Mongabay.co.id

Kementerian Lingkungan Permasalahkan Penanganan Limbah B3 Freeport di Mimika

"Daratan' yang terlihat itu merupakan endapan tailing PT Freeport. Foto: Yoga Pribadi

 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan surat keputusan soal penanganan limbah bahan beracun berbahaya (B3) PT Freeport Indonesia (Freeport) pada 9 April 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memberikan tenggat waktu enam bulan kepada Freeport untuk menangani masalah limbah sesuai analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Pada 17 Mei 2018, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertemu Richard Akerson, CEO PT Freeport Indonesia (Freeport) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. Mereka membahas penyelesaian dampak lingkungan limbah operasional Freeport ini.

Sepekan setelah itu, 22 Mei 2018, Siti memberikan paparan soal penanganan permasalahan lingkungan Freeport kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta.

Dalam Surat Keputusan Menteri LHK bernomor 175/2018 soal pengelolaan tailing PT Freeport Indonesia di daerah penimbunan Ajkwa atau Modified Ajkawa Deposition Area (ModADA) di Mimika, Papua ini intinya berisi agar perusahaan ini menurunkan total zat padat dalam limbah tambang dari 9.000 miligram per liter menjadi 200 mg perliter.

”Kami berikan masa transisi, kami memang memberi waktu enam bulan. Hanya memang dia minta tolong bagaimana cara supaya ini bisa beroperasi, tapi bagaimana cara dia mengoperasikan untuk menurunkan total suspended solid harus ada prakondisi yang disiapkan bersama antara pemerintah dan Freeport,” katanya.

KLHK sudah buatkan persyaratan limbah tailing Freeport dalam SK 431/2008 soal persyaratan pengelolaan tailing Freeport di sana. Kala itu, Freeport kandungan limbah TSS 9.000 mg perliter.

Pencabutan SK ini dan berganti dengan yang baru karena regulasi itu tak sesuai situasi saat ini. Akibatnya, 4.000 hektar hutan mangrove terdampak lokasi pengendapan tailing.

KLHK pun mencabut SK 431/2008 dengan menerbitkan SK baru bernomor 172 Tahun 2018  tentang langkah-langkah penyelesaian permasalahan lingkungan PT Freeport Indonesia tertanggal 5 April 2018.

Pada Maret lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis potensi kerugian negara karena pembuangan limbah Freeport sekitar Rp185,018 triliun.

Ada dua temuan pelanggaran, yakni penyalanggunaan izin penggunaan kawasan hutan lindung dan perubahan ekosistem akibat limbah operasional tambang.

Siti menyebutkan, regulasi ini mendapat respon negatif dari CEO Freeport. Dia menganggap regulasi berbau politis.

“Kami telah bertemu petinggi Freeport dan menjelaskan apa saja kewajiban mereka. Memang di awal banyak komplain dan menyatakan ini sangat politis, tetapi mereka harus paham jika ini murni terkait teknis lingkungan bukan soal politis,” katanya.

Untuk implementasi aturan ini, KLHK sedang menyiapkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk Freeport yang berisi rencana dan program yang dapat dilaksanakan atau terpengaruh atau yang berpengaruh dalam penyelesaian tailing dan kerusakan sungai serta wilayah estuari.

”Saya berharap KLHS selesai dua bulan. Ya sekarang sudah dua minggu jalan, dari pemerintah sendiri harus melihat kebijakan apa yang diperlukan di situ,” katanya.

Menurut dia, antara pemerintah dan Freeport harus bersinergi dalam penyelesaian masalah ini. Freeport, katanya, tak bisa melakukan sendiri dan harus bekerja sama dengan pemerintah.

Freeport harus berkonsultasi dengan Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun (PSLB3) untuk menjelaskan teknologi yang bisa digunakan dalam menangani tailing. Salah satu opsi, kata Siti, pemanfaatan tailing sebagai bahan pembangunan jalan.

KLHK pun membentuk Tim Pengendali Penyelesaian Masalah Freeport yang dipimpin Inspektur Jenderal KLHK, bersama dengan direktorat jenderal terkait. Secara regular, pertemuan berlangsung dua minggu sekali.  Ia jadi tempat konsultasi antara KLHK dan Freeport.

Dalam implementasi penurunan total suspended solid dari 9.000 jadi 200 mg perliter, Freeport harus membuat rencana operasional upaya penurunan dan perkiraan waktu pencapaian.

”Kami minta rencana operasional selesai dalam sebulan.”

Riza Pratama, Juru Bicara Freeport mengatakan, SK Menteri LHK Nomor 175 tak memungkinkan terimplementasi saat ini. ”Kami masih membahas dan mencari jalan keluar dengan KLHK,” katanya melalui pesan singkat kepada Mongabay.

Freeport, katanya,  rutin melaporkan pengelolaan tailing kepada pemerintah berdasarkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Berdasarkan laporan KLHK kepada Presiden, amdal penanganan tailing Freeport adalah jumlah tailing maksimal boleh dihasilkan 291.000 ton per hari. Sedang hasil rata-rata 240.000 ton per hari.

Luas pengelolaan tailing 230 kilometer persegi berada di daerah pengendapan Ajkwa yang dimodifikasi atau dikenal dengan ModADA (Modified Ajkwa Deposition Area).

Dari dokumen itu, diperkirakan, 50% tailing keluar ke estuaria. Dengan begitu, berdasarkan rencana kelola lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL/RPL) amdal 300K, Freeport wajib menaati baku mutu lingkungan parameter kualitas air estuaria.

Kondisi itu bukan berarti ‘pembolehkan’ 50% tailing masuk ke estuaria. Melainkan, Freeport harus mencegah 50%  partikel halus tailing agar tak masuk ke dalam estuaria.

 

Keterangan foto utama: “Daratan’ yang terlihat itu merupakan endapan tailing PT Freeport. Foto: Yoga Pribadi

ModADA, kolam endapan tailing Freeport yang saat ini sudah lebih tinggi dari Kota Mimika. Foto: Yoga Pribadi

 

 

Exit mobile version