Mongabay.co.id

Yandri Tak Pernah Ragu, Mengajak Pemuda Desa Perigi Bertani

Ketika Yandri Wijaya dilahirkan, 26 tahun lalu, hutan di dusunya sudah habis. Hutan yang sebagian besar berada di lahan gambut musnah digunduli perusahaan HPH, juga oleh warga yang kayunya dibeli perusahaan.

“Hutan rimba yang didiami harimau dan beragam binatang buas tinggal cerita,” kata Yandri, saat berbincang dengan Mongabay, di Desa Perigi Talangnangka, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (23/5/2018) lalu.

Saat masih kecil, dia sering diajak orangtuanya ke lahan gambut, yang dalam bahasa lokal disebut rawang atau lebak. Hampir semua warga di dusunnya pergi ke rawang itu, mencari ikan. “Saya senang sekali, bermain sambil mencari ikan,” kenangnya.

Rawang atau lebak di Desa Perigi Talangnangka terbagi dua wilayah, di selatan dan utara. Permukiman warga sendiri berada di jalan darat yang dibangun kolonial Jepang, diapit kedua rawang tersebut. Pada bagian selatan, rawang itu masuk lahan adat Desa Perigi Talangnangka, sementara sisi utara merupakan lahan adat milik beberapa desa.

Saat berusia 17 tahun, Yandri dan sejumlah kawan seusianya tengah hidup senang. Hampir semua kebutuhan terpenuhi, bahkan lebih dari cukup. Kenapa? “Saat itu harga karet tinggi, hingga Rp20 ribu per kilogram. Hampir semua pemuda kampung memiliki sepeda motor, dan saya sudah membayangkan akan kuliah setamat SMA,” katanya.

Namun, kebahagian tersebut berubah bencana, ketika lahan rawang desa mau diambil atau diserobot perusahaan sawit. “Banyak warga yang ditangkap, dan bahkan meninggal dunia,” katanya.

Baca: Masyarakat Rawang yang Perlahan Kehilangan Tempat Hidupnya

 

Getah karet pernah menjayakan warga Desa Perigi Talangnangka, Kabupaten OKI, pada tahun 1990-an. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dia pun bersama para pemuda desa lain melakukan perjuangan, mempertahankan tanah desa. Mereka melakukan aksi ke Palembang. Di sebelah selatan perjuangan tidak mulus, sebab ada warga yang menjual lahan ke perusahaan. Sementara di utara berhasil dimenangkan.

Fokus berjuang, Yandri mengurungkan niatnya untuk kuliah. “Uang keluarga kami habis untuk membiayai perjuangan tersebut. Hampir semua warga berkorban tenaga dan biaya,” katanya.

“Saya justru mendapatkan banyak ilmu setelah mengikuti sejumlah pelatihan yang digelar NGO, baik terkait advokasi, pendampingan, hingga ilmu pertanian,” ujarnya.

Perjuangan kami ternyata belum berakhir, sebab lahan yang sudah dikembalikan itu bingung mau diapakan. Pemerintah melarang bahkan menangkap warga yang bertani dengan cara membakar, sementara kami hanya paham itu saja. Kami tidak menguasai teknologi pertanian dari pemerintah,” kata anak ketiga dari empat bersaudara ini.

Namun begitu, perjuangan sesungguhnya adalah bagaimana warga harus menyelamatkan hidupnya, sebab pendapatan dari getah karet terus menurun. Hingga saat ini tidak beranjak dari harga Rp5-7 ribu per kilogram.

“Hidup kami benar-benar susah. Mencari sumber makanan apalagi pendapatan di rawang sudah sulit. Ikan sudah tidak banyak lagi, begitu juga kayu atau hasil hutan lainnya,” kata Yandri.

