir. Sumur resapan juga berperan mengamankan humus.

Bahruddin, pada Maret 2018 terkejut, ketika selokan di depan rumah dia mengalir air bersih melimpah. Dia bingung. Ketika itu dia menghubungi kolega dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Salatiga. Dia terjekut kala dapat kabar ada kenaikan sekitar 300 liter perdetik dari mata air Senjoyo.

“Ternyata tak sampai tiga tahun sejak konservasi sipil teknis melalui sumur resapan, dampaknya sudah bisa dirasakan, sumber mata air melimpah lagi,” kata Bahruddin.

Dalam hitungan Bahruddin, dengan debit naik 300 liter perdetik, setahun ada 10 miliar liter air terselamatkan dari sumur resapan di Desa Patemon dan sekitar. Jika dihargai Rp10 perliter, ada Rp100 miliar uang diselamatkan dari sumur resapan. Belum termasuk jasa lingkungan dan humus yang diselamatkan.

“Jika banyak daerah menerapkan sumur resapan untuk mengamankan air hujan dan humus, persoalan ketersediaan air cepat selesai dan humus baik, membantu pertanian lebih subur,” katanya.

Ke depan,  penting pemberdayaan desa dengan bangun sumur resapan. Alokasi dana desa, katanya, untuk konservasi air, dan lingkungan. Desa juga perlu membuat peraturan desa tentang lingkungan dan konservasi, seperti di Desa Patemon, membuat perdes tentang sumur resapan dan alokasikan 10 sumur resapan dengan dana desa.

“Dana desa untuk konservasi air, manfaatnya mengurangi risiko bencana, naikkan debit air dan jaga humus untuk pertanian berkelanjutan.”

 

Bak penampung air dari sumber yang sebelumnya dipatahkan karena debit menurun. Adanya sumur resapan di kawasan tangkapan air membuat debit air berlimpah. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

***

Di Kota Salatiga pada minggu ketiga Maret 2018, cuaca  tampak mendung. Bahruddin tiba di kantor PDAM Salatiga, pukul 9.00 pagi.

Dia mau memastikan kenaikan debit air di mata air Senjoyo.

Samino, Direktur PDAM Salatiga sudah berada di kantor. Dia cerita, untuk keperluan pelanggan PDAM di Salatiga sumber air dari mata air Senjoyo di Semarang dan beberapa titik sumur air dalam di Kota Salatiga.

Sejak zaman Belanda, kata Samino, mata air Senjoyo jadi sumber utama PDAM Salatiga, kualitas masih sangat baik, air langsung menjalani pengolahan cukup singkat dan langsung tersalurkan ke konsumen.

Tak hanya PDAM, PDAM Semarang juga gunakan mata air Senjoyo 30 liter perdetik, Desa Kanggondang, Pabelan 2,94 liter perdetik, Yonif 411 Kota Salatiga 11.8 liter perdetik, sisanya untuk irigasi.

Mata Air Senjoyo,  salah satu sumber air baku utama PDAM Salatiga. Mata air itu terletak di kaki Gunung Merbabu dengan wilayah resapan membentang ke Lereng Tenggara Gunung Merbabu, dengan variasi tata guna lahan berupa permukiman, kebun rakyat, sawah, tegalan, dan ladang di bagian hulu.

Wilayah resapan Mata Air Senjoyo, secara administratif masuk Semarang dan Salatiga. Di Semarang, resapan mata air ini mencakup Desa Tingkir Tengah, Bener, Karangduren, Butuh, dan Patemon di Tengaran serta Desa Jetak, Kecamatan Getasan. Sedangkan di Kota Salatiga, wilayah resapan Mata Air Senjoyo mencakup Desa Noborejo dan Randuacir di Kecamatan Argomulyo.

Samino bilang, keperluan akan air terus meningkat. “Kami harus peduli dengan ini, salah satunya menjaga ketersediaan air dengan membuat sumur resapan.”

Masalah penurunan debit air, katanya,  terjadi di semua tempat termasuk Salatiga dan Semarang.

Dia contohkan, debit mata air Senjoyo pada 1995 sebesar 1.115 liter perdetik, tahun 2008, turun jadi 838 liter perdetik. Terjadi penurunan debit sekitar 25% dalam kurun waktu 13 tahun.  Saat kemarau, penurunan debit air bahkan 40%.

