Mongabay.co.id

Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk Selamatkan Sumber Daya Alam Papua

Sejalan dengan komitmen Presiden RI kepada dunia Internasional tentang penurunan emisi, pemerintah Provinsi Papua berkomitmen mengalokasikan 60 persen kawasan lindung dan 90 persen kawasan hutan dari luas wilayah Provinsi Papua ke dalam Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi Papua) Nomor 23 tentang RTRW Provinsi Papua 2013-2033.

Untuk maksud itu, Pemprov Papua telah mengakomodir lahan gambut dengan luas sekitar 8 juta hektar ke dalam 60 persen kawasan lindung dan menjadikannya sebagai Kawasan Strategis Provinsi (KSP) melalui pengembangan wilayah rendah karbon.

“Ini tentu sangat menguntungkan dari sisi pembangunan berkelanjutan, namun juga menghadirkan tantangan baru. Kita perlu konsisten untuk menjaga keberlangsungan hutan kita,” ungkap Muhammad Musaad, Kepala Bappeda Papua beberapa waktu lalu saat membuka pelatihan penyusunan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis), kerjasama antara Bappeda Papua dengan WWF Indonesia.

Pelaksanaan KLHS adalah amanat UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP 46/2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS serta Permen LHK No. 69/2017 tentang KLHS. Dalam regulasi, KLHS wajib dilaksanakan untuk RTRW dan rencana rincinya, baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.

“Tujuan  utama  KLHS   bukan  pada  dokumen yang dibuat tapi memasukkannya ke dalam kebijakan, rencana dan program-program yang dibuat. Ini diharapkan jadi perubahan paradigma berpikir dikalangan perencana pembangunan,” ujar Musaad.

 

Hutan Papua. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Nomor 6/2017 tentang Peninjauan Kembali (PK) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), maka pada 2018 Perda RTRW Provinsi Papua akan dilakukan PK, yang jika mengacu pada aturan dapat dilakukan paling sedikit satu kali dalam lima tahun.

Menurut Musaad ini merupakan momentum untuk melakukan KLHS dalam kebijakan saat ini. Sehingga KLHS dapat masuk dalam kebijakan (policy), rencana (plan), dan program-program pembangunan.

“KLHS merupakan instrumen mandatory, yang artinya sebuah keharusan yang harus dipahami oleh para pengambil kebijakan. Dengan demikian KLHS RTRW Papua akan menjadi dasar untuk menentukan arahan ke depan,” kata Robert Mandosir, pegiat lingkungan Papua yang hadir dalam acara.

Meski demikian, masih ada kendala yang harus diperbaiki agar kajian KLHS dapat mendukung optimal penyusunan kebijakan di Papua.

Untuk beberapa kasus pemekaran kabupaten di Papua datanya belum sinkron. Beberapa data penting seperti tapal batas antar Kabupaten/Kota, luas wilayah, jumlah penduduk, data jumlah kampung dan sebagainya masih suka berbeda diantara instansi.

“Hal ini menjadi perhatian dari kelompok kerja (pokja) dalam menyusun dokumen KLHS RTRW ke depannya,” ungkap Wika Avelina Rumbiak, Regional Spatial Planner Coordinator, WWF Indonesia untuk Papua Program. Dia pun berharap agar Bappeda Provinsi Papua bekerjasama dan saling percaya dalam penyusunan dokumen KLHS dengan para pihak.

Wika menyebut sekitar empat puluh tiga orang yang tergabung dalam Pokja akan mendapat pembekalan guna berkontribusi terhadap rencana tata ruang dan rencana pembanguan berkelanjutan di tanah Papua.

 

Hutan adalah sumberdaya alam penting untuk Papua dan masyarakatnya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Deforestasi di Papua

Berdasarkan KLHS Raperdasi RTRW Provinsi Papua 2010-2030, data perubahan tutupan hutan di Provinsi Papua antara tahun 2000-2009 yang berdasarkan sumber dari BPKH, deforestasi mencapai sekitar 986,530 hektar, dan degradasi hutan mencapai sekitar 1.442.281 Hektar.

Hal ini berarti bahwa laju deforestasi di Propinsi Papua antara tahun 2000 hingga 2009 mencapai sekitar 109,627 hektar per tahun, dan laju degradasi hutan mencapai sekitar 160,254 hektar per tahun.

Untuk sebaran deforestasi di Provinsi Papua, hasil analisis menunjukkan bahwa kabupaten yang berkontribusi paling besar terhadap deforestasi di Provinsi Papua adalah Kabupaten Merauke dengan persentase deforestasi sebesar 37,62 persen, diikuti oleh kabupaten Mappi sebesar 12,24 persen, Boven Digoel sebesar 7,95 persen, Asmat sebesar 5,36 persen dan Pegunungan Bintang sebesar 5,30 persen.

Sedangkan Kabupaten Waropen dan Supiori merupakan kabupaten yang berkontribusi terkecil terhadap deforestasi di Papua pada periode 2000-2009 yaitu masing-masing sebesar 0,02 persen dan 0,03 persen.

Untuk sebaran degradasi hutan terbesar berada pada kabupaten Boven Digoel dengan persentase mencapai 23,38 persen, diikuti oleh Kabupaten Merauke dengan persentase mencapai 11,73 persen, Kabupaten Asmat sebesar 9,30 persen, Kabupaten Mamberamo Raya sebesar 8,83 persen, Kabupaten Nabire sebesar 8,54 persen dan Kabupaten Jayapura sebesar 8,15 persen.

Lebih lanjut pada periode 2000-2009 tersebut, persentase sebaran deforestasi terhadap luas total fungsi kawasan hutan, maka deforestasi dengan persentasi terbesar terdapat pada kawasan hutan produksi sebesar 31,31 persen, diikuti dengan kawasan hutan produksi konversi sebesar 24,37 persen.

 

Exit mobile version