Mongabay.co.id

Berkonflik dengan Perusahaan Sawit PT SAL, Warga Pungkat Kirim Surat ke BPN

Aksi warga Pungkat di Kantor Bupati, protes PT SAL. Foto: dokumen warga

 

Warga Desa Pungkat, Indragiri Hilir, Riau,  khawatir dengan kehadiran perusahaan sawit, PT Setia Agrindo Lestari (SAL), yang tak hanya menebangi hutan juga mengancam kelangsungan kebun pinang dan kelapa mereka. Anak usaha First Resources ini pun berkonflik dengan masyarakat. Bupati sudah keluarkan surat pemberhentian operasi sementara, tetapi di lapangan terus berjalan. Warga pun kirim surat ke BPN agar lembaga ini tak keluarkan hak guna usaha (HGU).

 

Hamdalis, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Pungkat, Kecamatan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir, didampingi Devi Indriani staf Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, menyerahkan dua lembar surat ke pelayanan umum Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional wilayah Riau, awal April lalu.

Mereka menemui Firdaus Afiat, Kasi Penanganan Sengketa Pertanahan, di lantai dua gedung itu.

Surat itu berisi penolakan warga terhadap operasi PT Setia Agrindo Lestari (SAL). Warga khawatir, sejak beroperasi 2013, perusahaan sawit ini melenyapkan berbagai jenis kayu yang jadi sumber pembuatan kapal bagi masyarakat, seperti kayu meranti, kelat dan samak.

“Banyak lagi jenis kayu lain. Kami mencarinya makin jauh,” kata Hamdalis, usai menyerahkan surat.

Sejak menanam sawit, perusahaan juga merusak perkebunan kelapa dan pinang warga karena serangan kumbang yang datang dari kebun perusahaan. Dampak lain, masyarakat tak dapat memanfaatkan air di sungai rawa yang biasa untuk keperluan rumah tangga. Rasa dan warna air sudah berubah.

Surat itu, ditujukan ke Kementerian ATR/BPN, di Jakarta, lewat kantor pos di hari sama. Kata Devi, surat ke BPN Riau hanya tembusan, termasuk BPN Indragiri Hilir, juga mereka kirimi.

Dari berbagai kecemasan itu, warga Desa Pungkat meminta Kementerian ATR/BPN tak mengeluarkan hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan.

“Ada indikasi mereka sedang mengajukan permohonan HGU. Karena sejak beroperasi pada 2013, mereka tak memilikinya,” kata Devi.

Firdaus Afiat, tampak kurang sependapat dengan Devi. Menurut dia, jika perusahaan telah memiliki izin usaha perkebunan dan izin lokasi, mereka tak dapat menolak permohonan HGU dari perusahaan.

Dia justru menganjurkan keberatan ini disampaikan ke pemerintah daerah setempat. “Karena muaranya di sana,” singgung Firdaus.

Devi memahami anjuran itu tetapi tetap meminta Kepala ATR.BPN Kanwil Riau pertimbangkan permasalahan di lapangan sebelum mengeluarkan HGU perusahaan.

Walhi Riau, katanya,  bersedia menyerahkan laporan hasil kajian lapangan, jika diperlukan.

 

***

Penolakan warga terhadap perusahaan sawit ini sudah sejak 2014. Warga sekitar pernah berhadapan dengan aparat, 21 orang, termasuk Hamdalis pernah mendekam dalam penjara selama sembilan bulan.

Mereka dihukum karena membakar alat berat perusahaan. Hamdalis bilang, warga sudah geram dan tak dapat menahan diri lagi kala itu.

Bupati Indragiri Hilir, HM Wardan,  pernah mengeluarkan surat penghentian sementara aktivitas SAL. Tampaknya perintah ini tidak dihiraukan karena warga terus bersinggungan dengan perusahaan. Akhirnya dibentuk tim verifikasi lapangan oleh pemerintah, sebelum Wardan maju lagi di Pilkada serentak 2018.

 

Foto utama: Warga Pungkat, protes PT SAL ke Kantor  Bupati Indragiri Hilir, Riau. Foto: dokumen warga.