“Tahun 2014, saat kemarau debit di mata air Senjoyo turun hingga 40%, penyebabnya perubahan tata guna lahan sekitar mata air dan daerah tangkapan terjadi kurun waktu 2003-2011,” kata Samino.

Perubahan tata guna lahan ini, berakibat terhentinya penyerapan air mata air. Pada 2003-2011,  perubahan tata lahan bikin fungsi resapan turun 20%.

PDAM Salatiga pun menggandeng Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thoyyibah (SPPQT) dan Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan Untuk Semua (Iuwash Plus) dalam proyek konservasi air dengan membangun sumur resapan. Juga reboisasi di sekitar mata air dan beberapa daerah tangkapan air di Lereng Merbabu—yang air mengalir ke mata air Senjoyo.

Menurut Samino, ratusan sumur resapan ini mampu meningkatkan debit air mata air Senjoyo,  hingga kini, PDAM Salatiga,  bisa mengelola dan memanfaatkan air sampai 145 liter perdetik.

Dia mengapresiasi, sumur resarapan warga, karena meningkatkan stok air tanah yang beberapa tahun terakhir alami penurunan.

Kini, ada 854 sumur resapan di sekitar Desa Patemon, Tengaran, Semarang. Dengan jumlah itu, air yang bisa diserap saat hujan turun sampai 68,32 liter perdetik. Meskipun sumur resapan banyak, dia berharap masyarakat peduli ketahanan setok air di dalam tanah.

Sejak berdiri pada 1981, PDAM Salatiga satu-satunya perusahaan pelat merah yang mengelola air bersih tak pernah rugi. PDAM tak hanya mengandalkan Senjoyo, juga dari sumber air di Desa Kalisombo.

 

Selain digunakan PDAM Salatiga, air dari mata air Senjoyo digunakan untuk irigasi pertanian warga. Foto” Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

***

Di mata air Senjoyo, berdiri bangunan zaman Belanda tahun 1921, kini dikelola PDAM Salatiga. Ada tiga bangunan induk untuk menampung air bersih.

Kala Mongabay masuk ke bangunan berpagar tembok tinggi sekitar tiga meter itu, di depan ada sungai besar dan air mengalir deras.

Di sebelah kiri bangunan, kolam besar berisi ikan koi dan air jernih. Ada pula kolam pemandian, air dingin dan sangat jernih.

Papan-papan larangan membuang sampah, memancing ikan dan membuang limbah terpajang di sekitar mata air. Termasuk ajakan melestarikan sumber air.

“Sembari berenang bisa mimun air, dingin dan bersih,” kata Andri Saputera, pengunjung dari Boyolali.

Emang tak ada yang kencing di kolam mas?” tanya saya.

“Anggap saja bonus dan vitamin,” kata Andri, tertawa.

Di dalam bangunan tua milik PDAM, air bersih melimpah. Sejak tahun 2000,  debit mata air Senjoyo terus turun. Di bak penangkap mata air PDAM Salatiga, ketinggian air pada 2000 sampai 140 centimeter, 2006 hanya 90 centimeter.

Pada 2006,  debit air, seringkali tak melewati over flow, hingga konstruksi V-Notch harus dibongkar agar air dapat mengalir ke pipa transmisi.

“Debit air beberapa tahun lalu turun drastis. Bak penampung air sampai dibongkar mengalir ke pipa transmisi. Sekarang air meluber,” kata Samino.

Data PDAM Salatiga, debit mata air Senjoyo pada Desember 2014 naik 156 liter perdetik, Desember 2015 naik lagi jadi 177 liter perdetik, Desember 2016 sebesar 223 liter perdetik, dan Desember 2017 jadi 355 liter perdetik. “Ini bagian dari hasil positif konservasi sipil teknis sumur resapan.”

PDAM Salatiga, katanya, akan terus berkomitmen mengkonservasi daerah tangkapan dari mata air Senjoyo. Kerja sama lintas organisasi dan lembaga, katanya,  akan dilakukan agar air terus lestari.

 

Sumur resapan di Desa Patemon selain meningkatkan debit air sumur dangkal, namun ikut meningkatkan debit mata air Senjoyo. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

***

Hari itu,  baru saja hujan deras turun. Asep Mulyana, Senior Raw Special Iuwash Plus, berbekal payung melihat langsung kondisi sumber air Senjoyo. Dia penasaran dampak program sumur resapan di daerah tangkapan air, Desa Patemon dan sekitar.

