Mongabay.co.id

Wong Rawang, Membaca Jejak Keberadaan Mereka di Lahan Gambut

Di setiap wilayah gambut di Sumatera Selatan dipastikan terdapat komunitas masyarakat yang menetap di lahan gambut yang disebut wong rawang (orang rawa). Meski kerap menolak disebut dengan julukan itu, eksistensi mereka dapat dijumpai di pemukiman tepian sungai seperti Sungai Ogan, Komering, Mesuji dan Musi.

Karena tinggal di rawa gambut, tak aneh jika mereka amat memahami seluk-beluk wilayah gambut. Mereka paham mana wilayah “keramat” atau angker, yang berarti wilayah yang dipenuhi hewan buas dan makhluk halus, sehingga mereka tidak pernah mengganggu atau mengaksesnya.

Meski saat ini sudah banyak jalan darat yang dibuka, sebagian komunitas ini masih tetap tinggal rumah panggung di atas lahan basah. Transportasi mereka adalah perahu. Mencari ikan dan burung-burungan rawa seperti puyuh dan kayu bakar adalah aktivitas harian mereka.

Komunitas rawang pun memanfaatkan lahan darat mineral. Di sana mereka menanam tanaman getah, seperti damar, gaharu, karet, jelutung. Juga tanaman sumber pangan seperti sagu, aren, kelapa, pinang, umbi-umbian, dan tanaman buah seperti duku, durian, manggis, pisang, rambutan, nangka, cempedak, dan beragam jenis mangga; embem, kemang, dan ngembacang.

Baca juga: Ternyata Nelayan Rawa Gambut Mampu Hidup Sejahtera, Ini Harapan Mereka

Ada juga komunitas rawang yang mengembangkan peternakan, seperti kerbau rawa yang menghasilkan susu dan daging, seperti dijumpai di Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Bagi wong rawang yang berdiam di lahan pasang-surut, pada saat musim kemarau panjang, bersama-sama masyarakat sungai mereka memanen ikan atau bertanam padi atau yang disebut bersonor.

Di risan (sungai kecil) yang lahan rawanya tak bergambut seperti di Pulau Padang dan Kayuagung, komunitas ini memanfaatkan risan layaknya irigasi pasang-surut untuk menaman padi.

 

Desa Sungai Lumpur, Kabupaten OKI, Sumsel, yang berada di tepi Sungai Lumpur. Sebelumnya sebagian besar warganya pencari kayu atau perambah hutan, kini menjadi penambak udang, pengusaha sarang walet dan pencari ikan. Sulit menemukan wong rawang di desa ini. Mereka memilih hidup jauh di lahan gambut. Foto Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Lalu, sebenarnya siapa wong rawang ini?

Tidak ada literatur resmi tentang hal ini. Namun jejaknya dapat ditelusuri hingga masa kolonial, saat leluhur mereka masuk ke hulu anak sungai atau risan dan lalu menetap di pemukiman tanah mineral.

Meski relatif hidup tenang dengan gaya hidupnya yang unik, banyak stigma negatif disematkan kepada komunitas ini.

Menurut penuturan yang penulis himpun, komunitas rawang disebut sebagai kumpulan orang yang masa lalunya dinilai pemalas dan sulit diatur, hingga diusir dan tak memiliki hak waris tanah.

Namun ada juga informasi yang menyebutkan leluhur orang rawang adalah pelaku kriminal yang melarikan diri (outlaw) atau menghindar kejaran para penegak hukum.

Karena anggapan itu, hingga saat ini pun masih dianggap aib jika ada anggota keluarga orang sungai yang menikah dengan wong rawang. Bahkan, masyarakat sungai akan melarang wong rawang mengakses lahan mineral, termasuk menumpang untuk membangun rumah mereka.

 

Apakah Orang Rawang akan Bertahan?

 Karena begitu luasnya kawasan rawa gambut, berbeda dengan di lahan darat wong rawang tidak mengenal konsep kepemilikan lahan. Konsep kepemilikan di rawa bagi mereka adalah sumberdaya milik bersama.

Mereka pun tak pernah melarang atau mencegah hadirnya warga lain (orang sungai) ke wilayah rawa gambut untuk mencari kayu, ikan, burung-burungan, dan lainnya.

Akibatnya, ketika rawa gambut mulai rusak akibat aktifitas perusahaan HPH, pembangunan infrastruktur, pemukiman, lahan pertanian transmigrasi, pabrik, kemudian dikuasai perusahaan perkebunan sawit, dan HTI, komunitas rawang otomatis menjadi korban pertama dan pihak yang paling dirugikan.

