Mongabay.co.id

Kasus Tumpahan Minyak, ICEL: Sanksi Administratif Pertamina Harus Transparan

Tumpahan minyak dari kebocoran pipa bawah laut Pertamina, di Teluk Balikpapan. Foto diambil dari 2 April 2018. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/ Mongabay Indonesia

 

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memberikan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah kepada Pertamina Refinery Unit V di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 30 April 2018. Kalangan organisasi masyarakat sipil meminta KLHK maupun Pertamina, transparan dalam pelaksanaan dan pengawasan sanksi itu.

Baca juga: Ternyata Teluk Balikpapan Sudah Sering Tercemar Minyak

Berdasarkan informasi yang diperoleh Mongabay, ada tujuh sanksi kepada Pertamina. Pertama, pemulihan lingkungan terdampak tumpahan minyak. Ada 12 lokasi tersebar di pantai, kawasan mangrove dan lain-lain. Sanksi ini perlu dilaksanakan pemulihan selama 180 hari.

Kedua, perubahan izin lingkungan agar dampak operasional single point monitoring itu terhadap alur pelayaran umum masuk dalam dampak penting hipotetik pada kajian analisa mengenai dampak lingkungan (180 hari). Ketiga, dampak lalu lintas kapal pada keamanan penyaluran pipa bawah laut (180 hari).

Keempat, audit lingkungan terhadap seluruh operasional kegiatan dengan memasukkan risiko terhadap seluruh pipa kilang dan proses produksi (180 hari). Kelima, membuat sistem penanganan dini tumpahan minyak, dengan membuat SOP (30 hari) dan membuat sistem pemantauan otomatis pengiriman minyak mentah dari terminal Lawe-Lawe menuju Pertamina Balikpapan (90 hari).

Keenam, inspeksi pipa secara berkala setahun sekali (30 hari). Ketujuh, tata kerja penggunaan alat pengoperasian pompa (transfer crude oil) dalam keadaan darurat (30 hari).

Baca juga: Tumpahan Minyak Pertamina di Teluk Balikpapan Cemari 7.000 Hektar Area

Adapun, pelaksanaan sanksi ini perlu dilakukan secara transparan dan dilaporkan berkala kepada publik.

”Suratnya sudah diterima Pertamina kemarin Kamis lalu 3 Mei 5 2018,”  kata Yazid Nurhuda, Direktur Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi Ditjen Penegakan Hukum KLHK kepada Mongabay.

 

Infografis tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, Kaltim. Sumber : Widodo Pranowo/Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan KKP/Mongabay Indonesia

 

Sanksi adminitratif berupa paksaan pemerintah ini tercantum dalam Surat Keputusan Nomor 2631 tertanggal 30 April 2018. Pengenaan sanksi kepada Pertamina ini karena kebocoran minyak mentah dari pipa bawah laut yang tersangkut jangkar kapal pada 30 Maret 2018.

Penetapan sanksi administrasi ini memerlukan waktu satu bulan karena perlu ada pengecekan dan verifikasi di lapangan, menunggu hasil laboratorium dan pendapat para ahli.

Baca juga: Opini: Penanggulangan dan Langkah Hukum pada Kasus Tumpahan Minyak di Teluk Balikpapan

Meski demikian, katanya, KLHK masih belum mau memberikan detail informasi berkenaan terkait sanksi.

Sebelumnya, Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK menyebutkan, sanksi administrasi paksaan pemerintah kepada Pertamina untuk memperbaiki pengelolaan keamanan proses kegiatan mereka. Juga meminta untuk audit lingkungan dan pemulihan kawasan tercemar tumpahan minyak.

“Bagaimana pengelolaan operasi mereka dan ancaman terhadap kemungkinan risiko lingkungan kejadian terulang. Mengaudit lingkungan semua persoalan yang ada. Juga memerintahkan kepada Pertamina untuk upaya pemulihan lokasi-lokasi minyak yang masih terkontaminasi,”  kata Roy, sapaan akrabnya.

Sebelumnya, saat Rapat Kerja Komisi VII, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memaparkan, hasil pengawasan lingkungan hidup memuat lima hal penting.  Pertama, dokumen lingkungan tak mencantumkan dampak penting alur pelayaran pada pipa, kedua, dokumen lingkungan tak mencantumkan kajian perawatan pipa. Ketiga, inspeksi pipa tak memadai hanya untuk kepentingan sertifikasi, keempat, tak memiliki sistem pemantauan pipa otomatis, terakhir, tak memiliki sistem peringatan dini.

