Mongabay.co.id

Begini, Wacana Kalimantan Barat Kelola Lanskap Sawit Berkelanjutan

 

Udara lembab sehabis hujan. Daun-daun yang tumbuh di sepanjang sisi jalan tampak basah. Satu dua cekungan di jalan tanah pengerasan itu, dipenuhi genangan air. Hal yang jamak terjadi di jalan perkebunan sawit. Saat itu, Mongabay menyusuri kawasan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Daerah ini terkenal akan potensi sumber daya alamnya. Di daerah ini juga, terdapat smelter bauksit.

“Warga yang punya tanah luas, jadi petani sawit. Hasilnya dijual ke perusahaan. Di sini, peluangnya cuma itu,” tukas Mahlus, perempuan 50-an, warga Kendawangan.

Keluarga Mahlus punya beberapa kapling sawit. Konsepnya bermitra dengan perusahaan. Ada waktu luang, dia dan keluarganya menanam padi serta menjala ikan di pesisir pantai. Dia tipe perempuan pekerja, sebagaimana kebanyakan perempuan di daerah itu, usia 40-an hingga 60-an tahun.

Umur bawah itu, kebanyakan bekerja di perusahaan tambang atau sawit, jadi pelayan toko atau warung kopi di Kota Ketapang. Sebagian kecilnya sekolah di Kota Ketapang dan kuliah. Perempuannya, rata-rata menikah setelah menamatkan sekolah menengah atas.

Baca: Sawit Berkelanjutan: Antara Mencari Standard Sertifikasi dan Desakan Perubahan

 

Sawit yang hingga saat ini belum tuntas penanganan masalahnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Terpisah ratusan kilometer dari Kabupten Ketapang, hal yang sama dirasakan petani sawit di daerah Wajok Hilir, Kabupaten Mempawah. Sepanjang jalan menuju ke arah desa, banyak ditemui kebun sawit. Dari penampakannya, besar kemungkinan itu lahan swadaya. Terlihat dari pohonnya yang tua, dikelilingi semak-perdu di batangnya. “Ini memang punya masyarakat. Dijual ke perusahaan. Terlihat kurus karena yang kerja keluarga. Tak mampu mereka menyemprot rumput di bawahnya,” ujar Abdul Majid, kepala desa Wajok Hilir.

Bagi para petani, konsep pemelihaaran kebun yang baik memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang tak mereka punyai. Mereka hanya mengandalkan pekerja keluarga. Jangankan memupuk, membersihkan pelepah sawit yang mati pun mereka tidak maksimal. Apalagi membersihkan gulma di area piringan pohon. Piringan yang dimaksud ialah lingkaran bebas gulma berdiameter kurang lebih dua meter keliling pohon.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat tengah berupaya mendorong perusahaan kelapa sawit menerapkan metode berkelanjutan. Januari 2018, Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis dan The Sustainable Trade lnitiative (IDH) bekerja sama dengan Bumitama Gunajaya Agro (BGA Group) dan Aidenvironment (AE) meresmikan percontohan kemitraan sawit berkelanjutan di Kabupaten Ketapang.

“Saya harap, dengan kerja sama ini perusahaan perkebunan tetap jalan dan aspek lingkungan diperhatikan,” ujar Cornelis, saat itu. Peresmian tersebut bersamaan dengan pelantikan pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalbar periode 2017-2020. Besar harapan pemerintah Kalbar, kerja sama ini akan mengurangi ancaman kehidupan satwa liar di sekitar perkebunan. Konflik manusia dan satwa liar pun dapat dihindarkan. Misalnya, kasus orangutan masuk ke permukiman warga atau merusak kebun.

“Konsep kemitraan merupakan inisiatif bersama membangun kawasan konservasi dan koridor yang menghubungkan kawasan hutan konservasi yakni Taman Nasional Gunung Palung, Gunung Tarak, dengan hutan Sungai Putri,” ujar Ketua Dewan Pengurus Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH), Fitrian Ardiansyah.

Baca: Label Berkelanjutan Jawaban Atasi Masalah Sawit, Benarkah?

 

Sawit yang di sejumlah daerah masih menimbulkan konflik dengan masyarakat. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Saat ini kawasan antara Gunung Tarak, Gunung Palung dan hutan rawa gambut Sungai Putri sangat terancam deforestasi, pembalakan liar, pertambangan, dan kebakaran. Konsepnya, di kawasan ini akan dibangun jalur lintasan satwa liar. Di koridor ini, satwa akan bermigrasi dan mencari makanan sehingga mengurangi konflik dengan masyarakat sekitar.