Asep bilang, memilih sumur resapan karena salah satu teknologi cepat mengkonservasi air. Jika ingin cepat,  maka sumur resapan, tanam pohon juga baik, tetapi perlu waktu lebih lama.

Satu dekade lalu sumber air Senjoyo debit sekitar 1.300 liter perdetik, turun drastis sewindu terakhir. Bukan hujan yang hilang, namun perubahan tutupan hutan, lahan jadi pertanian. Ada pula sedikit faktor perubahan iklim.

“Prediksi kami sekitar lima tahun manfaat peningkatan debit air di Senjoyo bisa didapatkan. Baru tiga tahun debit sudah membaik lagi,” katanya.

Dia melakukan pendampingan pembuatan sumur resapan di Kota Salatiga dan Semarang. Saat ini,  di dua daerah itu telah memiliki 854 sumur resapan.

Sumur resapan itu mampu menampung air tanah hingga 1.100 liter perdetik pada 2017 di kawasan konservasi sumber mata air Desa Tegalwaton, kawasan mata air Senjoyo Salatiga.

Dari debit 1.100 liter perdetik mata air Senjoyo, 145 liter perdetik untuk PDAM Salatiga.

Asep menjelaskan, sumur resapan dibuat dengan menggali tanah 2×2 meter dan kedalaman dua meter. Dinding dibuat bata yang disemen sementara bagian bawah tetap tanah. Lalu diisi kerikil setebal 30 centimeter dan di bagian atas diberi ijuk setebal 20-30 sentimeter.

Setelah itu, dibuat saluran agar air hujan mudah masuk. Sebelum masuk sumur resapan dibuat bak kontrol untuk mengendapkan lumpur yang ikut terbawa air hujan.

Syarat teknis lain, katanya, sumur resapan di tanah datar, kalau berlereng berpotensi longsor.

Perawatan cukup mudah, dengan menjaga jangan sampai lubang masuk air (inlet) dipenuhi sampah atau lumpur. “Perlu dibersihkan sebulan sekali. Ijuk harus dibersihkan setahun sekali saat musim kemarau.”

Sejak tahun 2011, Iuwash Plus USAID memberikan dukungan pembuatan 3.300 sumur resapan di Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, untuk mengembalikan air ke dalam akuifer.

Bekerja sama dengan pemerintah daerah, PDAM, sektor swasta, dan masyarakat, USAID membantu masyarakat melindungi diri dari kekurangan air dari dampak perubahan iklim dan urbanisasi yang cepat.

Di Salatiga dan Semarang, USAID dan mitra telah mengorganisasikan pembuatan 920 sumur resapan. USAID dan CCFI berencana membangun 800 sumur resapan lain di Magelang, Jawa Tengah.

Lina Damayanti, Advocacy and Communication Advisor USAID Iuwash Plus, kepada Mongabay mengatakan, USAID menggelontorkan dana US$39,6 juta untuk Indonesia untuk manajemen air bersih dan sanitasi.

Kini, Iuwash Plus bekerjasama dengan 32 pemerintah yang menyebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua

Data lapangan, katanya, Januari 2018,  air meluap di bak penampungan Senjoyo melewati batas. Dampak lain dari sumur resapan, mengurangi genangan air di permukiman, mengurangi limpasan air hujan hingga menjaga infrastruktur desa mulai jalan, saluran, lapangan agar tak rusak tergerus limpasan air hujan.

Sumur resapan, katanya,  juga menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah karena kelembaban terjaga baik.

Pembangunan sumur resapan dimulai sejak tahun 2014 di enam lokasi di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang. Enam lokasi itu meliputi Kelurahan Noborejo, Desa Gogik, Candirejo, Butuh, Jetak, dan Patemon.

Sampai 2017, 1.060 sumur resapan dibangun pada keenam lokasi itu yang mampu meningkatan debit mata air Senjoyo dari 800 liter perdetik pada 2015 jadi 1.100 liter perdetik pada 2017.

Ahmad Bahruddin dari SPPQT mengatakan, ke depan penting pemberdayaan desa membangun sumur resapan. Setiap warga, katanya,  menanam dan mengamankan air hujan dan otomatis mengamankan humus.

