Mongabay.co.id

Lima Tahun Implementasi RTRW, Mencari Model Pembangunan yang Berkelanjutan untuk Orang Papua

Papua memiliki kawasan hutan alam utuh terluas di Asia Tenggara (31 juta hektar). Sekitar 84% penduduknya (atau 1,766 juta orang) secara langsung bergantung pada hutan. Sekitar 50% mata pencaharian penduduk Papua tergantung oleh apa yang terjadi di kawasan hulu hutan.

Dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai USD6 miliar, kekayaan alam dirasa belum berdampak maksimal pada kualitas hidup Orang Asli Papua (OAP). Ini memunculkan paradoks tanah papua, OAP miskin diatas kekayaan alam yang dimilikinya. Mereka tertekan secara politik, tereksploitasi secara ekonomi, termajinalkan secara sosial, dan terlecehkan secara budaya.

Untuk menuju kepada pembangunan berkelanjutan dan tidak mengeksploitasi alam (rendah karbon) adalah dengan membuat satu kebijakan acuan pembangunan lingkungan berkelanjutan yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Papua. Produk hukum ini telah ditetapkan lewat Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Papua Nomor 23/2013.

Baca juga: Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk Selamatkan Sumber Daya Alam Papua

Lewat Perda RTRW, maka dalam durasi dua puluh tahun (2013-2033), Pemerintah Papua siap menempuh jalur pembangunan alternatif yaitu, rendah karbon. Tujuan ‘Visi 100 tahun’ pemerintah Provinsi Papua dan dokumen ‘Cetak Biru untuk Penggunaan Lahan Berkelanjutan’ (sustainable development blue print) bermaksud mengembangkan model ekonomi yang memberikan pertumbuhan yang setara, berkelanjutan secara ekologis, dan meningkatnya kesejahteraan orang asli Papua.

Sebagai ketetapan, produk hukum ini memiliki kekuatan sekaligus keabsahan untuk punishment (hukuman), yakni pemberlakukan sanksi hukum bagi penyimpangan RTRW. Semisal perizinan pengeloaan SDA, bukan saja bagi investor yang memiliki izin usaha, namun juga pemberi izin dalam hal ini pemerintah.

 

Hutan adalah sumberdaya alam penting untuk Papua dan masyarakatnya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Adapun RTRW Provinsi Papua sudah mengadopsi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu:

1.  Pertumbuhan yang berjangka panjang dan merata. Mencegah boom–bust trajectory seperti yang terjadi pada pembangunan perekonomian yang didasarkan pada ekstraksi sumberdaya alam (ketergantungan sumberdaya alam yang sangat tinggi yang membuat sektor manufaktur menjadi terbelakang, dan pertumbuhan serta tingkat kesejahteraan yang rendah);

2.  Memenuhi kebutuhan pembangunan dilihat dari kepentingan untuk rakyat Papua (OAP) dengan tetap menjaga hutan dan lingkungan di samping mengamankan aset-aset karbon; dan

3.  Membangun ketahanan jangka panjang untuk menghadapi pengaruh perubahan iklim dan bencana alam.

Aturan RTRW memberikan perhatian pada pelaku pembangunan di Papua, terutama pejabat publik, untuk tidak seenaknya merencanakan pembangunan dengan mengorbankan sumberdaya alam (hutan) secara sembarangan, juga sekaligus alat proteksi bagi wilayah Papua (hutan dan lingkungan) sekaligus bagi OAP ke masa depan.

Dengan demikian RTRW menjadi sangat penting bagi Papua, karena:

1. RTRW Provinsi Papua menetapkan sasaran ambisius penutupan luas hutan di atas 90%. Kemudian mengurangi areal sebesar 21 persen yang sebelumnya dialokasikan untuk penebangan terencana.

