Mongabay.co.id

Saat Ikan Endemik Danau Sentani Terancam Punah akibat Pendangkalan, Limbah dan Ikan Introduksi

Danau Sentani telah ditetapkan sebagai satu dari 15 danau prioritas nasional. Namun jika tidak dikelola secara baik, maka resiko besar akan menimpa Danau Sentani, termasuk hilangnya keragaman spesies ikan-ikan endemik danau.

Persoalan besar di Danau Sentani,  yaitu pendangkalan karena material yang dibuang dari darat ke dalam air, penimbunan di garis pantai, pembangunan restoran, pembangunan rumah-rumah, dan pembuatan jalan. Bahkan di Sentani Tengah ada gunung yang dipotong kemudian dibangun jalan yang menghubungkan kampung yang sebelumnya adalah air.

“Danau sebesar ini suatu saat akan hilang kalau kita tidak jaga. Asumsi saya, kalau tidak lakukan pemulihan, maka di tahun 2050 saya khawatir danau terpecah dua. Karena ada bagian yang dangkal, yang terus masuk material erosi dari luar,” ungkap Henderite Ohee, Dosen Biologi, Fakultas MIPA Universitas Cendrawasih, Papua.

“Sudah lama ada istilah Danau Sentani itu TPA (Tempat Pembuangan Akhir) orang yang ada di kota dan kabupaten,” lanjutnya.

Henderite adalah peneliti ikan-ikan endemik di danau Sentani. Banyak tulisannya dalam jurnal penelitian sering dipakai dalam melakukan kajian di Danau Sentani. Menurutnya, perubahan habitat di danau telah menjadi sebab hilangnya ikan endemik danau Sentani.

Masuknya limbah sampah plastik Kota dan Kabupaten Jayapura sebagian besar masuk ke danau. Hal itu membuat pendangkalan karena sampah plastik tidak bisa diurai. Sampah dari sungai, terbawa ke danau Sentani, dan menjadikan danau sebagai tempat sampah raksasa.

Pembukaan hutan di pegunungan Cycloop yang menjadi kawasan hulu Danau Sentani pun beresiko besar terhadap air di danau. Deforestasi membawa material endapan dari sungai yang berakibat buruk pada kualitas air Danau Sentani.

“Kalau Cycloop itu baik, maka Danau Sentani juga pasti baik,” tegas Henderite.

 

Ikan gabus sentani (Glossogobius sentaniensis), spesies endemik Danau Sentani. Doc: Western Australian Museum Reference Number P27852.004

 

Spesies Endemik Terancam Hilang

Saat dilakukan penelitian pada tahun 1993 oleh peneliti dari Universitas Cendrawasih, di Danau Sentani masih dijumpai 35 spesies ikan. Namun ketika Henderite Ohee dan timnya melakukan penelitian lagi pada tahun 2016-2017, hanya tersisa 19 spesies saja.

Dari jumlah tersebut 8 spesies adalah ikan asli, 7 spesies ikan anadromus; yaitu jenis ikan yang bertelur di laut dan kembali lagi ke danau Sentani. Sedangkan ikan introduksi atau yang dibawa dari luar oleh manusia sebanyak 10 sampai 11 jenis.

Spesies anadromus yang sebelumnya dijumpai di Danau Sentani,  seperti hiu gergaji (Pristis microdon), bahkan tidak ditemukan lagi sejak awal tahun 1970-an. Penyebabnya karena sering tertangkap jaring nelayan.

“Ada 3 jenis ikan endemik Danau Sentani; ikan gabus sentani (Glossogobius sentaniensis), ikan pelangi sentani (Chilatherina sentaniensis), dan ikan pelangi merah (Glossolepis incisus). Namun salah satunya kemungkinan sudah punah, yaitu ikan pelangi sentani,” ungkap Henderite.

 

Ikan pelangi sentani (Chilatherina sentaniensis), ikan endemik Danau Sentani. Foto: Franz Scheifinger/www.rainbowfish.de

 

Selain persoalan pendangkalan, hilangnya keberadaan hutan sagu menjadi ancaman bagi spesies endemik Danau Sentani.  “Akar sagu adalah tempat hidup terbaik bagi salah satu ikan endemik, yaitu ikan pelangi merah. Ikan gabus sentani atau ikan gabus merah juga senang main di akar pohon sagu, dan itu juga tempat mereka bertelur.”

Namun sayangnya banyak pohon sagu ditebang dan ditimbun sepanjang pesisir danau, paling banyak di Distrik Sentani Timur yaitu dari Kampung Waena hingga Netar, yang diperkirakan sekitar 50 persennya lebih sagu telah hilang.