 

 

Patilasan Kasultanan Keraton Pajang di sumber air Senjoyo yang bisa untuk mandi warga dan mitosnya membuat awet muda. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

***

Desa Patemon di Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang,  baru terguyur hujan deras hari itu. Dua sumur resapan di depan halaman rumah Joko Waluyo, baru terisi air berkapasitas delapan kubik.

Enam tahun lalu, Patemon, krisis air bersih. Dia harus mengatur kebutuhan air untuk makan dan minum harian, begitu pula minum ternak.

Selaku tokoh masyarakat, pria berusia 58 tahun, kala itu, sering mendengar keluhan sulitnya mengakses air bersih dari tetangga, walaupun berada di lereng Gunung Merbabu dan Merapi. Ketika kecil, kali berjarak 200 meter dari rumahnya melimpah air, saat ini kering total.

Tahun 2012 lalu, Desa Patemon terparah kekeringan, bahkan dua hingga tiga tahun berikutnya meminta tangki air bersih ke PDAM dan Bupati Semarang. Air bersih diambil dari mata air Senjoyo.

Ketika air bersih datang, hitungan jam sudah habis terbagi untuk warga. Warga Patemon berjumlah 4.208 orang (setara 1.392 keluarga) terdiri 2.120 laki-laki dan 2.088 perempuan. Penduduk desa bekerja sebagai petani, karyawan, buruh, dan peternak.

Kala itu, setiap hari, 6-7 tangki air bantuan datang, tapi tetap kurang.

“Untuk mandi harian, ada warga ke mata air Senjoyo, jaraknya lebih dari lima kilometer,” kata Joko.

Dia masih ingat perjuangan warga mendapatkan air bersih, hingga berujung pertengkaran, Begitu keringnya Patemon, sampai muncul mitos, mereka tak akan pernah menemukan sumber air di Desa Patemon. Orangtua atau sepuh bercerita mata air di Patemon tertutup, percuma hali tanah, tak akan ada air keluar.

Joko tak menyerah mengatasi krisis air. Dia bersama pimpinan desa memutuskan membuat lubang kecil untuk menampung air.

Bak gayung bersambut, SPPTQ, USAID Iuwash Plus menawarkan bantuan sumur resapan untuk atasi kekeringan. Tanpa pikir panjang Joko dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setuju ide sumur resapan.

Warga lain kala itu menolak. Tak rela lahan mereka dibuat sumur resapan. Bahkan ada warga minta Joko membeli lahan yang ingin dibangun sumur resapan. Beberapa bulan berjalan, melalui pendekatan, akhirnya warga setuju dibangun sumur resapan di halaman rumah dan ladang.

“Kini di Desa Patemon ada 320 sumur resapan. Dulu selalu meminta tangki air ke PDAM, sekarang jadi penyumbang kenaikan debit air di Mata Air Senjoyo. Tak lagi mengalami krisis air,” katanya.

Ketika kemarau panjang pun tak lagi kekeringan. Kini, warga Desa Patemon, merasakan manfaat sumur resapan.

“Tadinya untuk satu keluarga saja tal cukup. Hanya bisa diambil 300 liter. Setelah saya buat sumur resapan, sekarang air di sumur gali bisa dipakai 20 keluarga.”

Tetangga Joko, Sulaiman Budiono, punya cerita berbeda. Tahun 2012, dia coba menerobos mitos sulit dapat mata air di Desa Patemon. Dia buat sumur gali dengan biaya lebih Rp20 juta kedalaman 36 meter. Sehari hanya dapat 300-500 liter. Untuk keperluan rumah tangga pun tak cukup. Ketika musim hujan, jika pagi disedot selama satu jam, air habis dan harus menunggu hingga sore hari untuk disedot kembari.

Barulah pada 2016, masa pilu di Desa Patemon, terpecahkan. Sumur resapan bikin air sumur Budi melonjak drastis. Dia bikin dua sumur resapan di pekarangan rumah tahun 2014. Tetangga kanan dan kiri pun ikut buat sumur resapan. Sumur berkapasitas delapan kubik dibangun di lokasi yang memudahkan air hujan masuk.

Kini, sumur Budi ikut digunakan 20 tetangga dengan perkiraan debit air mencapai 24.000 liter perhari. Bahkan, saat ini ada delapan sumur lain yang dibangun warga dengan debit tak habis-habisnya.

“Warga desa itu mampu menghapus mitos desa tanpa mata air menjadi desa yang mampu menyumbang cadangan air bagi anak cucu,” kata Budi.

