Mongabay.co.id

Citarum Masih Berkutat Masalah Meski Berbagai Proyek Diluncurkan

Penanganan masalah Sungai Citarum dikebut. Program-program rekaya fisik getol dilakukan meski kondisi sungai terbesar di Jawa Barat itu tak kunjung membaik. Triliunan Rupiah sudah dikucurkan dalam 30 tahun terakhir, guna memulihkan sungai sepanjang 297 kilometer ini.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum memiliki sejarah panjang dalam keterlibatan proyek-proyek yang dikerjakan oleh pemerintahan pusat, provinsi, dan daerah. Juga, lembaga donor seperti Asian Develoloment Bank (ADB) yang bersedia memberi pinjaman untuk Citarum.

Proyek besar terakhir yang dicanangkan adalah Integrated Citarum Water Resorces Management Investment Program yang didanai oleh pinjaman ADB sebesar US$ 500 juta atau setara 6 triliun Rupiah. Pelaksanaan efektifnya mulai 2008 di bawah skema multitranch selama 15 tahun.

Program ini tidak diketahui masih berjalan atau tidak, terlebih setelah bergulirnya program baru yaitu Citarum Harum yang didukung Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. Pastinya, sejauh mana keberhasilan program besar itu, belum diketahui pasti, karena sampai hari ini Sungai Citarum masih didera ribuan ton limbah industri dan limbah rumah tangga.

Melihat kembali persoalan Citarum, memang cukup pelik dan multidimensi. Membahas berbagai permasalahnya tentu saja harus diimbangi solusi dengan kualitas setara. Alasan ini yang membuat program Citarum Harum yang diresmikan Presiden Jokowi Febuari 2018 lalu, dinilai berbeda karena memakai skema terintegritas.

Baca: Menanti Sungai Citarum Pulih, Akankah Terwujud?

 

Warga memotret Curug Jompong, Desa Jelekong, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Rencananya, Curug Jompong akan dibuat terowongan untuk pengendalian banjir di wilayah Bandung Selatan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Meski penanganan Citarum tidak lagi parsial dan sudah ada kata sepakat perihal itegritas, namun faktanya, peta jalan atau roadmap pengendaliannya belum jelas. Ini terkait mekanisme akan seperti apa dan bagaimana Citarum kedepan.

Akhirnya, beberapa proyek strategis yang menyoal Citarum kembali digulirkan. Tujuannya sama; memperbaiki kualitas Citarum, mengendalikan banjir, mengatasi persoalan lingkungan di DAS Citarum, dan menyediakan pasokan air baku.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumaharan Rakyat (PUPR) melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum yang berwenang terhadap badan sungai melakukan langkah struktural. Seperti, melakukan normalisasi Sungai Citarum hulu (2017-2019) dengan anggaran Rp78 miliar, pembangunan floodway Cisangkuy paket I dan II (2015-2019) Rp311 miliar dan Rp 320 miliar.

Normalisasi juga dilakukan di beberapa anak sungai Citarum seperti Sungai Cimande dengan anggaran Rp93,15 miliar, Sungai Cikijing Rp92,56 miliar, dan Sungai Cikeruh Rp53,31 miliar yang ditargetkan rampung pada 2018. Pembangunan Embung Gedebage di Kota Bandung dengan biaya Rp85,48 miliar juga ditargetkan di tahun yang sama.

 

Rekayasa fisik Sungai Citarum di Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kemudian, yang sedang berjalan sekarang Kolam Retensi sebagai pengendali banjir di Bandung Selatan. Dengan dana Rp203,83 miliar, nantinya, kolam tersebut diproyeksikan menampung limpasan Sungai Citarum di daerah Dayeuhkolot dan Baleendah sekitar 1 meter dan mengurangi luas genangan dari semula 342 hektar menjadi 41 hektar.

Kolam retensi yang berada persis di sisi Sungai Citarum ini memiliki luas 8,7 hektar dengan kapasitas tampung 220 ribu meter kubik. Dilengkapi juga 3 unit pompa pengendali banjir berkapasitas 3,5 meter kubik/detik dan 1 unit pompa harian berkapasitas 1,5 meter kubik/detik.

Sekitar 30 kilometer dari Kolam Retensi Cieuteung, BBWS Citarum tengah melakukan pembangunan terowongan atau tunnel di Curug Jompong yang rencananya rampung pada 2019 mendatang. Biaya yang dibutuhkan sebesar Rp352 miliar, untuk panjang terowongan sepanjang 2×230 meter yang berfungsi mempercepat laju arus Sungai Citarum.

 

Dua anak tampak bermain di Sungai Citarum di Desa Belaeendah, Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tidak realistis

Terkait banjir Citarum, warga di Baleendah dan Dayeuhkolot, sepertinya, sudah lelah bencana ini. Asep warga Baleendah menuturkan, rekayasa fisik Citarum tidak menyelesaikan persoalan, malah memindahkan persoalan ke wilayah lain. “Dulu sudah. Rekayasa sungai berupa pelurusan pada bagian yang berkelok,” gumam Asep.

Geolog T. Bacthiar berpendapat, wacana pembangunan terowongan Curug Jompong hanya akan mengulang kegagalan yang sudah. Sedimen sungai akibat erosi di hulu akan terbawa aliran sungai dan menjadi masalah pada Waduk Saguling. Limpahan material yang dibawa aliran sungai bakal membuat volume sedimentasi di Waduk Saguling menjadi lebih tinggi. Jika tidak siap dengan konsekuensi gangguan operasional pembangkit listrik, maka pemerintah disarankan mengkaji kembali proyek tersebut.

“Kalau tidak siap, berarti jangan lakukan itu. Kalau masih butuh energi dari Saguling, tidak perlu bikin terowongan yang dianggap solusi banjir. Padahal keliru sebetulnya,” ujar dia.

 

Pemandangan Sungai Citarum di kawasan Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat. Pemerintah melalui Bappenas akan melanjutkan program revitalisasi Sungai Citarum. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Bila diasumsikan, skenario kerugian ekonomi seandainya Citarum terus menerus mengalami degradasi adalah senilai US$ 3 miliar/tahun dari energi listrik yang dihasilkan 3 waduk di Citarum yaitu 1.400 MW yang setara 16 juta ton/tahun BBM atau 5 miliar kwh/tahun listrik. Belum lagi kerugian bila air Citarum tidak lagi mengairi sawah seluas 420.000 hektar. Asumsi itu di luar kerugian dari sektor-sektor lain seperti perikanan, air baku, infrastruktur, dan lainnya.

Selama ini pun, kerugian negara pada Sungai Citarum tidak ketahui. Begitupun program-program yang dicanangkan. Ketimbang melakukan proyek yang minim kajian, Bachtiar menyarankan untuk mengentaskan perkara banjir di Citarum dengan merevitalisasi kali-kali maupun danau penampungan air yang telah mati sepanjang DAS Citarum. Langkah restorasi tersebut dianggap lebih ramah lingkungan.

Walaupun revitalisasi Citarum bukan hanya harus dilihat dari sisi ekologisnya saja, tetapi juga dari dimensi lain yang berkaitan. “Namun, setidaknya itu lebih bijaksana. Memperbaiki Citarum sekarang itu harus memperbaiki hutan, tidak ada jalan lain,” tandas Bachtiar.

 

 

Exit mobile version