Justru saat ini ikan introduksi di Danau Sentani populasinya didominasi ikan seperti nila, mas, mujair, lohan, dan gabus toraja.

“Yang paling menjadi ancaman ikan lohan. Ikan ini menempati habitat sepanjang pesisir sampai ke tengah, hampir semua habitat danau ditempatinya. Asumsi saya ikan ini memakan telur ikan endemik, karena dia pemakan segalanya,” katanya.

Jelasnya, beberapa kali dijumpai ikan gabus asli Sentani yang mati saat memakan ikan lohan kecil, saat diteliti mulut ikan itu tersangkut sirip ikan lohan yang tajam.

Henderite mengaku saat ini sedang menyiapkan penelitian ekologi dan biologi tentang ikan lohan. Tujuannya mencari celah untuk memutus siklus hidup dan mata rantai. Menangkapi lohan secara besar-besaran dirasa kurang efektif karena Danau Sentani bersifat open water dan sangat luas.

 

Keramba jaring apung di Kampung Telaga Ria, Distrik Sentani Timur. Di satu sisi keramba menguntungkan secara ekonomi, di sisi lain masalah bagi danau dan spesies endemiknya. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Dilema Keramba Jaring Apung

Keberadaan ikan introduksi di Danau Sentani tak lepas dari maraknya pembudidayaan ikan nila lewat keramba jaring apung. Di satu sisi keberadaan keramba turut mendorong perekonomian nelayan, tetapi di saat yang sama turut menjadi sebab dari pendangkalan danau.

Sisa-sisa makanan yang ditabur di dalam keramba, tidak semua dimakan ikan. Sebagian mengendap di bawah dan mengasamkan air danau. Asamnya air, menjadi sebab organisme dalam air tak bisa bertahan hidup karena kualitas air yang buruk. Alih-alih menjadi makanan ikan di keramba, sisa makanan nila pun malah jadi makanan ikan mujair yang hidup di luar keramba.

Henderite lalu menyarankan perlunya pemerintah membuat analisis daya dukung lingkungan. “Perlu dikaji berapa luas danau yang bisa kita pakai buat keramba jaring apung, daerah mana yang boleh, dan mana yang tidak boleh,” ujarnya.

Saat dihubungi Kepala Bidang Perikanan Budidaya, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jayapura, Marcela Ikanubun, menepis jika ikan nila disebut menjadi ancaman keberadaan ikan asli danau. Menurutnya ikan lohanlah yang menjadi sumber permasalahan.

Saat ini, dia memperkirakan sebanyak 4000-an keramba jaring apung ada di sepanjang pesisir Danau Sentani. Jumlah tersebut sudah termasuk gabungan milik nelayan dan juga para pengusaha, terbanyak di Distrik Sentani Timur.

Ungkapnya, setiap tahun pihaknya memberikan bantuan keramba jaring apung berdasarkan usulan atau proposal yang masuk. Untuk tahun 2018, bantuan yang disalurkan Dinas Perikanan adalah 11 unit. Rinciannya 1 unit terdiri dari 4 petak keramba, ukuran lebarnya 3 meter, panjang 4 meter dan kedalaman jaring 3 meter.

“Tapi kalau pengusaha 1 unit itu bisa beda, ada yang sampai 100 petak. Jumlah bibit rata-rata 500 sampai 800 ekor, sekitar 99 persen ikan yang dibudidaya adalah ikan nila,” ungkapnya.

Saat ditanya tentang permasalahan daya dukung di Danau Sentani, jelasnya hal itu bukan kewenangan Dinas Perikanan. “[Kewenangan] itu mungkin adanya di Badan Riset Kementerian Kelautan dan Perikanan.”

Meski di habitat alaminya mengalami ancaman keberadaan hidup, ironisnya ikan endemik Danau Sentani malah sukses dikembangkan oleh peminat ikan hias di Jayapura dan di Bogor. Bahkan ada yang berhasil membudidayakannya di luar negeri, seperti Jerman.

Namun, bagi Henderite hal ini tak serta-merta persoalan lalu selesai. Permasalahan degradasi habitat harus diselesaikan.

“Ada pembiak ikan hias yang bersedia kirim ikan asli dan mau masukan kembali ke Danau Sentani. Tapi saya bilang jangan, tidak bisa, rumahnya sekarang rusak. Perbaiki dulu Danau Sentani rumahnya ikan itu,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version