2. Sumberdaya alam Papua amat menggiurkan para investor, baik dari dalam maupun luar negeri. RTRW adalah salah satu regulasi untuk mempertahankan hutan Papua dari tangan-tangan jahil investor skala besar yang hanya mencari untung saja, padahal kegiatannya merusak alam dan hutan;

3. RTRW Provinsi Papua sekaligus memberikan kesempatan bagi orang Papua untuk mempertahankan hidupnya di sekitar hutan supaya tidak punah ditelan peradaban manusia, juga asset dalam bentuk tanah tidak berpindah tangan kepada pihak lain yang sedang gencar-gencarnya menjadikan tanah di Papua sebagai suatu komoditas;

4. Hutan Papua merupakan hutan tropis ketiga terbesar setelah Amazon Brazil dan Zaire-Kongo, namun mengalami kerusakan tercepat di dunia sehingga dirasa perlu ada tindakan preventif menjaga hutan;

5. Hutan Papua sebagai asset “supermarket alam” memiliki keanekaragaman hayati yang perlu dipertahankan, dipelihara sebagai tempat belajar bagi tujuan jangka panjang untuk semua orang (negara) terutama generasi penerus;

6. Hutan Papua merupakan target terakhir pembangunan berkelanjutan dari ekonomi hijau yang sekarang menjadi primadona pembangunan negara-negara maju di seluruh dunia. Papua sedang melakukan lompatan pembangunan (quantum leap) dari ekonomi negara berkembang menuju pada pembangunan ekonomi hijau yang berkelanjutan;

7. Hutan Papua yang masih alami dan lestari, akan membuat arah pembangunan dunia ke depan ditentukan oleh Papua. Papua akan menjadi rujukan pembangunan berkelanjutan dari seluruh negara di dunia. Kearifan lokal akan dipadukan dengan ilmu yang diperolah anak-anak Papua yang sedang melakukan studi di berbagai negara;

8. Solusi pembangunan di Papua yang terus digalakkan untuk mewujudkan kualitas hidup masyarakat yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Pemerintah Daerah dan masyarakat Papua harus siap melakukan perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang mengeksploitasi SDA dan mengabaikan keberadaan lingkungan dan OAP.

 

Kanguru pohon, salah satu satwa endemik di Papua. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Belajar dari Negara Bangkrut Nauru

Arah pembangunan Papua dapat  belajar dari kegagalan di Nauru, sebuah negeri karang atol di wilayah Pasifik. Nauru merdeka sejak tahun 1968, namun rakyatnya kembali miskin saat kekayaan alamnya habis terkuras.

Selama ribuan tahun pulau ini dihuni oleh burung, sehingga guano (kotoran burung) mengandung fosfat membentuk gunung tinggi. Komoditi yang harganya lebih mahal dari emas ini, lalu menjadi primadona ekspor Nauru pada periode 1970-an.

Dari hasil penjualan fosfat terutama ke Eropa, menjadikan masyarakat Nauru semakin kaya, dan menerapkan pola dan gaya hidup masyarakat di negara maju. Nauru pun sempat mendapat julukan“Kuwait-nya Pasifik”. Namun saat guano habis, rakyat Nauru kembali kepada kehidupan semula.

Alam pun rusak akibat eksploitasi berlebihan. Bekas pertambangan fosfat meninggalkan daerah tandus dari batu kapur bergerigi yang tingginya bisa mencapai 15 meter. Pertambangan yang berlangsung telah merusak kurang lebih 80% wilayah negara. Sekitar 40% kehidupan laut mati oleh limpasan lumpur dan fosfat.

Apa yang terjadi di Nauru sesuai dengan Teori Ekonomi “Boom-Bust Trajectory” (teori balon meledak).  Saat suatu wilayah yang memiliki sumberdaya alam yang tak bisa diperbarui dieksploitasi habis-habisan, maka cepat atau lambat manusianya akan mengalami kehidupan yang terdegradasi.

 

Orang Asli Papua (OAP), yang senantiasa tersisihkan dari pembangunan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Evaluasi Lima Tahun RTRW Papua dan Tantangannya

Tahun 2018,  Perda RTRW Papua telah berumur lima tahun, dan menurut ketentuan, sudah saatnya melakukan Peninjauan Kembali (PK). Perlu diakui, masih banyak pihak yang belum mengerti bahkan acuh terhadap keberadaan RTRW Papua.

Oleh karena itu PK yang dilakukan harus diikuti dengan sosialisasi yang konsisten tentang manfaat sebuah RTRW bagi semua pihak sebagai pemangku kepentingan di Papua.

Proses PK pun harus melihat berapa banyak izin yang sudah dikeluarkan bagi perusahaan besar yang operasinya mengancam kelestarian hutan Papua, berapa banyak area luas hutan yang sudah dieksploitasi dan bertentangan dengan izin diberikan, serta berapa luasan area hutan yang sudah berubah fungsinya.