Agar program berkelanjutan, percontohan ini melibatkan pemerintah dan masyarakat setempat. Konsep kemitraan ini juga akan menghubungkan delapan desa dengan total populasi sekitar 11.000 jiwa.

Proyek ini akan mengembangkan 5.000 petani kecil kelapa sawit melalui pendirian lembaga koperasi. Sedangkan luas lahan yang direncanakan untuk koridor satwa liar mencapai 1.800 hektar. Dari luasan itu, 1.110 hektar berada di konsesi PT. Gemilang Makmur Sejahtera.

Baca: Soal Standar Sawit Berkelanjutan, Bagaimana Perkembangan Penguatan ISPO?

 

 

Komitmen ISPO

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung, memandang kampanye hitam sawit adalah reaksi pasar Amerika dan Eropa terhadap minyak sawit Indonesia. Saat ini, Indonesia menempati urutan pertama penghasil minyak sawit yang produksinya diprediksi mencapai 36 juta ton. Posisi kedua Malaysia sebesar 21 juta ton dan Thailand sebanyak 2,2 juta ton minyak sawit.

“Amerika dan Eropa tak bisa tanam sawit, iklimnya tidak cocok,” tukas Tungkot, di Pontianak, 30 Mei lalu. Sebagai komoditi pengasil devisa terbesar di sektor non-migas, industri sawit juga menciptakan lapangan kerja, serta pembangunan ekonomi setempat. Untuk prinsip-prinsip perkebunan berkelanjutan, pemerintah telah membuat regulasi dengan menerbitkan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Selain itu, Kementerian Pertanian telah menerbitkan regulasi pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) melalui Permentan No 11 tahun 2015.

Tingginya komitmen Indonesia dalam prinsip keberlanjutan di sektor sawit dapat dilihat dengan akan diterbitkannya peraturan presiden untuk ISPO. Terlebih dalam revisi ISPO terdapat satu prinsip tambahan yakni transparansi. “Standarnya bahkan lebih baik dari RSPO, karena sifatnya mandatori. Diterima pasar dunia atau tidak, tak soal. Yang penting kebijakan ini untuk Indonesia,” tambah Tungkot.

 

Pabrik pengolahan sawit di Sumatera. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

ISPO merupakan jawaban terhadap tudingan buruk industri sawit di Indonesia. Pasar internasional bisa melihat bagaimana perkebunan dikelola dengan baik. Tidak hanya secara lingkungan namun juga di sisi ketenagakerjaan; tidak mempekerjakan ibu hamil dan anak di bawah umur.

Ada perbedaan ISPO dan RSPO. ISPO merupakan aturan terkait status legalitas perusahaan dan praktik lingkungan. Sementara RSPO jaminan pada pasar bahwa minyak sawit yang dihasilkan dari perkebunan ramah lingkungan. Ironisnya, pasar dunia cenderung acuh dengan sertifikasi ini. Pasar masih saja membeli minyak ‘leakage’ atau bocoran. Asalnya dari kebun-kebun yang tidak menerapkan sistem keberlanjutan dan dibeli oleh perusahaan pengolahan kepala sawit. Harga jualnya bisa lebih murah.

Dinas Perkebunan Kalbar mencatat, baru 16 perusahaan di provinsi ini memiliki sertifikat ISPO, dari sekitar 400 perusahaan perkebunan yang ada. Untuk sertifikat RSPO, baru ada enam perusahaan kelapa sawit, sembilan pabrik CPO, dan 87 ribu hektar lahan atau sekitar 450 ribu ton produksi tandan buah segar.

 

 

Intensifikasi kebun

Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, berupaya meningkatkan produktivitas kelapa sawit sebanyak 8,4 ton CPO per hektar per tahun melalui intensifikasi hasil panen. Merujuk data Kementerian Pertanian, dari total lahan perkebunan kelapa sawit milik petani swadaya seluas 4,65 juta ha, baru seluas 1,25 juta ha yang dilengkapi sertifikat hak milik (SHM).

Sementara, seluas 1,75 juta ha belum memiliki SHM dan seluas 1,7 juta ha diduga berada di kawasan hutan. Upaya intensifikasi pemerintah dapat difokuskan pada 3 juta hektar perkebunan yang berada di luar kawasan hutan.

