Mongabay.co.id

Kasus Kebun Sawit PTPN XIV Mantadulu, Bagaimana Perkembangannya?

HGU PTPN ini juga sudah habis dan belum ada perpanjangan dari BPN. Warga, bersama majelis hakim dan perwakilan PTPN XIV, mengunjungi koordinat obyek sengketa lahan dalam kebun inti sawit, di wilayah Wana-wana Desa Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sepuluh bulan proses hukum berjalan, sudah 34 kali persidangan. Pada 9 Mei 2018, proses pengadilan memasuki agenda pemeriksaan setempat. Tiga sidang berikutnya akan menentukan sengketa lahan antara PTPN XIV Mantadulu dan warga.

Hari itu, rombongan majelis hakim Pengadilan Negeri Malili, Luwu Timur, kuasa hukum warga Mantadulu, kuasa hukum PTPN XIV PKS Malili, dan seratusan warga sudah berada diantara kebun sawit klaiman perusahaan perkebunan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara tanah milik warga.

Baca juga: Cerita Warga Awal Mula Sawit Masuk Mantadulu

Sertipikat tanah, surat keterangan tanah (SKT), dan saksi pemilik lahan garapan, sudah menunggu peristiwa ini. Suyanti, berlari di antara rerumputan ketika seseorang menyebut namanya. Dia menghampiri Ari Prabawa, Wakil Ketua Majelis Hakim. “Benar ini lahan ibu?” katanya.

“Benar pak. Ini setipikatnya.”

Oke, ibu bisa jelaskan, lahan ibu berbatasan dengan siapa saja? Utara, Selatan, Barat dan Timur-nya.”

Suryanti yang berdiri dekat patok titik koordinat, menjawab dengan sigap.

“Tapi ini  kan pasti patok baru. Dari mana tahunya kalau ini benar lahan itu,” kata Syafruddin, kuasa hukum PTPN XIV Mantadulu.

“Ini kan dilakukan pemetaan oleh penggugat. Tadinya, saya berpikir tergugat (PTPN XIV) membuat juga pemetaan, jadinya jelas. Di lapangan,  kita akan lihat seperti apa, peta masing-masing. Tapi kan ini tidak. Jadi nanti di persidangan,” kata Ari.

“Tapi jelas ya. Berarti ini ada bukti dari penggugat. Jadi kita berdiri dimana ini?” lanjut Ari.

“Di lahan PTPN Pak. Ini masuk dalam lahan inti,” kata Syarifuddin.

“Siapa yang mengambil hasil lahan ini selama ini?”

“Sejauh ini karena ini masuk kebun inti. PTPN Pak.”

Suryanti adalah pemilik kedua lahan itu. Tahun 1994, dia membeli tanah itu dari seorang transmigran asal Lombok bernama Nasir Saja. Luas 7.500 meter persegi. Setahun setelah lahan itu berpindah tangan, perusahaan memasuki tanah ini. Perjanjian sederhana, akan jadi kebun plasma. Bagi hasil. Beberapa orang merelakan tanah mereka karena tak bisa berbuat apa-apa.

 

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malili, Khairul, membuka sidang lapangan di aula kantor desa Mantadulu, disaksikan warga. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Ketika Suryanti memiliki lahan itu, tanah masih kebun, beberapa tanaman seperti pisang jadi penanda. Tahun 1998, tanah itu secara sepihak jadi milik PTPN XIV Mantadulu. “Sejak itu, sesekali saya hanya melihat. Tak pernah ada hasil,” katanya.

Baca juga: Kala Warga Mantadulu Berjuang Rebut Lahan dari Perusahaan Sawit Negara

Tahun 2003, bersama warga lain, mereka mempertanyakan status tanah itu. Lahan sudah ditumbuhi sawit rimbun. Tak ada lagi istilah plasma, melainkan tanah itu jadi kebun inti.

Demonstrasi mereka lakukan, dari di desa, menutup akses jalan perusahaan, sampai ke dewan kabupaten. Hasilnya, pasukan Brimob turun tangan berdalih pengamanan.

Kini, Suryanti bermukim di Luwu Utara, sekitar 100 km dari Mantadulu. “Saya beli lahan itu karena saya mau ada kenangan di tempat inilah. Bapak saya dulu juga bagian dari transmigrasi ini,” katanya.