Pinang salah satu sumber ekonomi masyarakat selain bikin kapal kayu secara tradisional. Foto: dokumen warga

  

Temuan Walhi Riau

Walhi Riau mencatat, sepanjang 2012-2013, Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir banyak mengeluarkan izin pada perusahaan.

DPRD Indragiri Hilir, bikin rapat antara Komisi I dan II beserta pemerintah daerah. Mereka meninjau ulang seluruh izin yang dikeluarkan Indra Mukhlis Adnan, sebelum menyelesaikan jabatannya sebagai bupati, waktu itu.

Ada tujuh perusahaan dipantau langsung, salah satu SAL, yang dinilai tak memenuhi kewajiban, berdasarkan keputusan Kepala Badan Perizinan, Penanaman Modal dan Promosi Daerah Indragiri Hilir nomor 503 tertanggal 13 November 2013.

Kebun sawit SAL luas sekitar 17.059 hektar, masuk ekosistem gambut dan sebagian besar kedalaman lebih tiga meter. Gambut jadi kering karena saluran drainase perusahaan.

Aktivitas SAL bertentangan dengan Pasal 26 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 57/2016, tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014, soal Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

SAL tidak memberikan 20% dari luasan areal tanam untuk pembangunan kebun masyarakat. Walhi mencatat, berdasarkan risalah rapat Komisi I dan II bersama pemerintah kabupaten.

Mereka juga mengecek langsung ke lapangan dan tak menemukan blok atau bagian kebun masyarakat yang dimaksud.

Sejalan dengan kewajiban itu, SAL juga tak pernah memberi bantuan berupa fisik atau lain-lain pada masyarakat Desa Pungkat, sebagai bagian program corporate social responsibility/CSR.

Kebakaran di lahan SAL juga terjadi pada Agustus 2015. Perusahaan diduga tak memiliki sarana dan prasarana pencegahan kebakaran, serta tak memiliki sistem pengendalian organisme pengganggu hama tanaman.

Pembukaan lahan memicu datangnya kumbang dan merusak tanaman masyarakat. Kebun masyarakat berada dalam penguasaan SAL yang sudah dikelola sebelum perusahaan ini mendapat izin.

Walhi Riau menemukan, indikasi, SAL menguasai areal dengan cara membeli lahan dari masyarakat Desa Belantarajaya, surat keterangan tanah diterbitkan pemerintah desa bersangkutan. Padahal,  lahan berada dalam wilayah administrasi Desa Pungkat.

Dalam proses pengurusan izin, SAL juga diduga melanggar prosedur dan menyerahkan dokumen tidak benar. Selain dalam kawasan hutan, konsesi masuk dalam peta indikatif penundaan izin baru.

Ia juga tumpang tindih dengan dua perusahaan. Pertama, berada di areal PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa, memasok bahan baku bubur kertas bagi Asian Pulp Paper (APP).

Kedua, PT Bina Keluarga,  yang memegang izin hak pengusahaan hutan (HPH). Tumpang tindih lain, kawasan ini masuk dalam rencana moratorium pemerintah yang tidak dibenarkan untuk dapat izin.

Hanya saja, pada masa-masa akhir sebelum duduk di DPR, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menerbitkan SK 878/Menhut-II/2014 pada 29 September, tentang kawasan hutan Riau, status berubah jadi areal penggunaan lain.

Menurut catatan Walhi Riau, meski tak lagi jadi kawasan hutan, secara kronologi penguasaan kawasan, SAL tetap dianggap bersalah. Pertama, sejak pertama kali menguasai hutan, status masih kawasan hutan.

Kedua, perubahan dari kawasan hutan jadi APL, diduga karena isi surat ajuan oleh Direktur SAL No. 236 ke Kementerian Kehutanan pada 2012, terkait kondisi lahan tidak sesuai kenyataan di lapangan jadi mereka boleh mendapat izin baru.

Surat rekomendasi yang dikeluarkan Dinas Perkebunan Indragiri Hilir Nomor 050 pada 16 Oktober 2013 untuk penerbitan izin usaha perkebunan (IUP) SAL, tampaknya juga keliru.

