Mongabay.co.id

Setelah Kepiting Dilepasliarkan di Segara Anakan, Amankah dari Tangkapan?

Sejumlah kapal motor menderu meninggalkan salah satu dermaga di sekitar Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) pada pekan pertama Mei lalu. Mereka membawa kepiting hasil sitaan Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Hasil perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dari berbagai daerah seperti Tarakan, Balikpapan, Banjarmasin di Kalimantan serta Mamuju dan Makasar di Sulawesi.

Dengan membawa setidaknya 10 boks untuk mengangkut 982 kepiting bakau (Scylla sp), mereka berangkat menyusuri Segara Anakan dan masuk ke jalur perairan yang sempit di sekitar hutan mangrove. Di situlah, kemudian kepiting bakau sitaan itu dilepasliarkan.

Segara Anakan dipilih sebagai tempat pelepasliaran karena merupakan habitat yang cocok. Sebuah kawasan estuari dan lahan basah. Ekosistem semacam itu cocok untuk habitat berbagai jenis ikan, kerang, udang, burung dan satwa liar lainnya, termasuk kepiting bakau yang dilepasliarkan tersebut.

 

Kawasan Segara Anakan, di Cilacap, Jateng, yang kanan kirinya ditumbuhi mangrove sebagai habitat kepiting bakau. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Saat melakukan pelepasliaran, Kepala BKIPM KKP Rina mengatakan bahwa kepiting tersebut merupakan hasil penyitaan oleh petugas Karantina Ikan. Saat melakukan pengawasan terhadap lalu lintas komoditas perikanan, ternyata tidak sesuai dengamn ketentuan yang berlaku. “Oleh karena itu, petugas dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) BKIPM melakukan tindakan di sejumlah wilayah. Di antaranya dari Tarakan, Balikpapan, Banjarmasin, Mamuju dan Makasar,” jelas Rina.

Ia mengatakan penyitaan dilaksanakan karena ukuran kepiting yang tidak sesuai dengan ketentuan sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No.56/Permen-KP/2016 mengenai Larang Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus sp), Kepiting (Scylla sp) dan Rajungan (Portunus sp) dari wilayah Indonesia.

“Kepiting yang disita oleh petugas BKIPM di pintu-pintu pengeluaran karantina tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebab, kepiting yang diperdagangkan tersebut ada yang kondisi bertelur dan ukuran berat di bawah ketentuan. Yakni di bawah ukuran panjang karapas di atas 8 cm atau berat 200 gram per ekor,” katanya.

Dijelaskan oleh Rina, pihaknya berharap dengan adanya pelepasliaran tersebut bakal menambah jumlah populasi kepiting di Segara Anakan, Cilacap. “Semoga dengan adanya re-stocking ini, populasi kepiting bakau di perairan Segara Anakan semakin bertambah populasinya. Apalagi habitat Segara Anakan cocok untuk perkembangbiakan kepiting,” tambahnya.

 

Kepiting bakau hasil sitaan yang dilepasliarkan oleh BKIPM di kawasan mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Pertanyaan selanjutnya, apakah kepiting-kepiting yang dilepasliarkan itu akan aman dari tangkapan para nelayan? Kepala Dinas Perikanan Cilacap Sujito mengakui kalau pihaknya sembunyi-sembunyi saat melakukan pelepasliaran.

“Terus terang saat melakukan pelepasliaran, kami sembunyi-sembunyi. Selain itu, kami juga mengikuti alur Segara Anakan yang lebih ke dalam. Sehingga diharapkan kepiting-kepiting tersebut tidak ditangkap kembali. Berangkat saja, tidak dikasih tahu dari mana. Pokoknya tidak diketahui orang,” katanya.

Ternyata setelah sekitar dua pekan pelepasliaran, tidak ada laporan mengenai adanya penangkapan kepiting tersebut. “Memang, kalau dilihat saat pelepasliaran, tempatnya berada pada lingkungan hutan mangrove yang cukup bagus. Sehingga diharapkan kepiting tersebut aman di antara akar-akar pohon bakau. Dan setelah kami pantau, ternyata memang cukup aman,” jelas Sujito.

Apalagi, lokasi yang digunakan untuk tempat pelepasliaran adalah hutan mangrove yang masih bagus. Sehingga, kata Sujito, ia optimis kepiting-kepiting tersebut akan mampu berkembang baik dan bisa besar di lokast tersebut. “Mudah-mudahan saja kepiting tersebut cocok dengan habitatnya di mangrove Cilacap dan dapat menjadi besar. Sejalan dengan tujuan dari BKIPM yakni meningkatkan populasi kepiting di mangrove Cilacap,”ujarnya.

 

Petugas dari BKIPM KKP melepasliarkan kepiting hasil sitaan KKP untuk meningkatkan populasi kepiting bakau di kawasan mangrove Segara Anakan Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ia mengakui dari sekitar 6 ribu hektare mangrove Cilacap, masih ada sekitar 5 ribu ha hutan bakau dengan kondisi bagus. Sisanya memang mengalami kerusakan. Umumnya bukan karena pembalakan liar, tetapi akibat sedimentasi dari sejumlah sungai, salah satunya adalah Sungai Citanduy yang bermuara di Segara Anakan. “Setiap tahunnya ada sekitar 1 juta meter kubik lumpur yang masuk ke laguna Segara Anakan. Inilah yang membuat hutan mangrove juga terancam,”ungkapnya.

Di sisi lain, kata Sujito, pihaknya juga terus memberikan sosialisasi kepada para nelayan di Cilacap mengenai Permen KP No.56/Permen-KP/2016. “Telah berkali-kali kami pemkab, kadang juga dari pihak Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap (PPSC) memberikan sosialisasi kepada para nelayan. Kami menerangkan kenapa kepiting yang bertelur tidak boleh ditangkap atau mengapa ukurannya harus diatur. Sehingga dengan adanya sosialisasi tersebut, nelayan akan lebih memahami. Jadi, kalau ada aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sebetulnya bertujuan baik adanya,” tegas Sujito.

Secara terpisah, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cilacap Sarjono menegaskan kalau nelayan Cilacap tidak akan menangkapi kepiting-kepiting yang dilepasliarkan. Kalau memang ada yang menangkap, maka dipastikan tidak akan dijual, tetapi dibudidayakan.

“Di wilayah Cilacap, nelayan kepiting rata-rata bukanlah nelayan tangkap, melainkan nelayan budidaya. Ya memang ada yang menangkap kepiting, tetapi biasanya ukurannya yang besar. Umumnya, kepiting dibudidayakan oleh para nelayan. Misalnya di Kecamatan Kampung Laut dan Kelurahan Kutawaru, Cilacap Tengah. Di sana, para nelayan menbudidayakan kepiting. Bahkan di Kutawaru, malah budidaya kepiting jenis soka yang cangkangnya lunak,” ungkap Sarjono.

Ia mengatakan kalau ada pelepasliaran di hutan mangrove Cilacap sangatlah tepat. Sebab, lokasi mangrove di Cilacap cukup bagus untuk berkembangbiaknya kepiting bakau. “Sejak dulu sampai sekarang, mangrove Cilacap masih cukup bagus sebagai habitat kepiting bakau. Ya, setidaknya bagi nelayan yang bukan sebagai pembudidaya, mereka akan bisa memperoleh tangkapan kepiting. Tantu saja, kami berharap juga kepada nelayan agar menangkap yang ukurannya sudah besar, sesuai dengan ketentuan,” ujarnya.

 

Exit mobile version