Tidak kalah pentingnya PK harus menetapkan dengan tegas dan jelas batas-batas wilayah sehingga tidak tumpang tindih batas wilayah antara satu instansi dengan lainnya. Untuk itu peta yang diproduksi untuk dipublikasikan minimal skala 1:10.000.

Hal ini penting untuk menghindarkan konflik tatabatas antar kabupaten dan klaim wilayah yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Proses PK perlu merumuskan tindakan sanksi (punishment) terhadap “kesengajaan” yang dibuat sehingga terjadi penyimpangan RTRW. Karena pada kenyataannya masih saja dijumpai kebijakan pemerintah di semua tingkatan dalam pemberian izin lokasi dan izin usaha kepada pengusaha pertambangan dan perkebunan besar, yang pada akhirnya merugikan pihak masyarakat lokal.

Pada 2013, saat rekomendasi RTRW Papua sebagai cikal bakal Perda RTRW ditandatangani oleh Menteri Kehutanan, telah terdapat 13 izin perkebunan skala luas yang dikeluarkan oleh pemerintah. Katakanlah izin perkebunan yang dikeluarkan di Boven Digoel yang mengakibatkan lahan Ara Penggunaan Lain (APL) tersisa hanya sekitar 18% yang layak bagi pembangunan.

Pada tahun yang sama, sekitar 44 izin eksplorasi pertambangan dan perkebunan bagi investor diberikan Pemerintah Provinsi Papua yang tidak sesuai Perda Tata Ruang. Misalnya, kawasan Kusu-Kusu Bongrang di Kabupaten Jayapura, yang menurut RTRW diperuntukan bagi kegiatan industri berat. Namun, ternyata dalam izin investasi berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit skala luas.

Padahal untuk menunjang industri berat di kawasan itu pemerintah telah membangun dermaga ekspor di Teluk Depapre sekaligus jalan penghubung Depapre-Kusu-Kusu Bongrang.

Visi dan misi Papua ke depan saat itu adalah arah pembangunan di Indonesia akan berubah terbalik.  Ketika industri berat ini beroperasi, Papua akan menjadi daerah penghasil yang mendistribusikan material infrastruktur ke daerah lain di Indonesia. Papua bukan lagi sebagai daerah penerima lagi, Papua akan dibaca sebagai halaman depan, bukan halaman belakang seperti yang terjadi selama ini.

Pada tahun itu juga, sekitar 66 izin eksplorasi pertambangan dan perkebunan bagi investor diberikan oleh beberapa kabupaten (seperti: Merauke, Mimika, Yahukimo, Jayapura dan Paniai) yang setelah dicocokan dengan RTRW, banyak yang tumpang tindih perizinannya pada lokasi yang sama.

 

Kasuari, spesies endemik Papua. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Penutup

Presiden RI, Joko Widodo, merancang sembilan agenda prioritas yang disebut Nawacita. Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Poin ketiga dari nawacita itu adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa termasuk Papua, dalam kerangka negara kesatuan.

Orang Papua berada pada posisi strategis untuk memberitahu kepada masyarakat dunia tentang bagaimana kesejahteraan umat manusia dapat dimajukan dan dicapai tanpa harus menebang pohon, tetapi dengan cara melindungi hutan.

Pemerintah Provinsi Papua pun harus sungguh-sungguh berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah konkrit. Termasuk, mengalokasikan dana dan sumberdaya secara pasti dengan melibatkan berbagai pihak (baik dari dalam maupun luar negeri) untuk melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan di Papua, sehingga dapat diwujudnyatakan dengan lebih baik.

Jika tidak dicermati hati-hati, maka pembangunan Papua akan berada pada lintasan pertumbuhan beresiko tinggi, -mengikuti jalur provinsi lain lain di Sumatera dan Kalimantan, yang pembangunannya malah menjadi sebab hancurnya sumberdaya alam secara meluas. Orang Papua perlu belajar tidak hanya lagi tergantung pada kekayaan alam, tanpa adanya kemampuan mengelolanya secara baik.

 

* Drs Alex Rumaseb, MM, peduli alam dan lingkungan Papua, penulis pernah menjabat sebagai Kepala Bappeda Provinsi Papua. Penyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Raperdasi RTRW Provinsi Papua 2010-2030. Artikel ini merupakan opini pribadi penulis.

 

Exit mobile version