Saat ini, kata Budi, sumbangan cadangan dari sekitar 320 sumur resapan di Desa Patemon mampu meningkatkan debit mata air Senjoyo dari 800 liter perdetik tahun 2012 jadi 1.100 liter perdetik 2017. Debit itu mendekati tahun 1998 sebesar 1.200 liter perdetik.

“Dulu kami belajar dari Mojokerto, sekarang daerah lain belajar ke desa kami. Ini juga capaian keberhasilan dari menjaga air dan lingkungan,” kata Puji Rahayu Kepala Desa Patemon.

 

Joko Waluyo, kala bercerita upaya warga mendapatkan air dan akhirnya bikin sumur resapan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Perdes kelola air

Saat ini,  Badan Perwakilan Desa (BPD) bersama Pemerintah Desa Patemon membuat Perdes No.1 tahun 2015 tentang Tata Kelola Sumber Daya Air.

Dalam perdes itu, setiap warga yang memiliki atau mendirikan bangunan wajib membangun sumur resapan swadaya. Tak hanya itu, perusahaan yang mendirikan pabrik juga wajib membuat sumur resapan dengan volume 20 meter kubik.

Saat ini, kata Puji, di Kecamatan Tengaran, potensi lahan untuk peletakan sumur resapan 1.402 hektar,  di Desa Patemon ada 320 sumur resapan, Desa Butuh ada 187, Desa Jetak 179, dan Desa Noborejo ada 168.

 

Konservasi air dan sanitasi

Sementara itu, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yuliarto Joko Putranto kepada Mongabay mengatakan, perlu upaya masif untuk mengembalikan air ke tanah dan konservasi di daerah tangkapan air.

Selain itu, juga perlu konservasi seperti penanaman pohon dan upaya pengembalian air ke tanah di hulu untuk mengembalikan debit mata air yang mulai turun.

Menurut Yuliarto, inventarisasi terakhir jumlah mata air di Indonesia ada 10.321. Penelitian mata air di Solo, mengungkap hilangnya mata air mencapai 40% selama 10 tahun terakhir.

Program meningkatkan cadangan air tanah melalui penanaman pohon dan sumur resapan, katanya,  harus terus digalakkan. Pemda, katanya,  harus berani membuat perda melindungi cadangan air tanah.

Saat ini, katanya,  sudah terbangun 11.000 sumur resapan dan jumlah itu sangat kecil dibanding kebutuhan menyelamatkan cadangan air tanah.

Program meningkatkan cadangan air tanah itu bagian dari upaya menyelamatkan daerah aliran sungai (DAS) kritis. Saat ini, dari 17.000 DAS, 2.400 kritis, sebagian besar di Jawa.

Direktur Pengembangan SPAM Ditjen Cipta Karya M. Sundoro kepada Mongabay mengatakan, penting meningkatkan ketangguhan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim, terutama berkaitan dengan akses air bersih dan sanitasi sehat.

Menurut dia, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mengamanatkan, tersedia akses air minum dan sanitasi layak bagi seluruh lapisan masyarakat atau disebut universal access. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, capaian akses air minum di Indonesia 70,97% dan sanitasi 62,14%.

Indonesia, katanya,  masih berjuang meraih posisi 10 besar dalam peringkat negara dengan akses sanitasi terbaik. Jika dibandingkan Asia Tenggara, sanitasi Indonesia hanya lebih baik dari Timor Leste dan Kamboja. Sekitar 72 juta orang Indonesia, belum mempunyai akses air minum layak.

Masalah sanitasi, katanya,  diperparah dengan besarnya warga yang suka buang air sembarangan, ada sekitar 31 juta orang.

Senada dengan Bahruddin. Dia menyarankan, konservasi air bersih sejalan dengan sanitasi sehat. Indonesia, katanya, punya pekerjaan besar soal sanitasi, ada 25 juta rumah tak mengisolasi tinja dan sekitar 7 triliun dana negara tersedot untuk kesehatan warga karena disentri, tipes, hepatitis dan penyakit lain akibat air tercemar bakteri tinja.

“Sanitasi juga jadi faktor kunci menjaga kualitas air. Kesadaran air bersih dan sanitasi sehat butuh perjuangan panjang dan melelahkan, tapi harus optimis bisa,” katanya.

 

 

Exit mobile version