Baca juga: Anyaman Purun Itu Seni Rupa Masyarakat Gambut, Bukan Industri Kerajinan

 

Ikan merupakan sumber pendapatan masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menggalang pemuda

Yandri merupakan sosok yang mampu menggalang para pemuda Desa Perigi Talangnangka untuk bergabung, mempertahankan tanah dan lahan desa. “Awalnya, saya mengajak mereka, baik yang sekolah maupun tidak, untuk bersama menyelamatkan tanah atau lahan peninggalan leluhur yang mau dirampas perusahaan,” katanya.

“Selanjutnya saya mengajak mereka menjadi petani. Ternyata, banyak yang tertarik dan mereka pun mau mengelola kebun keluarga,” katanya.

Pada kelompok tani di desanya, Yandri mampu menggalang sekitar 25 pemuda untuk bergabung. “Semuanya masih lajang,” ujarnya.

Saat ini beragam kegiatan restorasi gambut dijalankan di Perigi Talangnangka. Ada Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumsel, Badan Restorasi Gambut (BRG), Universitas Sriwijaya, maupun sejumlah NGO seperti Hutan Kita Institute (HaKI) dan PETA, yang melibatkan para pemuda desa yang dirangkul Yandri. “Kami pun terlibat aktif dalam program cetak sawah oleh pemerintah,” lanjutnya.

 

Danau yang berada di lahan gambut. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Berakhirkah perjuangan? “Sama sekali belum. Ternyata, ribuan hektar lahan gambut yang kami selamatkan dari perampasan perusahaan kini ditetapkan sebagai bagian dari kawasan SM Padang Sugihan Sebokor. Kami akan berusaha meminta pemerintah untuk mengembalikan lahan tersebut sebagai lahan kelola masyarakat. Kedua, semua program restorasi gambut atau cetak sawah itu belum memberikan dampak utama dari kebutuhan masyarakat, yakni peningkatan ekonomi.

Misalnya program demplot di lahan gambut, kami hanya memiliki pemahaman bagaimana menjaga lahan gambut tidak rusak dengan menanam sejumlah tanaman hutan di lahan gambut. Manfaat jangka panjangnya lebih pada terawatnya lahan gambut, bukan ekonomi.

Sementara kerajinan atau seni anyaman purun lebih sebagai penopang pendapatan masyarakat. Tidak dapat dijadikan pendapatan utama, sebab dipahami sebagai industri kerajinan bukan karya seni yang lebih dihargai nilai produknya. Kegiatan penambakan ikan pun masih mencari peluang. Jika sukses mungkin dapat dikembangkan.

“Situasi ini yang menurut kami masih harus terus diperjuangkan,” jelasnya.

Baca: Indonesia Harus Bangga pada Petani Muda

 

Yandri Wijaya tak pernah lelah menjaga dan melestarikan lahan gambut desanya. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Tantangan

Sejak harga karet menurun dan lahan gambut tidak dapat diakses atau tidak menghasilkan lagi bagi warga desa, para pemuda seusia Yandri terpaksa merantau ke luar guna mendapatkan penghasilan. Misalnya, menjadi penambang timah liar di Bangka-Belitung atau menjadi penambak udang tradisional di wilayah pesisir Sumatera Selatan.

“Tidak sedikit yang terlibat narkoba. Ini semua karena keinginan untuk mendapatkan penghasilan besar tapi tidak mempunyai kemampuan atau tidak sekolah,” katanya.

Dengan target ekonomi yang besar itu, Yandri mengaku mengalami kesulitan menggalang atau mengajak lebih banyak pemuda menjadi petani. “Mereka masih tidak percaya jika menjadi petani itu lebih menjanjikan,” katanya.

Tantangannya, jelas Yandri, bagaimana ia bersama pemuda yang sevisi membuktikan jika menjadi petani itu sukses. Pilihan berjuang mempertahankan lahan gambut dan kebun itu juga menghasilkan, baik menjaga lingkungan atau sebagai pendapatan ekonomi berkelanjutan.

“Kami tengah mencoba menjalankan ekonomi berbasis lahan, seperti mengembangkan sayuran, tanaman buahan lokal, serta perikanan. Para pemuda di desa ini sudah ada yang mau menjadi petani, tinggal membuktikan saja pilihan ini benar,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version