Mongabay.co.id

Bukit Batu Pasir Memukau dan Babi Berjanggut di Taman Nasional Bako

Menempati hamparan yang sama di Pulau Kalimantan, Sarawak (Malaysia) memiliki keanekaragaman hayati tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Sebagai bagian jantung Kalimantan, Sarawak merupakan destinasi wisata alam bagi turis mancanegara. Salah satu kawasan yang terkenal adalah Bako National Park.

Taman nasional tertua di Sarawak ini didirikan pada 1957. Kawasan tersebut sebenarnya sebuah pesisir di semenanjung Muara Tebas. Luasannya 2,742 hektar. Dari Kuching, perjalanan dapat ditempuh 45 menit menggunakan speedboat.

Taman Nasional ini buka setiap hari pukul 08.00 sampai 17.00 waktu setempat. Tiket masuk wisatawan asing; Dewasa 20 RM, berkebutuhan khusus 10 RM, anak-anak 6 hingga 18 tahun 7 RM, sedangkan anak-anak di bawah 6 tahun gratis. Plus tiket kapal yang membawa kita menuju Bako.

 

Nasalis larvatus atau bekantan. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Kapal motor cepat yang berkekuatan 45 PK. Kapal akan melintasi sungai yang membelah Sarawak. Sungai ini bermuara di Laut China, sehingga arusnya lumayan deras. “Banyak buaya muara yang berkeliaran di sini,” jelas Kevin Nila, dari Sarawak Tourism Board. Kevin bilang, di waktu tertentu pengunjung bisa melihat gerombolan lumba-lumba atau buaya yang melintas. Waktu terbaik untuk melihatnya pagi hari.

Sepanjang perjalanan, kita disuguhi pemandangan perkampungan tepi air. Penampakan yang tidak berbeda, jika kita melintasi sungai-sungai di Kalimantan. Sarawak Tourism Board menyediakan seorang pemandu wisata menemani perjalanan kami, namanya Ana Cho, usianya 68 tahun. Ana pensiunan polisi.

Sehari sebelumnya, Ana memberitahu kami agar menggunakan pakaian nyaman dan sepatu khusus jelajah alam. Paling tidak menggunakan sepatu olahraga. Topi, handuk kecil, dan air minum merupakan hal wajib lainnya.

 

Kantong semar. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Seperti referensi yang sudah bertebaran di dunia maya, kami disambut keistimewaan taman nasional. Air surut menyebabkan kami harus jalan kaki ke bibir pantai. Pantai yang dikenal dengan sebutan Pantai Pandan Kecil.

Lapisan dinding batu pasir ini terbentuk melalui prosesi alam ribuan tahun. Keindahannya, terpampang jelas di hadapan kami. Cekungan-cekungan batu begitu memukau. “Setiap lapisan menyimpan cerita perubahan cuaca di masa itu,” tutur Ana. Dia berkisah sambil meraba tiap lapisan dinding batu pasir tersebut. Tingginya juga bervariasi, ada yang mencapai 100 meter di atas permukaan laut. Dari jauh pasirnya tampak berkilau.

Ana mengajak kami treking, menyusuri jalan menuju pohon-pohon yang biasa menjadi tempat berkoloninya monyet hidung panjang. Beruntung, tak terlalu jauh ke dalam hutan kami melihat sekelompok bekantan (Nasalis larvatus), yang disebut warga setempat ‘orang Belanda’.

 

Pemandangan indah di Bako National Park. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Bako juga tempat yang seru untuk mengamati burung, lebih dari 150 spesies tercatat di sini. Selain itu, terdapat 316 spesies tumbuhan, 57 jenis mamalia, dan 24 spesies reptil.

Di sepanjang perjalanan, di semak-semak terlihat pula sejenis tanaman kantong semar atau nepenthes. Pada ujung daun terdapat sulur yang dapat termodifikasi membentuk kantong, yaitu alat perangkap yang digunakan untuk memakan mangsanya. Nepenthes ini memakan serangga.

 

Pantai indah yang dikunjungi wisatawan di Taman Nasional Bako. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Pemandangan memukau lain yang ditemui di sini adalah babi hutan berjanggut. Sus barbatus nama latinya. Julukan itu diberikan karena bulunya yang melengkung ke atas dan ke depan, menutupi pipi dan rahang bawahnya. Ada dua subspesies: S. barbatus oi hanya ada di Sumatra, dan S. barbatus barbatus hidup di Semenanjung Malaya dan Kalimantan.

Babi ini mempunyai taring yang bisa mencapai 25 sentimeter panjangnya. Hewan ini tipikal penjelajah, sendiri maupun berkelompok. Hewan ini makan apa saja yang ada tanah. Terutama buah-buahan yang jatuh karena kera, bekantan, atau orangutan.

 

 

Pemandangan alam

Terdapat 16 jalur jalan kaki berkode warna, yang menawarkan berbagai pilihan untuk pejalan kaki. Masing-masing jalur mempunyai tingkat kesulitan tersendiri. Perjalanan dimulai menuju Telok Paku, jalur paling dekat, hanya 800 meter dari tempat istirahat makan di lokasi itu. Selanjutnya, jalan mulai menanjak menyusuri punggung bukit, beberapa track melewati akar-akar pohon.

Ana yang terbilang sudah berumur, masih lincah berjalan. Dia hanya dibantu tongkat, tidak tampak terengah. Di spot tertentu, dia berhenti untuk menjelaskan vegetasi sekitar. Ana menunjukkan buah di tanah, agaknya baru digigit binatang. Dia bilang, kawanan monyet baru saja melalui jalur yang sama. Infonya, terdapat hampir 300 individu bekantan di taman nasional tersebut.

 

Babi berjanggut. Foto: Wikipedia/Art G. from Willow Grove, PA, USA/Creative Commons Atribusi 2.0 Generik

 

Ana juga menunjukkan beberapa pohon terdekat. Ada pasak bumi, rotan, dan pohon menyan. Terdapat pula, pohon sejenis palma yang tumbuh tinggi. Kami juga menyaksikan kemegahan Gunung Santubong. Tadinya kami akan terus ke Telok Assam, namun beberapa teman memutuskan balik kanan.

Di taman nasional ini, terdapat beberapa penginapan dengan berbagai fasilitas. Pengunjung bahkan bisa masak sendiri. Ada juga area kemping, tapi pemandu tidak menyarankan, dan kabarnya sudah ditutup. Pasalnya, monyet kerap mengacak-acak tenda dan barang-barang yang ada.

Untuk fasilitas penginapan, bisa dipilih. Mulai dari rumah khusus untuk yang ingin berbulan madu hingga barak bagi backpacker. Harganya juga beragam, semakin mahal pasti semakin lengkap.

 

 

Exit mobile version