Prinsip ketelusuran dalam produk perikanan budidaya menjadi salah satu kekhawatiran yang dirasakan para pengusaha yang bergerak di sektor perikanan budidaya. Prinsip itu menjadi hal penting untuk meyakinkan negara tujuan ekspor tentang produk perikanan yang datang dari Indonesia. Adapun, negara yang menjadi tujuan ekspor sebagian besar dikirim ke Amerika Serikat dan negara Uni Eropa.
Untuk menghilangkan kekhawatiran yang kini sedang menyergap para pengusaha di sektor perikanan budidaya, Pemerintah Indonesia segera bergerak cepat untuk memulai pelaksanaan sertifikasi bagi unit usaha pembudidayaan ikan, khususnya bagi komoditas untuk orientasi ekspor. Percepatan itu mulai dilakukan dari 2018 ini.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, percepatan sertifikasi dilakukan oleh KKP dengan cara menjemput bola kepada unit usaha yang siap disertifikasi. Kemudian, setelah melimpahkan kewenangan sertifikasi kepada dinas kelautan dan perikanan provinsi di seluruh Indonesia.
“Walaupun faktanya saat ini tidak ada informasi komplain terkait mutu di negara-negara tujuan ekspor, khususnya bagi produk udang yang mayoritas telah bersertifikat CBIB (cara budidaya ikan yang baik). Ini dapat terlihat dari kinerja ekspor udang yang cenderung positif dari tahun ke tahun,” ungkapnya belum lama ini.
baca : Strategi Apa untuk Tingkatkan Produksi Perikanan Budidaya di 2018?
Untuk keperluan percepatan sertifikasi, Slamet mengungkapkan, KKP sudah menyiapkan anggaran sebesar Rp3,1 miliar dan akan digunakan untuk melaksanakan dua jenis sertifikasi, yakni Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) dan Cara Budidaya Ikan Yang Baik (CBIB). Anggaran tersebut diakuinya akan berfokus pada dekonsentrasi, sehingga seluruh propinsi dapat melakukan proses sertifiksasi sekaligus surveillance ke unit-unit usaha budidaya.
Slamet menuturkan, saat ini sudah ada auditor CBIB yang jumlahnya mencapai 1.000 orang dan tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Keberadaan auditor di daerah tersebut, akan memangkas waktu dan proses sertifikasi yang sebelumnya dilakukan oleh tim auditor pusat. Oleh itu, auditor di daerah diharapkan bisa mempercepat proses sertifikasi.
“Sebelumnya proses penilaian sertifikasi membutuhkan waktu dan tentunya anggaran yang tidak sedikit. Akhir tahun lalu kita sudah lakukan review terhadap auditor CBIB tersebut,” jelasnya.
Standar Internasional
Agar kekhawatiran para pelaku usaha bisa ditepis dengan baik, Slamet menyebutkan, ada proses harmonisasi kaidah CBIB dengan standar internasional yang dilakukan langsung oleh KKP. Kaidah tersebut berisi panduan lebih lengkap dan komprehensif dan sudah menyesuaikan dengan permintaan pasar perikanan global.
“Di dalam kaidah, tidak hanya dibahas soal aspek mutu, food safety dan social responsibility saja, namun aspek sustainability juga jadi perhatian. Ini menyangkut preferensi masyarakat global saat ini,” paparnya.
baca : Indonesia Kampanyekan Perikanan Berkelanjutan untuk Dunia, Seperti Apa Itu?
Menurut Slamet, saat ini KKP tengah mempersiapkan rencana penyatuan seluruh sertifikasi yang ada, yakni CPIB, CBIB, CPPIB (Cara Pembuatan Pakan Ikan yang Baik), dan CPOIKB ke dalam satu dokumen sertifikasi yakni Indonesian Good Aquaculture Practice (IndoGap). Penyatuan itu, tak lain untuk menjamin agar proses sistem jaminan mutu dan keamanan pangan lebih baik dan terintegrasi.
Berkaitan dengan rencana pembentukan struktur baru yang independen, Slamet menjelaskan bahwa saat ini masih dalam tahap penyiapan payung hukum yang relevan. Untuk membahas tentang mekanisme dan hal lainnya, KKP menggandeng Badan Sertifikasi Nasional (BSN) dan stakeholders terkait untuk membahas ini.
“Jadi semua membutuhkan proses. Intinya kita perlu aturan hukum yang jelas. Aturan hukum tersebut tidak boleh lepas tanpa ada aturan hukum di atasnya, sehingga proses sertifikasi nantinya diakui secara legal formal,” ucapnya.
Selain mengawal dari sisi regulasi, Slamet menambahkan, untuk menjamin konsistensi penerapan CBIB pada pembudidaya kecil, Pemerintah juga akan melakukan kontrol melalui inspeksi secara berkala dalam rangka membina dan menumbuhkan tanggung jawab pembudidaya. Inspeksi bisa melibatkan pengawas perikanan yang sudah ada.
KKP juga melakukan perbaikan sistem kodefikasi bagi pembudidaya udang di seluruh Indonesia yang bertujuan untuk memudahkan ketelusuran produk yang dihasilkan. Untuk proses sertifikasi tersebut, KKP membuka diri untuk melibatkan pihak unit pengolahan ikan (UPI) dan diharapkan akan tercipta timbal balik yang positif antara konsumen yang diwakili UPI dengan pembudidaya.
baca : Sudah Saatnya Indonesia Fokus Bangun Sektor Perikanan Budidaya
Sebelum memulai percepatan sertifikasi, Slamet menambahkan, KKP lebih dulu memulai proses penjajakan hal serupa dengan perusahaan ritel besar dunia, seperti Walmart dan Hatfield. Dari penjajakan tersebut, Pemerintah akan fokus menyiapkan standar IndoGap untuk proses sertifikasi, sementara UPI berperan dalam prosesnya.
