Mongabay.co.id

Jangan Lagi Sebut Ganja di Desa Agusen

Agusen tidak hanya terkenal di Gayo Lues, Aceh, tapi juga di Sumatera Utara. Bahkan mancanegara. Ganja yang tumbuh subur di desa ini, didaulat sebagai yang terbaik di dunia. Nomor wahid. Alhasil, tiap kali nama Agusen disebut, tiap itu pula nama daun surga muncul.

Nama Agusen pun sempat menjadi trending topik di 2014. Saat itu, Badan Narkotika Nasional menghanguskan 30 hektar ladang ganja. Lokasinya memang jauh, sehari jalan kaki ke hutan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Meski tidak diketahui siapa pemilik tanaman terlarang itu, namun dipastikan posisi kebunnya masuk wilayah Agusen. Desa terakhir di Kecamatan Blangkejeren ini memang berbatasan langsung dengan taman nasional dan hutan lindung.

“Itu sejarah kelam kami yang sulit ditampik. Tapi sekarang, berbeda,” tutur Ramadhan, Kepala Desa Agusen, kepada Mongabay Indonesia di kantornya, baru-baru ini.

Berdasarkan sejarahnya, Agusen awalnya dusun yang berinduk ke Kampung Geleh. Dusun yang dikhususkan untuk orang-orang berpenyakit kusta, semasa penjajahan Belanda. Dikarenakan didirikan bulan Agustus, maka nama yang disematkan adalah Agusen. Resmi menjadi desa pada 2004.

Baca: Foto: Gayo Lues, Kabupaten Seribu Bukit yang Dikelilingi Hutan Leuser

 

Alam yang indah di pagi hari terpancar di Desa Agusen, Kecamatan Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sejatinya, ganja sudah ada di Agusen sebelum tanaman ini dilarang tumbuh di Indonesia. Sekitar tahun 1940-an hingga 1980-an, ganja ditanam sebagai selingan tembakau. Fungsinya, pengusir hama agar kualitas tembakau terjaga. Perbandingan tanamnya, dalam hamparan seribu batang pohon tembakau akan ada dua ratus batang ganja.

“Tiada maksud lain, hanya sebagai pohon perantara saja,” ujar Ramadhan.

Tidak bisa diingkari, wilayah Agusen memang sangat cocok untuk tumbuh kembangnya ganja dengan kualitas tanpa tanding. Hingga kini, setiap kali ada penangkapan ganja di Aceh atau Sumatera Utara, nama Agusen akan selalu disandingkan.

Padahal, sejak pemusnahan 2014 itu, masyarakat Agusen sudah enggan bersentuhan dengan ganja. Mereka kini fokus pada tanaman kopi, bawang merah, serai wangi, cabai, dan tentunya padi.

“Harus saya jelaskan, sebelumnya masyarakat menanam ganja dikarenakan sulitnya memasarkan hasil padi. Tujuh tahun ke belakang, desa ini susah dijangkau, tiada jalan aspal beserta sarana lainnya. Masyarakat harus memikul sendiri hasil penennya. Wilayah ini berbukit terjal, tiada orang luar yang sudi datang,” lanjut lelaki yang menjabat kepala desa sejak 2015.

Baca: Bupati Gayo Lues: Jaga Leuser Tak Mungkin Tanpa Libatkan Masyarakat

 

Menyeberangi sungai menggunakan jembatan kawat adalah hal biasa yang dilakukan masyarakat Agusen. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kabar baik, akhirnya menghampiri Agusen. Pemerintah Kabupaten Gayo Lues pada April 2016 menjadikannya sebagai desa wisata. Bentang alam yang indah berpadu dengan Sungai Agusen nan istimewa, alasan penetapannya, selain memutus mata rantai transaksi ganja.

Air sungai yang jernih, alami, dan dingin, mengalir langsung dari kaki Gunung Leuser, sebagai hulu DAS Sungai Alas-Singkil, tidak hanya harus dijaga tapi juga dimaksimalkan potensinya. Fasilitas umum seperti gazebo, pondok wisata, dan musholla pun didirikan, seiring pembangunan jembatan. Sebanyak 800-an masyarakat Agusen mulai berbenah, menyambut gembira program yang dicanangkan itu.

“Masyarakat Gayo Lues dan Aceh Tenggara datang ke sini setiap akhir pekan. Bupati Gayo Lues bahkan sudah basah-basahan di Sungai Agusen, menghanyutkan diri memakai ban atau tubing,” jelas Mashuri Ardiansyah, Sekretaris Forum Masyarakat Uten Leuser (FMUL), forum berbagai pihak yang dibentuk untuk menjaga hutan Gayo Lues.