Baca juga: Masyarakat Rawang yang Perlahan Kehilangan Tempat Hidupnya

Berikut beberapa kerugian yang dialami komunitas rawang ketika rawa gambut rusak:

Pertama, kehilangan ruang hidup sebagai komunitas. Baik untuk bermukim, maupun sumber penghidupan. Pendapatan mereka akan hilang sejak rezim penguasaan lahan diberlakukan;

Kedua, komunitas rawang akan kehilangan akses terhadap sumberdaya alam saat rawa gambut dikuasai konsesi dan sebagian dijadikan kawasan konservasi oleh pemerintah;

Ketiga, dinyatakan secara sepihak oleh pemerintah sebagai perambah saat mereka mengakses rawa gambut yang telah dijadikan wilayah konservasi.

Keempat, dituduh sebagai penyebab kebakaran lahan gambut, sebab diduga aktifitas mereka mencari ikan, kayu, menggunakan metode membakar lahan dan vegetasi gambut.

Kelima, karena tak punya akses dan sumber daya lahan yang cukup, maka mereka terpaksa membaur dengan masyarakat sungai dan pada akhirnya menjadi pekerja kayu, buruh perkebunan, buruh tani, atau buruh lepas lainnya.

 

Wong rawang di Tulungselapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, yang masih bertahan. Mereka bertahan hidup dengan mencari ikan, meskipun hasilnya terus menurun akibat kerusakan gambut dan terbatasnya akses  ke lokasi yang sebagian besar telah menjadi konsesi atau wilayah konservasi. Foto Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Handoyo, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI), Badan Litbang dan Inovasi KLHK, pada presentasinya Mei 2018 lalu, memperkirakan kerugian yang dialami komunitas rawang di Sumatera Selatan, jumlahnya diperkirakan mencapai trilyunan rupiah!

Hitungannya berasal dari berkurang/hilangnya ikan, yang merupakan sumber penghidupan utama komunitas rawang.

Jika terdapat 171 desa (hitungan TRG Sumsel) dan setiap desa rata-rata terdapat 50 kepala keluarga komunitas rawang, maka angkanya mencapai 8.550 kepala keluarga.

Sebelum perusahaan HPH datang, setiap kepala keluarga mampu mendapatkan ikan rata-rata 50 kilogram/hari, sehingga total ikan yang dihasilkan komunitas rawang sebanyak 427 ton per hari.

Sejak tahun 2010, ketika sebagian besar rawa gambut menjadi perkebunan sawit, HTI atau dikuasai negara, komunitas rawang mengalami kesulitan mendapatkan ikan sebanyak itu.

Jika dihitung hingga tahun 2017, maka komunitas rawang di Sumatera Selatan kehilangan ikan sebagai sumber penghidupan sebanyak 1.076.040 ton. Jika dihitung harga pasaran ikan sungai rata-rata Rp25 ribu per kilogram, nilainya mencapai Rp26,901 trilyun!

Seperti dijelaskan Handoyo, meski tujuan jangka panjang program restorasi gambut ingin mengembalikan ekologi gambut yang akan mengembalikan produksi ikan, namun program ini tampaknya tak akan menyentuh komunitas orang rawang.

Diyakini, restorasi lebih menyentuh pada kepentingan masyarakat sungai yang lebih memiliki kesadaran atas lahan, dibanding orang rawang yang menganggap sumber daya di rawa gambut sebagai open sources.

Perkecualiannya, adalah jika pemerintah menyediakan zona khusus lahan gambut bagi orang rawang. Berikut memberikan aturan yang memperbolehkan komunitas rawang untuk mengakses area konservasi (menyediakan zona pemanfaatan khusus) bagi mereka mencari ikan.

Meski masa depan tampak suram bagi wong rawang, ironisnya sulit mencari tokoh dari komunitas ini yang vokal dalam menyampaikan tuntutan terhadap hilangnya rawa gambut tempat mereka hidup. Hal berbeda dilakukan oleh masyarakat sungai yang paling aktif protes atau menuntut hak atas lahan gambut kepada pemerintah atau pelaku usaha yang diberi konsesi oleh pemerintah.

Jika wong rawang pada akhirnya lenyap, dengan rasa hormat saya berasumsi negara turut membenarkan stigma negatif masyarakat sungai terhadap komunitas rawang.  Manusia yang dinilai sebagai pemalas, sulit diatur, sehingga wajar jika untuk dilupakan.

 

* Taufik Wijaya, penulis dan praktisi seni budaya. Tinggal di Palembang. Artikel ini merupakan pandangan pribadi penulis. 

 

Exit mobile version