Dia mendesak, Pertamina melakukan kajian risiko lingkungan dan audit lingkungan wajib dengan fokus keamanan pipa penyalur minyak, kilang minyak dan sarana pendukung.

 

Tim penanganan terus bekerja mengupayakan minyak tumpah tak terus meluas. Foto: Facebook KLHK/ Mongabay Indonesia

 

Harus transparan

Ohiongyi Marino, Kepala Divisi Pesisir dan Maritim, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah sudah cukup baik, namun ada beberapa catatan soal transparansi publik.

Pertama, perlu ada transparansi dalam penyusunan rencana pemulihan oleh Pertamina,  yang selanjutnya disetujui pemerintah.

”Rencana pemulihan perlu untuk mengidentifikasi cara pemulihan dari ekosistem terdampak yang berbeda-beda dan penentuan standar ekosistem yang rusak telah pulih atau kembali seperti sebelum pencemaran,” katanya.

Kedua, pemulihan oleh Pertamina hendaknya transparan dan melibatkan masyarakat, misal, memberikan perkembangan pemulihan berkala setiap 15 hari sekali. Juga mengumumkan ke publik terkait dokumen pemulihan dan konsultasi kepada masyarakat dalam upaya pemulihan.

KLHK pun perlu mengawasi pelaksanaan dan mengumumkan kepada publik perkembangan upaya pemulihan.

”(Pertamina) perlu melakukan perubahan izin lingkungan dengan mengubah dokumen amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red), disertai mitigasi dampak pelayaran kapal terhadap pipa,” katanya.

 

Langkah hukum lain

Mengenai hukum perdata dan pidana, katanya, pemerintah perlu melihat juga dari pelaksanaan perbaikan atas sanksi administrasi Pertamina.

Gugatan perdata, pemerintah harus melakukan kala Pertamina tidak atau lalai pemulihan ataupun tak menyelesaikan pemulihan sesuai rencana yang disepakati.

Sedangkan penegakan hukum pidana, KLHK dan Polda Kalimantan Timur,  harus berkoordinasi dalam menyelidiki tindak pidana pencemaran.

”KLHK punya penyidik pengawai negeri sipil, PPNS ini bertugas penyidikan tindak pidana lingkungan. PPNS ini dapat membantu kepolisian mengumpulkan barang dan alat bukti tindak pidana pencemaran. Koordinasi antara Polda dan PPNS KLHK sangat penting,” katanya.

 

Biota laut yang mati karena tumpahan minyak di Teluk Balikpapan. Foto: Facebook KLHK/ Mongabay Indonesia

 

Roy mengatakan, penegakan hukum pidana oleh Polda Kaltim, saat ini sudah menetapkan tersangka, nahkoda Kapal MV Ever Judger.

”Kami mendukung mereka data pemantauan laboratorium dan ahli-ahli,” katanya.

Soal hukum perdata, KLHK masih mengumpulkan bukti-bukti di lapangan. ”Tim kami masih di lapangan untuk menghitung seberapa besar kerugian lingkungan dan pemulihan yang perlu dilakukan Pertamina.”

Secara terpisah, Yudi Nugraha, Region Manager Communication & CSR Pertamina Kalimantan mengatakan, sudah menerima surat sanksi administrasi.  ”Sudah (kami terima),” katanya dalam pesan singkat kepada Mongabay.

Pertamina, katanya,  sudah melaksanakan penanggulangan tumpahan dan pembersihan pantai. ”Beberapa amar lain masih on progress,” katanya. Meski demikian, Yudi, tak mau memaparkan lebih detil soal itu.

 

Penelitian LIPI

Enny Sudarmonowati, Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan, LIPI memiliki penelitian terkait pemulihan dampak minyak pada ekosistem di Teluk Balikpapan. Ia menggunakan bakteri pemakan minyak mentah yang bisa untuk memulihkan dampak pencemaran minyak.

”Kami memiliki mikroorganisme yang bisa memakan polutan pencemar dari tumpahan minyak,” katanya.

Sebelumnya, penelitian ini sudah pernah dicoba di Pantai Utara Jakarta.  Meski, hingga kini masih belum ada permintaan khusus dari KLHK maupun Pertamina soal upaya pemulihan ini.

”Saya minta teman-teman LIPI proaktif. Saya minta untuk diungkap lagi mikroba ini,” katanya.

 

Foto utama: Tumpahan minyak dari kebocoran pipa bawah laut Pertamina, di Teluk Balikpapan. Foto diambil dari 2 April 2018. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/ Mongabay Indonesia

Selain menggunakan tungboat dan peralatan lain, minyak tumpahpun dibersihkan secara manual. Foto: Facebook KLHK/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version