Mashuri mengatakan, Agusen ini diapit hutan lindung dibawah KPH V dan TNGL.   Desa ini pernah menjadi pusat riset FMUL, hanya belum tergali penuh potensi maupun keunikannya untuk lingkungan. “Perlahan, akan kita eksplorasi lagi dengan menggandeng Agusen.”

Baca: Perubahan Cuaca yang Berpengaruh pada Produktivitas Kopi Gayo

 

Agusen yang memiliki bentang alam nan indah. Desa ini berbatasan langsung dengan taman nasional dan hutan lindung. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Bupati Gayo Lues Muhammad Amru, ditemui terpisah menyatakan, Agusen selain ditetapkan sebagai desa wisata juga dijadikan kampung Inggris. Artinya, secara bertahap masyarakat akan diajarkan Bahasa Inggris, sehingga bila kedepannya dikunjungi turis asing ada yang memandu. Mengingat, Agusen merupakan destinasi andalan di Gayo Lues.

Hal lain, pembangunan sarana wisata sudah dilakukan, meski masih sederhana. “Harapannya, dengan penetapan ini masyarakat akan menjaga Leuser. Bila ekonomi mereka meningkat, kesadaran untuk menjaga hutan dan lingkungan meningkat juga.”

 

Kopi arabika terus dikembangkan di Agusen. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Desa ini akan ditanami kopi nantinya. Sedangkan, kawasan yang sudah dirambah, baik di hutan lindung maupun taman nasional, akan diusulkan juga ditanami kopi oleh masyarakat.

“Kopi sangat bersahabat dengan lingkungan, akan sangat bermanfaat ditanam di hutan yang telah dirambah, ketimbang hutan dibiarkan gundul. Desa ini juga tengah mengajukan perhutanan sosial,” jelasnya.

Baca juga: Foto: Agusen, Desa Wisata Nan Indah di Kaki Leuser

 

Masyarakat Agusen bergotong-royong menanam padi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Usulan

Koordinator Lapangan Yayasan Java Learning Center (Javlec) Indonesia, Rizqi Murti Fathani mengatakan, pihaknya tengah membantu Gayo Lues dalam hal pengelolaan hutan kolaboratif berbasis potensi lokal.

“Desa yang kami dampingi adalah Agusen. Daerah ini memiliki daya tarik tersendiri untuk ekowisata. Keseharian, masyarakatnya juga tetap menjaga budaya dan kearifan lokal. Hal penting yang dilakukan sekarang adalah mempersiapkan masyarakat agar mengerti konsep wisata yang baik,” sebut lelaki yang akrab disapa Boim.

 

Masyarakat Agusen mulai melupakan ganja, kini mereka fokus menanan kopi, bawang merah, cabai, dan juga padi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Terkait usulan hutan desa di Agusen ke KLHK, Boim mengatakan, luasannya sekitar 1.269 hektar yang berada di kawasan hutan lindung. Namun, dalam perkembangannya, berdasarkan kewenangan Pemerintah Aceh melalui Dinas Kehutanan Provinsi, usulan itu diarahkan pada skema kerja sama. Bukan perhutanan sosial.

“Fokus kerja sama ini, akan diarahkan terlebih dahulu merehabilitasi kawasan seluas 300 hektar. Caranya, melalui penanaman dan pengusahaan komoditas unggulan,” jelasnya.

 

Potret kehidupan masyarakat Agusen yang sederhana. Mereka terus mempersiapkan diri sebagai desa wisata di Gayo Lues, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Di Penghujung Februari 2018, penanaman perdana kopi arabika telah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Kabupaten Gayo, di Agusen seluas 10 hektar.

Penanaman ini merupakan program Grand Design Alternative Development (GDAD) yang dicanangkan BNN dengan bersinergi sejumlah kementerian. Tujuannya, mengembangkan ekonomi sosial budaya masyarakat, menjaga hutan dan lingkungan, hingga membangun agrowisata.

Kami, masyarakat Agusen, siap menjadi desa wisata. Kelompok wisata yang nantinya diisi pemuda Agusen beserta unit usaha desa akan kami rancang sesuai kebutuhan. “Semua itu akan diatur dalam peraturan desa yang terus kami musyawarahkan,” tandas Ramadhan.

 

 

Exit mobile version