Mongabay.co.id

Pasca Disclaimer BPK, Presiden RI Harus Tegas Selamatkan Sektor Perikanan dan Kelautan. Kenapa?

Badan Pemerika Keuangan (BPK) telah memberikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2017 kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Negara, Jakarta, Senin (4/6/2018) pagi.

Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas LKPP Tahun 2017 berdasarkan hasil pemeriksaan atas 87 Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKLL) dan 1 Laporan Keuangan Bendara Umum Negara (LPKBUN).

“BPK memberikan opini WTP terhadap 80 LKKL/LKBUN (90%), opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) kepada 6 LKKL, dan opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) kepada 2 LKK,” kata Moermahadi seperti dikutip dari Setkab.go.id.

Adapun yang memperoleh opini TMP atau Disclaimer adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Menanggapi LHP LKPP dari BPK tersebut, Presiden Jokowi berharap tahun depan tidak ada lagi yang lembaga pemerintah yang mendapat opini TMP. Dikutip dari Kompas.com, Presiden meminta kementerian/lembaga yang masih meraih opini WDP dan TMP atas laporan keuangannya terus berbenah diri dengan melakukan terobosan.

 

Presiden Jokowi menerima LHP BPK atas LKKL 2017, yang diserahkan Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara, di Istana Negara, Jakarta, Senin (4/6/2018) pagi. Foto: Humas/Rahmat/Setkab

 

Menanggapi laporan BPK tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti merasa heran dan tidak habis pikir dengan opini tersebut. Susi mengatakan KKP sebelumnya telah memberikan penjelasan kepada BPK.

Susi menjelaskan selama 3 tahun, dari 2015 hingga 2018, KKP telah melakukan penghematan anggaran. Bahkan, potensi uang negara yang bisa dikembalikan dari 2015 hingga 2018 bisa mencapai Rp10 triliun.

“Jadi saya tidak mengerti saya tidak habis mengerti. Saya tidak tahu lagi. KKP ini satu-satunya yang mengembalikan dengan penghematan mungkin dengan tahun 2018 jadinya Rp9 triliun lebih hampir Rp10 triliun kembali ke pemerintah,” kata Susi seperti dikutip dari detik.com.

baca : Penilaian Disclaimer untuk KKP karena Tata Kelola Keuangan Buruk?

 

Ganti Menteri

Presiden Joko Widodo harus mengambil tindakan tegas untuk menyelamatkan sektor perikanan dan kelautan di bawah pengelolaan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang saat ini sedang berada di ujung tanduk. Salah satu caranya, adalah dengan mengganti Menteri Kelautan dan Perikanan yang saat ini dijabat oleh Susi Pudjiastuti.

Desakan tersebut diungkapkan Pemerhati Sektor Perikanan dan Kelautan Abdul Halim di Jakarta, Minggu (3/6/2018). Dia mengatakan itu untuk menyikapi buruknya tata kelola keuangan kementerian tersebut dalam kurun waktu dua tahun terakhir.

Terkini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pada 2018 memberikan anugerah berupa opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau Disclaimer terhadap Laporan keuangan KKP. Opini Diclaimer yang diterbitkan BPK RI melalui Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) itu, mengulang catatan buruk yang ditoreh KKP pada 2017.

Menurut Abdul Halim, tak hanya melakukan pergantian pucuk pimpinan di tubuh KKP, perlu juga dilakukan pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap laporan keuangan kementerian tersebut. Pemeriksaan itu, bisa berupa lanjutan dari laporan BPK RI ataupun pemeriksaan terpisah.

 

Sejumlah kapal dengan alat tangkap ikan berupa cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/2/2018). Kapal-kapal tersebut belum bisa melaut sebelum administrasi kapal dan menyanggupi kesediaan mengganti cantrang dengan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Adapun, Halim memaparkan, ada empat catatan kenapa KKP untuk kali kedua mendapatkan opini Disclaimer dari BPK RI. Pertama, karena kinerja keuangan KKP disinyalir banyak masalah, di antaranya adalah proyek kapal yang masih mangkrak. Kedua, Disclaimer kedua kali menunjukkan bahwa KKP tidak melakukan perbaikan secara sungguh-sungguh di lingkungan internal mereka.

