Mongabay.co.id

Tiga Tahun Sejak Kebakaran Hebat, Bagaimana Kondisi Lahan Gambut itu Sekarang?

Wanson, Kepala Desa Garung, Kabupaten Pulang Pisau, berjalan menyusuri handil Kala.  Sepanjang aliran handil atau sungai kecil berair deras itu tumbuh berbagai jenis pepohonan. Galam, karet dan beberapa blok kebun sengon milik warga. Pohon-pohon itu tingginya lima sampai sepuluh meter, menjulang di pinggiran aliran sungai. Berbeda dengan kondisi dua-tiga tahun lalu.

“Tahun 2015 kebakaran hutan dan lahan hebat, kawasan ini terbakar semua. Semua pohon hangus,” jelas Wanson seraya menunjuk tajuk pepohonan yang sekarang tumbuh menghijau.

Berjalan sekitar 200 meter menysur handil, dapat dijumpai sekat kanal non permanen (spill way) atau tabat yang kontruksinya terbuat dari batang pohon galam. Sekat diperuntukkan mengatur aliran air di handil, agar tanah gambut dalam dapat terus basah dan lembab. Untuk pengaturan air, sewaktu-waktu sekat dapat di bukatutup.

“Kini meski kemarau, lahan gambut tidak kering dan tidak cepat terbakar. Tabat menahan air ketika musim kemarau tiba, air tetap tertampung. Tak ada titik api lagi di handil Kala.”

Baca juga: Merananya Kondisi Hutan Desa Kalawa, Pasca Kebakaran Lahan dan Hutan Hebat di Kalteng

Dengan pembangunan sekat kanal dampaknya kini bisa dirasakan langsung. Ketika musim kemarau, air tetap melimpah. Selain itu, secara tidak langsung keberadaan sekat kanal ini juga bermanfaat sebagai tempat hidupnya ikan. Sehingga warga yang awalnya sulit mencari ikan, kini lebih mudah.

 

***

Di handil Kala, dibangun lima sekat kanal. Semua konstruksinya sama. Jarak antara satu sekat kanal dengan sekat kanal lainnya sekitar 1 kilometer. Di Desa Garung semuanya ada limabelas handil. Selain Kala, lainnya juga dibangun sekat, yaitu handil Baru, Gandis, Kalumpang, Kecap dan Jejangkit.  “Dipilih yang di dekat daerah rawan kebakaran,” ujar Watson.

Menariknya, sekat-sekat kanal itu dibangun langsung oleh masyarakat. Tiap handil dibentuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) dan diketuai langsung oleh ketua handilnya. Untuk biaya operasional pembangunan dibantu oleh BRG (Badan Restorasi Gambut). Untuk membangun lima sekat kanal, masing-masing Pokmas mendapat bantuan Rp200 juta.

Awalnya banyak warga yang menolak pembangunan sekat kanal karena mereka merasa khawatir jika handil disekat akan membuat kebun dan ladang mereka kebanjiran.

 

Tabat (sekat) kanal di handil Desa Garung, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng. Sekat ini dibangun oleh masyarakat. Foto; Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Namun setelah menjalankan beberapa kali proses pertemuan dan informasi, masyarakat sepakat membangun sekat kanal. Masyarakat dilibatkan menentukan dimana titik sekat kanal yang akan dibangun. Sesuai aturan pemerintah, tinggi permukaan air tabat diatur 40 sentimeter dari titik permukaan tanah.

Selain Desa Garung, sekat kanal di desa lain dibangun melalui skema swakelola Pokmas. Diantaranya di Desa Buntoi untuk empat handil dengan 22 sekat kanal, Desa Gohong di dua handil dengan 11 sekat kanal, dan Kelurahan Kalawa di satu handil dengan enam unit sekat kanal.

Tipe sekat kanal yang akan dibangun disesuaikan dengan kondisi yang ada. Masyarakat setempat turut dilibatkan untuk menentukan tipe sekat.

“Sebelum sekat dibangun, dilakukan Padiatapa (Persetujuan Atas Dasar Informasi Tanpa Paksaan). Kami diberi penjelasan. Masyarakat yang awalnya menolak akhirnya mendukung pembangunan sekat kanal.”

Baca juga: Januminro, Penerima Penghargaan Kalpataru yang Hutankan Lahan Gambut Terbakar

Kasub Pokja BRG (Badan Restorasi Gambut) Wilayah Kalteng, Abdul Kodir menyebut pembangunan sekat kanal melalui sistem swakelola Pokmas merupakan pilihan terbaik.

“Pelibatan masyarakat akan terus kita lakukan. Tahun 2018 kita mempunyai target untuk membangun 1.264 sekat kanal,” jelasnya.

Menurut Abdul Kodir, kedepan pihaknya juga akan membantu revitalisasi ekonomi masyarakat. Tiap desa akan dibantu dana Rp200 juta. Dana berasal dari anggaran BRG. Menurutnya, aparat desa akan dilibatkan dalam program revitalisasi ekonomi.

“Misalnya di Gohong bantuan pembangunan sarang burung walet, di Anjir Kalampan untuk ternak bebek, di Tanjung taruna peternakan sapi. Tiap desa programnya berbeda-beda tergantung kebutuhan masyarakat. Kita tidak memaksa. Tergantung apa yang mereka butuhkan.  Dana akan diserahkan tahun ini,” papar Abdul Kodir.

Menurut Kodir, program akan difokuskan di desa-desa yang mendekati kawasan konservasi Taman Nasional Sebangau dan desa-desa gambut yang berada di daerah rawan kebakaran. BRG, jelasnya akan mengirimkan pendamping Pokmas untuk memberikan pelatihan kepada warga.

 

***

Bagi Watson, masyarakat sekarang sudah belajar dari bencana 2015. “Masyarakat trauma kebakaran hutan dan lahan 2015, tak ingin bencana terulang kembali di tahun-tahun mendatang.”

Dampak positif pembangunan sekat kanal memang sudah mulai dirasakan masyarakat. Namun kali ini mereka  menghadapi tantangan lain. Yakni, persoalan pemeliharaan sekat kanal yang sudah dibangun.

Menurut Watson, jika ingin dimasukkan dalam Anggaran Dana Desa, maka status hibah tabat yang ada harus jelas. Ini berlaku untuk seluruh bantuan, baik dari BRG maupun pihak lain, seperti dinas maupun donatur lain. “Sampai saat ini, kami [aparat desa] belum berani anggarkan dari Dana Desa. Karena kami belum terima surat hibahnya kepada pihak desa,” tuturnya.

 

Kanal di gambut setelah tiga tahun kebakaran hebat, vegetasi telah memulihkan dirinya. Kuncinya ada di pengaturan tata air lewat model tabat. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Meski belum paham tentang kejelasan status hibah, Wanson tak tinggal diam. Dia berupaya agar sekat yang ada terpelihara dengan baik. Dia terus yakinkan warga untuk tetap memelihara sekat kanal yang sudah dibangun. Niat Pokmas untuk memelihara tabat pun cukup tinggi.

“Yang kami khawatirkan ini untuk tahun-tahun kedepannya. Kemampuan mereka kan terbatas,” katanya.

Selain bantuan pembangunan sekat, warga desa juga ada kerjasama pelatihan dengan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Pulang Pisau. Dalam pelatiihan ini, masyarakat diajari cara memadamkan api, evakuasi, dan membentuk tempat pengungsian sementara saat timbul kebakaran.

 

Foto utama: papan di handil Desa Garung. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version