Produktivitas kelapa sawit di Kalimantan Barat masih rendah, baru 2,27 ton CPO per hektar per tahun atau sebesar 56,97 persen dari produksi nasional. Dinas Perkebunan Kalimantan Barat menargetkan, dengan program intensifikasi berkelanjutan dapat menaikkan produktivitas. “Targetnya, 4 ton per hektar per tahun,” kata Florentinus Anum, Kepala Dinas Perkebunan Kalbar.

 

Buah sawit. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Dia menilai produktivitas sawit Kalbar buruk. Pasalnya, perkebunan sawit masih mengandalkan program ekstensifikasi perkebunan. Rendahnya, produktivitas disebabkan beberapa hal. Antara lain, bibit yang tidak memenuhi standard, sehingga, masa tanam komoditas tidak sesuai, padahal izin usaha perkebunan sudah dikantongi.

Budidaya yang baik menunjang produktivitas. Pemupukan, pemeliharaan, pemanenan, serta penanganan pasca-panen, harus diperhatikan. Jumlah produksi CPO di Kalimantan Barat pun tidak sebanding dengan luas lahan yang dibebani izin.

“Butuh waktu panjang untuk membiasakan pelaku usaha memelihara dan merawat kebunn agar hasil panen optimal,” tukas sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalbar Idwar Hanis. Terlebih lagi, kelapa sawit di Kalimantan Barat masih generasi pertama, sehingga usianya sudah tua.

Hilirisasi industri juga memegang peranan penting. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, Indonesia saat ini baru menghasilkan 47 produk turunan CPO, sedangkan Malaysia sudah mencapai 100 produk turunan. Intensifikasi perkebunan berkelanjutan, tujuan akhirnya selain meningkatkan produksi, juga mengatasi masalah deforestasi, eksploitasi lahan gambut, dan kebakaran hutan dan lahan.

 

 

Gugatan

Dua desa di Indonesia secara yuristis melakukan tuntutan atas segel minyak sawit berkelanjutan RSPO. Masyarakat adat menyampaikan gugatannya pada OECD karena RSPO membiarkan hutan mereka hancur, sebagaimana dikutip dari hutan hujan.org.

Dengan sertifikasi sebuah perusahaan yang merampas tanah rakyat dan menindas HAM, RSPO tidak mentaati kebijaksanaannya sendiri, isi surat gugatan tersebut. Surat yang menandakan model sertifikasi itu gagal.

Masyarakat adat Dayak Hibun di wilayah Kerunang dan Entapang di Kalimantan Barat merupakan yang pertama menggugat RSPO secara internasional. Langkah ini diambil setelah konflik puluhan tahun dengan perusahaan asal Malaysia Sime Darby. P.T. Mitra Austral Sejahtera (P.T. MAS), anak perusahaan Sime Darby, telah merampas tanah Dayak Hibun dan membuka kebun sawit disana, menggusur masyarakat dan mengancamnya.

 

Pekerja tampak memanen buah sawit. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Tahun 2012 penduduk mengadukannya ke RSPO. Hingga kini RSPO tidak melakukan tindakan atas perlakuan Sime Darby. Malah sebaliknya, Sime Darby mendapatkan sertifikat yang menyatakan perusahaan ini mentaati riteria RSPO.

“Etika palsu“ demikian LSM Paneco asal Swiss menamakan sertifikat RSPO. Paneco dulunya anggota RSPO. Namun, harapan atas keberlanjutan dan perbaikan sistem ternyata sia-sia, sehingga Paneco meninggalkan RSPO.

 

 

RSPO yang berkedudukan di Zürich (Swiss) adalah gabungan ribuan perusahaan dan beberapa LSM yang bertujuan meningkatkan penjualan minyak sawit “berkelanjutan“. Namun, RSPO tidak bisa menghindari penindasan HAM, penebangan dan perampasan hutan. Dari ratusan gugatan yang masuk ke bagian pengaduan, hanya sedikit yang bisa diselesaikan.

LSM dari Indonesia dan Swiss dalam surat terbukanya menuntut agar minyak sawit dari perjanjian perdagangan bebas Swiss dengan Indonesia dihentikan. Perdagangan ini menyebabkan lebih banyak konflik tanah, meningkatnya gas rumah kaca, menimbulkan masalah lingkungan, juga penindasan HAM.

 

 

Exit mobile version