Pasalnya, surat itu juga merujuk pada surat Dirjen Planologi No. S.1489  tertanggal 17 Desember 2012, yang merespon surat Direktur SAL.

Indikasi kekeliruan lain, katanya, mengenai nota kesepahaman antara SAL dan masyarakat Desa Pungkat Nomor: 02.0.4 tertanggal 23 Juli 2013. Kesepahaman ini diragukan. Sebab, sebagian masyarakat Desa Pungkat, sejak awal menolak SAL di wilayah mereka.

Walhi Riau menyampaikan,  hasil temuan ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kantor Staf Presiden hingga upaya hukum ke Polda Riau. Permasalahan warga Desa Pungkat dengan SAL inipun jadi prioritas penyelesaian konflik oleh KLHK di Riau.

Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau, mengatakan, SAL tak patuh komitmen pemerintah dalam memperbaiki kawasan gambut.

“Perusahaan itu jelas cacat administrasi, membuka kanal di lahan gambut dan tumpang tindih dengan izin lain padahal jelas tidak dibenarkan,” katanya.

Sejak ada surat penghentian sementara operasi perusahaan oleh Bupati Indragiri Hilir, SAL terus dipantau KLHK termasuk kepolisian. Mereka dilarang beraktivitas apapun tak konflik lagi dengan masyarakat. Sayangnya, aktivitas perusahaan tetap berjalan.

April lalu, empat orang dari Polri ditemani Polisi Tembilahan datang ke Kantor Desa Pungkat pukul 09.00. Mereka pakai speedboat Pol Airud Tembilahan. Zaki Kepala Desa Pungkat memberitahu masyarakat.

Pertemuan tak sampai setengah jam. Polisi minta dokumen izin SAL pada masyarakat. Saat itu,  juga warga menberikan salinan dokumen dan diperiksa sebentar.

Polisi tak banyak bicara dan masyarakat juga tak banyak tanya. “Mereka langsung pulang, tak mau diajak mampir oleh tokoh masyarakat,” kata Hamdalis.

Surat masyarakat Pungkat kepada BPN beberapa bulan lalu belum ada kabar, Devi pun mendatang lagi BPN Wilayah Riau, Rabu (23/5/18).

Yeni Seksi II Bidang Penetapan Hak Atas Tanah dan Pemberdayaan Masyarakat, memberi Devi selembar surat. Isinya, BPN Riau belum  menerima permohonan perpanjangan HGU SAL.

Surat tertanggal 12 April 2018 itu ditandatangani Lukman Hakim, Kepala Kantor BPN.  Surat ditembuskan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Indragiri Hilir.

Devi menolak surat itu karena isi tak sesuai keinginan masyarakat. Mereka minta,  BPN memblokir permohonan HGU dari SAL. “Bukan menjelaskan belum menerima perpanjangan.”

BPN berjanji memperbarui surat itu.  “Nanti mereka akan kabari saya lagi.”

Mongabay berkali-kali berusaha mengkonfirmasi ke perusahaan tetapi tak mendapatkan penjelasan. Dari konfirmasi ke First Resources, karena SAL anak usaha mereka dengan mendatangi kantornya, di Gedung Surya Dumai Group, minggu pertama April lalu.

Seorang perempuan mengarahkan langsung SAL, di lantai 10, gedung yang sama Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru.

Permintaan pertama tak ditanggapi dan disarankan oleh satpam mengajukan surat permohonan wawancara.

Selang beberapa minggu, Mongabay mengajukan surat dimaksud pada 24 Februari 2018. Beberapa jam setelah surat diterima oleh satpam, seorang perempuan yang menyebut namanya Dewi, memberitahu lewat sambungan telepon, bahwa mereka sudah berupaya menghubungi orang yang berwenang menjawab permintaan wawancara.

“Nomornya tidak bisa dihubungi. Jadi kami tidak bisa buat janji untuk wawancara,” katanya sebelum menutup telepon.

Exit mobile version