Di titik lain, Muhammad Nuh, juga membuka surat keterangan tanah (SKT). Majelis hakim bertanya seputaran penguasaan batas-batas lahan. Semua dijawab dengan baik. “Oke, tidak mungkin kita mengelilingi semua kebun ini. Ini akan jadi titik sampel saja. Saya kira sudah cukup,” kata Ari.

“Coba bayangkan mereka mengklaim ini miliknya. Bagaimana bisa. Tapi kita akan lihat kelak,” kata Andi Evan, manager kebun PTPN XIV Unit Malili yang membawahi kebun Mantadulu.

Pukul 15.00,  selama empat jam, sidang lapangan itu digelar. Beberapa karyawan PTPN XIV Mantadulu ikut jadi saksi.

 

Tandan Buah Segar Kelapa Sawit milik warga di tepi jalan desa Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana muasal ini terjadi? Amir Kapeng, kuasa hukum warga dalam gugatan class action mengatakan, ini semacam akal-akalan perusahaan mengambil paksa lahan warga secara terstruktur.

“Ini wilayah yang tak memiliki HGU (hak guna usaha-red). Ini tukar guling dari lahan PTPN di Karetan. Lalu berpindah. Artinya, obyek HGU ada di sana (Karetan), masa’ serta merta berpindah juga. Ini kan lucu,” katanya.

Amir menunjukkan semua bukti-bukti persuratan. Tak ada satu pun mencantumkan perusahaan memiliki HGU. Andi Evan,  yang saya temui beberapa waktu lalu, hanya mampu berkilah.

Bagi Evan, segala kesalahan jangan ditujukan ke PTPN karena yang memberi izin kebun juga pemerintah daerah (Luwu Utara dan Luwu Timur).

 

 

Pola kemitraan tak sehat

Peraturan Menteri Pertanian No 26 tahun 2007 dan diperbaharui pada Peraturan Menteri Pertanian 98 tahun 2013, menekankan jika pada Februari 2007, perkebunan sawit, perusahaan inti wajib membangun kebun masyarakat seluas 20% dari luasan lahan atau membangun kebun dari lahan masyarakat.

Kebun sawit di Mantadulu luas 9.000 hektar diciutkan jadi 2.400. Luas lahan tergarap 1.680 hektar, produksi mencapai 50-80 ton per hari. Dalam luasan kebun tergarap inilah, ada sekitar 500 hektar obyek sengketa.

Namun, hal itu berkebalikan ucapan  Doni P. Gandamihardja, Direktur PTPN XIV. Dia bilang, semua produksi sawit PTPN XIV di Sulawesi Selatan, merupakan tanaman tua. Sebanyak 60% bahan baku di pabrik Luwu Timur merupakan milik masyarakat.

Untuk itu, pada 2018, perusahaan menargetkan tanaman sawit baru 3.500 hektar. “Dari tanaman-tanaman sawit baru itulah kita berharap,” katanya.

Mari menelisik soal pola plasma. Jika aturan luas lahan 20% dari HGU, adalah plasma,  bagaimana pelaksanaan di lapangan?  Yang disebut plasma malah lahan milik perusahaan dikerjakan perusahaan dan hasil diberikan kepada warga melalui koperasi setelah pemotongan biaya produksi.

“Yang ada kita punya lahan. Diambil tahun 1994. Lalu dijanjikan diberikan bagi hasil, sampai sekarang tak pernah ada,” kata Muhammad Nuh, warga Mantadulu.

Di wilayah Wana-wana bagian dari  Desa Mantadulu, kebun Muhammad Nuh dan Suryanti,  hanya sekitar satu km dari pabrik pengolahan sawit.

Saat sidang lapangan berlangsung, bau menyengat. Cerobong mengeluarkan asap hitam. Mengepul dan tebal.

“Ketika sengketa gugatan hukum berlangsung. Kita mulai bebas melintas di depan pabrik. Dulu sebelum tahun 2013, itu dijaga aparat,” kata Muhammad Nuh.

Ketika mendekati area pabrik, gerbang tertulis PT Bumi Maju Sawit. Pabrik itu bukan milik PTPN XIV, melainkan pihak ketiga yang mengelola buah segar, baik dari kebun PTPN, hingga kebun-kebun warga.