“Untuk auditor tetap kita libatkan tim yang sudah ada saat ini. Mudah-mudahan semua pihak bisa terima konsep ini, sehingga sertifikasi memiliki daya kontrol yang kuat. Namun, semuanya butuh proses karena perlu menyiapkan perangkat yang jelas,” jelas dia.
Agar para pembudidaya bisa tetap konsisten melaksanakan prinsip ketelusuran, Slamet menghimbau kepada UPI untuk bisa memberikan insentif khusus kepada mereka. Dengan demikian, para pembudidaya bisa konsisten menerapkan CBIB dan pada akhirnya mereka mendapatkan nilai tambah atas hasil produksi yang tersertifikasi.
“UPI juga mestinya memberikan reward khusus seperti pembelian produk yang tersertifikasi CBIB dengan selisih harga lebih tinggi dibanding yang tidak tersertifikasi. Ini untuk memicu tanggungjawab pembudidaya supaya konsisten menerapkan CBIB,” tandas dia.
Untuk diketahui, pasar ekspor udang dari Indonesia diupayakan Pemerintah Indonesia tidak hanya terbatas ke AS dan Uni Eropa saja. Pemerintah saat ini tengah menjajaki ekspansi pasar ekspor ke negara lain seperti kawasan Timur tengah, Tiongkok, Rusia dan negara lainnya. Adapun, untuk unit usaha budidaya yang sudah tersertifikasi, dari data KKP pada 2017, jumlahnya sudah mencapai 8.792 unit.
baca : Sejak 1950, Perikanan Budidaya Indonesia Lambat Berkembang, Kenapa Demikian?
Sertifikasi Mandiri
Selain Pemerintah Indonesia, upaya meningkatkan daya saing produk perikanan budidaya melalui prinsip ketelusuran juga dilakukan secara mandiri oleh pelaku usaha. Melalui pendampingan yang dilakukan WWF Indonesia, prinsip ketelusuran diterapkan dalam proses produksi dan berakhir dengan sertifikasi seperti Aquaculture Stewardship Council (ASC).
Di antara pelaku usaha yang secara mandiri melakukan proses itu, adalah PT Mustika Minanusa Aurora yang berlokasi di Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Perusahaan tersebut berkomitmen meraih sertifikat ASC, antara lain supaya ekosistem laut di Indonesia bisa tetap terjaga baik, legalitas terjaga, perbaikan lingkungan, pekerja, sosial, dan ketelusuran juga terjaga dengan baik.
Direktur Program Coral Triangle WWF-Indonesia Wawan Ridwan mengatakan, keberhasilan PT MMA mendapatkan sertifikasi ekolabel ASC, menjadi contoh penerapan kebijakan pengelolaan budi daya berkelanjutan. Sinergi antara pelaku industri perikanan (perusahaan dan petambak), lembaga swadaya, dan pemerintah akan membawa proses pengelolaan sumber daya laut ke tahap perbaikan dan peningkatan kualitas sumber daya perikanan.
“Dalam program perbaikan budi daya udang, PT MMA telah melibatkan setiap pelaku dalam mata rantai suplai udang dan mengikutsertakan peran importir udang dan retailer di Jepang dalam peningkatan kualitas lingkungan ditingkat produksi,” jelas dia.
Sementara Manajer Perbaikan Perikanan Tangkap dan Budidaya WWF Indonesia Abdullah Habibi mengungkapkan, praktik budidaya yang dijalankan PT MMA telah menerapkan seluruh prinsip budidaya laut yang bertanggung jawab. Hal itu, dibuktikan melalui perolehan sertifikasi ASC.
“Kita mendorong adanya dukungan pasar untuk memperluas implementasi praktik budi daya serupa oleh pelaku usaha lainnya,” tuturnya.
Menurut Habibi, salah satu poin penting untuk mendapatkan sertifikat ekolabel ASC, adalah adalah kewajiban menanam 50 persen areal tambak dengan pohon bakau (mangrove). Kewajiban tersebut, dimaksudkan agar ekosistem di sekitar lokasi tambak bisa tetap terjaga dengan baik, meskipun ada perikanan budidaya.
baca : Perikanan Budidaya Disuntik Anggaran 3 Kali Lipat, Lima Komoditas Digenjot Produksinya
Selain perikanan budidaya, Habibi menjelaskan, sertifikasi ASC juga diberikan kepada perusahaan yang bergerak di sektor perikanan tangkap. Seperti perikanan budidaya, perikanan tangkap juga pada prinsipnya adalah penerapan perikanan yang berkelanjutan.
“Selain PT MMA, saat ini ada empat perusahaan lain yang sudah menyatakan tertarik untuk mengikuti sertifikasi. Sementara, dua perusahaan lagi saat ini sedang mendaftar untuk bisa didampingi oleh WWF,” jelasnya.
Untuk sektor perikanan tangkap, Habibi menuturkan, saat ini WWF sedang mendampingi delapan perusahaan yang tertarik untuk menerapkan praktik ekolabel. Ke depannya, perusahaan-perusahaan tersebut diharapkan bisa menyusul untuk mendapatkan sertifikat ASC yang berarti simbol penghargaan untuk perikanan berkelanjutan.