Ketiga, Halim melanjutkan, agar permasalahan tata kelola anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN) di KKP tidak terulang lagi, Presiden Joko Widodo sewajarnya untuk memberikan sikap tegas kepada kementerian tersebut, utamanya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

“Berulangnya catatan buruk KKP dalam pengelolaan APBN, bisa dijadikan sebagai pintu masuk KPK untuk melakukan pemeriksaan awal, termasuk dugaan penyelewengan anggaran,” ucapnya.

baca : Kinerja Buruk KKP Tak Hanya dari Kegagalan Program Bantuan Kapal, Tapi ….

 

Serapan Rendah

Di sisi lain, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memberikan penilaian lebih detil tentang opini Disclaimer yang diberikan BPK RI kepada KKP. Menurut KIARA, opini tersebut diberikan, karena serapan APBN tahun anggaran 2017 KKP sangatlah rendah dan jauh dari target yang direncanakan. Padahal, seharusnya serapan rendah tersebut tidak perlu terjadi.

“KKP gagal sejahterakan rakyat,” ungkap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, di antara parameter kegagalan KKP dalam menyerap APBN 2017, adalah proyek pengadan kapal yang diselenggarakan di tahun yang sama. Untuk proyek tersebut, KIARA mencatat KKP hanya mampu menyediakan kapal penangkap ikan dengan ukuran di bawah 10 gros ton (GT) sebanyak 601 unit, ukuran 10-20 GT 148 unit, dan ukuran 30 GT sebanyak 6 unit.

“Selain itu, KKP hanya mendistribusikan 500.000 paket asuransi nelayan,” tuturnya.

baca : Bantuan 3.450 Kapal KKP Bisa Saja Gagal. Kenapa?

 

Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Susan menyebutkan, apa yang sudah dicapai KKP dalam proyek pengadaan kapal, menjelaskan secara tidak langsung bagaimana kinerja kementerian tersebut. Untuk proyek tersebut, implementasi yang sudah dicapai masih jauh dari rencana dan target yang telah ditetapkan oleh mereka sendiri sebelumnya.

Untuk target, kata Susan, KKP menetapkan pengadaan kapal perikanan jumlahnya mencapai 2.500 unit, sementara realisasi pengadaan hanya sanggup 800 unit saja. Selain itu, hal yang sama juga terjadi pada program pemberian asuransi kepada nelayan yang jumlahnya hanya mencapai 500 ribu kartu atau hanya setengah dari target sebanyak 1 juta kartu yang telah ditetapkan.

Atas fakta tersebut, Susan dengan tegas berani menyatakan bahwa kinerja KKP pada 2017 mengalami kegagalan dan tidak bisa memberikan kesejahteraan bagi nelayan dan masyarakat pesisir yang tinggal di lebih dari 12 ribu desa pesisir di seluruh Indonesia. Padahal, dia menyebut, APBN perikanan untuk sektor perikanan tangkap besarnya mencapai Rp2.216.179.800.000 dari total APBN 2017 untuk kelautan dan perikanan sebesar Rp10.763.278.100.000.

“Tak hanya tahun 2017, tahun 2016 pun KKP melakukan hal sama, dimana serapan anggaran tidak sesuai dengan target,” tandasnya.

baca : Akankah Pembangunan 994 Kapal untuk Nelayan Berjalan Tepat Waktu?

 

Sebagian nelayan di Bali tidak bisa mendapatkan Asuransi Nelayan karena tidak punya Kartu Nelayan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Catatan buruk tersebut, menjadi penanda penting bagaimana terus memburuknya kinerja keuangan KKP dalam dua tahun terakhir. Opini Disclaimer yang diberikan BPK RI biasanya diberikan pada instansi Negara, jika auditor BPK RI tidak bisa meyakini apakah laporan keuangan lembaga yang diaudit wajar ataukah tidak.