“Pabrik PTPN itu ada di Kecamatan Burau. Itu pabrik tua, sekali operasi nda tahu berapa bulan macet,” kata salah seorang karyawan PTPN.

Selian iming-iming plasma, warga juga harus berutang ke bank. Skema menggunakan kredit koperasi primer untuk anggota (KKPA), bernama KUD Jujur Jaya. Koperasi meminjam uang di bank Muamalat Cabang Makassar (Nomor rekening 801.00057.11) untuk kebutuhan yang tak diketahui anggota. Pola koperasi inilah kemudian jadi polemik tersendiri.

Ketika warga berhasil mengambil lahan sawit tahun 2004 seluas 455 hektar, perusahaan kembali menekankan biaya angsuran kepada anggota. Besaran tak tentu dari setiap luasan lahan. Ada yang membayar ratusan hingga jutaan rupiah.

Di masyarakat, beredar rumor utang tanggungan di bank Rp30 miliar, sedang pinjaman awal mencapai Rp60 miliar.

 

Suryanti (46 tahun) memperlihatkan sertipikat tanah di patok koordinat dalam obyek sengketa kepemilikan antara warga dan PTPN XIV Unit Malili kebun Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Dana awal sebesar itu untuk apa? Tak ada anggota kelompok pun yang mengetahui. Sementara kepengurusan koperasi sudah bubar.

“Jadi alasannya, selama penanaman tahun 1998, semua bibit dan perawatan dari PTPN. Itulah yang akan dikembalikan dan menjadi angsuran anggota,” kata Lalu Wiredana, warga lain.

Saya berandai-andai, jika tuntutan kedua seluas 500 hektar, dikabulkan pengadilan, apakah utang itu tetap berlaku? “Saya kira akan demikian. Tapi kita lihat nanti,” kata Muhammad Nuh.

Di desa Tawakua, saya dan tim menemukan salinan surat mengenai berita acara kesepakatan pada 15 Januari 2007, yang diadakan di Kantor Bupati Luwu Timur.

Surat itu menjelaskan tiga poin utama. Pertama, bahwa lahan yang telah diverifikasi oleh tim dan berdasarkan ketentuan berlaku, terbukti benar hak masyarakat, maka Pemda Luwu Timur bersama PTPN XIV PKS Malili di Mantadulu akan memproses pelepasan sesuai ketentuan berlaku.

Kedua, PTPN XIV PKS Malili di Mantadulu akan mengembalikan semua hasil panen atau sejak panen awal kepada pemilik apabila terbukti, areal inti adalah milik masyarakat sesuai ketentuan berlaku.

Ketiga, proses pegangan verifikasi areal inti PTPN baik yang diklaim bersertipikat, SKT maupun tanah garapan masyarakat akan terus berjalan yang dilakukan tim terpadu.

Pada berita acara itu, ditandantangani Syakhrun, Manager PKS Malili, Muh, Siddiq, Ketua Kimisi I DPRD, Anwar Hafid, Asisten I–sekarang Bupati Morowali. Lalu, Bandang Priyaka, BPN Luwu Utara, Masdin Camat Angkona, dan perwakilan masyarakat yakni Lalu Wiradana, Yamsi dan Muh. Nuh.

“Surat ini (berita acara kesepakatan) membuktikan, jika pemda dan perusahaan mengakui kepemilikan itu,” kata Nasrum, kuasa hukum warga.

Dalam class action gugatan hukum ini, warga didampingi dua kuasa hukum. Nasrum dan Amir Kapeng. “Kita berharap sengketa hukum ini segera berakhir. Warga sudah menderita sejak 1994, itu sudah 24 tahun. Apa yang mereka harap dari menggarap lahan dan itu berada di dekat rumah tetapi dimiliki perusahaan,” kata Nasrum.

 

Foto utama: Warga, bersama majelis hakim dan perwakilan PTPN XIV, mengunjungi koordinat obyek sengketa lahan dalam kebun inti sawit, di wilayah Wana-wana Desa Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Pabrik Kelapa Sawit PT.Bumi Maju Sawit sedang beroperasi di wilayah Wana-wana, Desa Mantadulu. Foto: ko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version