Mongabay.co.id

Bagaimana Kesehatan Terumbu Karang di Perairan Nusa Penida Bali?

Terumbu karang termasuk salah satu ekosistem paling rentan di dunia. Beberapa literatur menyebut faktor pemicu yang mengganggu kesehatan karang diantaranya pemutihan, polusi, dan limbah industri. Juga dapat diakibatkan oleh pembangunan di kawasan pesisir yang tidak memiliki amdal, sedimentasi, predator, penyakit, suhu ekstrim, dan munculnya spesies invasif yang menyebabkan kompetisi antar karang.

Semua hal tersebut dapat menurunkan kesehatan dan menimbulkan stress pada terumbu karang. Namun dari beberapa jenis karang keras yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Scleractinia, pun dijumpai fenomena dimana pada sebagian wilayah karang dapat hidup dan beradapatasi dengan aktfifitas manusia dan perubahan lingkungan yang terjadi disekitarnya.

Untuk mengetahui kesehatan karang, sejak 2008 penulis telah terlibat dalam kegiatan monitoring MRAP (Marine Rapid Assessment Program) di perairan Bali. Dalam kegiatan ini, penulis bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, Kabupaten, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Universitas  Lembaga Swadaya Masyarakat, peneliti asing serta organisasi pecinta lingkungan lainnya.

Dari laporan MRAP bersama, di tahun 2011 ditemukan bahwa kondisi terumbu karang di perairan Bali relatif bagus dengan rata-rata tutupan karang hidup 52,3%. Secara umum terlihat bahwa kondisi terumbu karang di kedalaman 5-7m relatif lebih baik dibanding kedalaman 10-14m.

 

Gambar A. Indikasi invasi/kompetisi pada karang Acropora sp (Foto 13 Oktober 2013). Gambar B dan C. Foto hasil monitoring 9 Mei 2018, Merah: Invasi karang lunak Xenia sp = 80% pada karang Acropora sp, Kuning: 20 % Invasi karang lainnya dari jenis Montipora sp, Cyanobacteria dan indikasi penyakit lainnya. Foto: E.E. Ampou.

 

 

Kegiatan Monitoring dan Karang Mati di Crystal Bay

Secara khusus, area yang menjadi fokus kajian pengamatan secara kontinyu di Bali adalah Crystal Bay. Lokasi ini terletak di Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 24/2014 dan Peraturan Bupati Klungkung Nomor 12/2010 Crystal Bay telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.

Selain ekosistem terumbu karangnya yang indah, area penyelaman ini dikenal baik wisatawan lokal maupun mancanegara dengan ikan Mola-mola (sun fish) yang muncul pada kurun waktu Juli – November setiap tahunnya.

Selama periode 2011 sampai dengan 2018, dengan metode sensus visual menggunakan kamera bawah air, kondisi terumbu karang di Nusa Penida, khususnya Crystal Bay berada dalam kategori sehat, dimana karang mampu beradaptasi dengan baik.

Berdasarkan data alat pengukur suhu (temperature logger) yang diletakkan di salah satu karang dari jenis Acropora sp pada kedalaman 8 meter di titik penyelaman Crystal Bay sejak tahun 2011-2018, rata-rata suhu berkisar 21,19o hingga 29,78oC. Data ini menunjukkan temperatur berada dalam kondisi yang signifikan normal, dimana ekosistem terumbu karang dapat hidup dan tumbuh dengan sehat pada kondisi tersebut.

 

Karang yang sehat dari jenis Acropora sp yang diambil pada tanggal, 13 Oktober 2012 dan alat pengukur suhu (hobo temperatur logger) yang diikat pada salah satu cabang. Foto: E.E. Ampou

 

Namun ada hal yang menarik di sini. Saat penulis melakukan kegiatan monitoring pada 9 Mei 2018, karang Acropora sp tempat alat temperature logger diletakkan, saat ini kondisinya hampir 80% didominasi oleh karang lunak (Octocorallia) dari jenis Xenia sp. Sisanya, sekitar 20% dari Acropora sp itu juga telah diinvasi oleh karang dari jenis Montipora sp. Juga dapat dijumpai beberapa koloni karang mati yang ditutupi oleh Cyanobacteria yang mengindikasikan bahwa karang telah terkena penyakit.

Kasus seperti ini pernah dijumpai di Britomart Reef, wilayah tengah Great Barrier Reef, Australia oleh Sammarco et al pada tahun 1985. Di lokasi itu, secara signifikan karang lunak tumbuh dan berkembang pada karang Scleractinia yang mati akibat kompetisi. Hal ini serupa dengan kondisi karang Acropora sp yang dijumpai di perairan Crystal Bay saat ini.

Penulis merekomendasikan survey periodik kontinyu perlu dilakukan untuk mengetahui langkah-langkah mitigasi. Penelitian lebih lanjut pun diperlukan untuk mengkaji apakah diperlukan pembuatan terumbu buatan di area ini. Monitoring lebih lanjut juga diperlukan untuk mengetahui apakah jenis Acropora sp dapat pulih kembali (resilience) atau dinyatakan secara total telah mati.

Langkah-langkah itu perlu dilakukan agar ekosisten terumbu karang di perairan Bali dan Indonesia, -yang termasuk ke dalam pusat segitiga karang (Coral Triangle Center) yang adalah pusat keanekaragaman karang tertinggi di dunia, dapat terus lestari.

 

 

Eghbert Elvan Ampou, PhD, Camelia Kusuma Tito, M.Si, ** Dr. Ofri Johan, M.Si

*Penulis adalah peneliti pada tim penelitian Dinamika Pesisir di Balai Riset dan Observasi Laut, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Negara, Jembrana, Bali, Indonesia. 

**Peneliti pada Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Kementerian Kelautan dan Perikanan

 

 

Exit mobile version