“Dengan demikian, seharusnya KKP segera memperbaiki kinerja dalam melayani masyarakat pesisir di Indonesia,” tegas dia.

Sebagai bahan pelajaran, Susan meminta KKP untuk tahun berikutnya bisa lebih bijak dalam mengalokasikan APBN untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan bukannya dihambur-hamburkan untuk kebijakan pembangunan yang tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Untuk itu, KKP mesti melakukan penghematan terhadap pos-pos belanja modal yang tidak bermanfaat secara langsung kepada masyarakat pesisir.

“Seperti perjalanan dinas dan pembangunan infrastruktur yang dipaksakan,” pungkasnya.

 

Salah Berhemat

Sementara itu Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai opini Disclaimer yang diberikan BPK RI kepada KKP semakin menegaskan ada yang tidak beres dalam pengelolaan keuangan di tubuh KKP. Bahkan, KNTI dengan tegas menyebutkan bahwa kebijakan KKP untuk menghemat anggaran merupakan kebijakan yang tidak tepat dan cenderung salah.

“Karena seharusnya anggaran yang dimiliki digunakan sampai habis untuk kepentingan rakyat banyak,” jelas Ketua Harian DPP KNTI Marthin Hadiwinata di Jakarta, Minggu.

Di saat KKP melakukan penghematan anggaran, Marthin mengatakan, program kerja yang dilaksanakan juga tidak menyentuh masyarakat pesisir yang mendiami pulau-pulau besar dan kecil di seluruh Indonesia. Dengan demikian, dia menilai bahwa KKP tidak bersungguh-sungguh memastikan program Pemerintah diterima oleh rakyat nelayan di seluruh Nusantara.

“Justifikasi penghematan anggaran tidaklah tepat karena seharusnya Kementerian Kelautan dan Perikanan memastikan penyerapan anggaran pembangunan sebesar hampir Rp10 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat dinikmati dan dirasakan oleh nelayan di pelosok nusantara,” ucapnya.

 

Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Menurut Marthin, KKP tidak menunjukkan kesungguhan bekerja untuk memastikan pembangunan dan program pemerintah dirasakan oleh nelayan dan itu tidak sejalan dengan visi menghadirkan Negara untuk mensejahterakan nelayan dari pinggiran, yaitu nelayan tradisional.

Atas laporan Diclaimer tersebut, Marthin meminta BPK untuk memaparkan dan mempublikasikan LHP kepada nelayan, agar bisa diketahui permasalahan sebenarnya dalam pengelolaan keuangan yang terjadi di tubuh KKP. Kemudian, BPK RI bersama KPK juga harus segera memulai penyelidikan pengelolaan keuangan, termasuk indikasi penyelewengan anggaran.

Lebih jauh Marthin mengungkapkan, opini Disclaimer yang diberikan BPK RI, diketahui karena salah satu penyebabnya adalah hasil dari pemeriksaan atas pengadaan 750 kapal untuk nelayan. Jika dilihat dalam ketentuan yang ada, pengadaan itu seharusnya selesai sesuai tahun buku yaitu pada Desember 2016. Namun, selama proses itu KKP hanya mampu merampungkan 48 kapal dan kemudian pengadaan kapal diperpanjang hingga Maret 2017.

“Sementara, anggaran senilai Rp209 miliar untuk pengadaan barang tersebut ternyata sudah keluar. Salah satunya adalah program bantuan kapal di Provinsi Kalimantan Utara. Di sana ada yang menerima 9 kapal yang merupakan program pengadaan tahun 2016, tetapi baru diterima pada bulan April tahun 2017. Namun, hingga detik ini tidak beroperasi atau mangkrak,” paparnya.

Ketua KNTI Basis Pulau Sebatik, Provinsi Kalimantan Utara yang juga penerima bantuan kapal berukuran 12 GT, Thamrin mengatakan, terdapat beberapa permasalahan dalam bantuan kapal, yaitu:

 

Exit mobile version