Mongabay.co.id

Mereka Terus Suarakan Penyelamatan Tumpang Pitu dari Tambang Emas

Pemandangan di lokasi pertambangan emas Tumpang Pitu, Banyuwangi.Foto: BaFFEL/ Mongabay Indonesia

 

Stop gold mining activity at Mount Tumpang Pitu, Banyuwangi ” Begitu bunyi spanduk terpampang dalam aksi Komunitas Nelayan Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesangrahan, Banyuwangi, Jawa Timur, pada 3 Juni 2018.

Dalam aksi sekaligus memperingati  Hari Lingkungan Hidup 5 Juni ini, nelayan pakai jukung (perahu tradisional) sebagai sarana aksi.

Dengan jukung, mereka melintasi Laut Selatan menuju Pulau Mustaka, lalu ke Pantai Wisata Pulau Merah.

Dadang, nelayan Pancer mengatakan, kekhawatiran mereka kalau Gunung Tumpang Pitu dikeruk bakal berdampak pada pencaharian nelayan. Dia juga khawatir ada tsunami seperti 1994. Pada 3 Juni 1994, Dusun Pancer, pernah porak poranda diterjang tsunami.

Hingga kini, katanya, para korban selamat dari tsunami 1994, masih trauma. “Mereka khawatir jika hal itu terulang,” katanya dalam rilis kepada media.

Untuk itu,  mereka wajib mempertahankan Tumpang Pitu sebagai benteng alami dari tsunami.

Zainal Arifin, pegiat pariwisata di Pulau Merah, mengatakan, pernah banjir lumpur pada Agustus 2016 diduga berhubungan dengan kegiatan penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu. Kala hujan deras, air bercampur tanah langsung turun masuk ke sungai, menerjang Pantai Wisata Pulau Merah.

Kala tambang terus jalan, katanya, permukiman penduduk sekitar Pulau Merah,  terancam. Tak hanya itu, kunjungan wisatawan juga bisa berpengaruh hingga berdampak pada pendapatan pariwisata kelolaan masyarakat sekitar Pulau Merah.

Perjuangan warga mempertahankan Tumpang Pitu dari eksploitasi tambang emas, terus dilakukan lewat berbagai cara.

 

Misteri logo BKSDA

Sebelum aksi Komunitas Nelayan pancer itu, para aktivis lingkungan tergabung dalam Forum Komunikasi  Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Korda Jawa Timur, mengecam pemasangan logo Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam wilayah Jawa Timur dalam buku Satwa Liar di Operasi Tujuh Bukit yang diterbitkan PT. Bhumi Suksesindo (BSI). Buku itu rilis 22 Mei 2018 di Banyuwangi.

Dalam pernyataan sikap, FK3I Korda Jatim melayangkan kritik keras atas dugaan kerjasama itu. Tindakan BBKSDA Jatim dinilai turut mendukung perusakan hutan di Tumpang Pitu, terkait pertambangan emas BSI.

 

Aksi Komunitas Nelayan Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesangrahan, Banyuwangi, Jawa Timur, pada 3 Juni 2018. Foto: Komunitas nelayan Dusun Pancer

 

BSI merupakan perusahaan pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) eksploitasi produksi sejak 2012, dengan konsesi 4.998 hektar. Ia anak perusahaan PT. Merdeka Copper Gold, TBK. Selain itu, Merdeka Copper Gold juga memiliki anak perusahaan bernama PT. Damai Suksesindo (DSI) yang melakukan eksplorasi di blok Gunung Salakan dengan konsesi seluas 6.623,45 hektar. Kedua perusahaan ini ada di satu kecamatan sama, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.

Pada 10 Oktober 2012, Bupati Abdullah Azwar Anas mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan lindung seluas 9.743,28 hektar yang terletak di BKPH Sukamade, Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi, menjadi hutan produksi tetap.

Atas pengajuan ini, Menteri Kehutanan, saat itu dijabat Zulkifli Hasan mengabulkan sekitar 1.942 hektar. Dia mengeluarkan surat keputusan tertanggal 19 November 2013, soal perubahan fungsi antarfungsi pokok kawasan hutan dari lindung jadi HPT. Dari 1.942 hektar yang dikabulkan itu, masuk dalam konsesi pertambangan emas milik BSI.

Arie Restoe, Koordinator Daerah FK3I Jatim, mengatakan, permasalahan ini mencederai para pegiat lingkungan terutama kader konservasi. Mengingat selama ini, BBKSDA Jatim merupakan mitra dalam setiap kegiatan konservasi.

“Secara tupoksi, BBKSDA adalah sebagai pelestari. Jujur sangat kecewa ketika logonya harus bersanding dengan logo perusahaan yang memang kita tahu merusak lingkungan. Apalagi, FK3I dari dulu juga turut serta dalam advokasi bersama warga dalam menolak pertambangan emas di Tumpang Pitu.”

Keberadaan pertambangan emas ini sedari awal menimbulkan kontroversi. Awalnya saja sudah mengkonversi hutan lindung jadi hutan produksi. “Kami khawatir logo itu hanya dipakai untuk image bahwa perusahaan tambang ramah lingkungan.”

Nandang Prihadi,  Kepala BBKSDA Jatim, ketika dikonfirmasi menyatakan, belum ada perjanjian khusus soal pencantuman logo dalam buku BSI.

Sejauh ini, katanya, BSI hanya meminta izin agar logo instansi bersedia dicantumkan dalam terbitan buku mereka terkait satwa liar.

Nandang mengajukan persyaratan, sebelum naik cetak BBKSDA akan evaluasi terhadap isi buku itu.

“Sampai sejauh ini belum ada perjanjian apapun. Karena seharusnya draf final buku itu dikirimkan terlebih dulu ke kami untuk dibaca dan dievaluasi sebelum masuk cetak.”

 

 

Untuk membaca dan evaluasi, katanya, memerlukan waktu. “Draf buku memang dikirimkan. Baru dua hari diterima, sudah keburu dicetak tanpa koordinasi terlebih dulu dengan kami.”

Dia bilang, BBKSDA belum selesai cek dan evaluasi. “Tiba-tiba dikasih undangan untuk launching dan bedah buku. Ini tentu saja tidak sesuai janji. Karena itu, kita sampaikan agar peluncuran ditunda dulu sembari menunggu proses evaluasi selesai.”

Menurut  Nandang, jika sesuai prosedur, apabila proses cek dan evaluasi selesai, BBKSDA akan mengundang BSI membuat surat pernyataan komitmen sesuai kesepakatan untuk upaya konservasi, seperti monitoring, inventarisasi satwa, menjaga habitat dan selalu pelaporan rutin.

Nandang menilai, tindakan BSI mencederai kesepakatan awal.

“Kami memang ada yang datang di acara launching dan bedah buku itu, namun kapasitas tidak sebagai perwakilan dari BBKSDA Jatim. Mereka datang hanya untuk memastikan dan memantau acara betul ditunda. Perwakilan juga tidak mengisi buku absen. Ketika acara benar-benar tidak dilaksanakan, mereka langsung pulang tanpa mengikuti sampai selesai.”

Soal kritikan dari para aktivis lingkungan dan kader konservasi, Nandang berjanji menampung segala masukan serta kritik untuk mencari solusi bersama.

Iwa Muliawan, Divisi Lingkungan, Superintendent Departemen Environmental, BSI, ketika dikonfirmasi Mongabay, membantah rilis dan bedah buku ditunda karena masih belum selesai permasalahan logo dengan BBKSDA Jatim.

Dia mengaku, soal logo sudah selesai karena telah mengajukan izin kepada instansi yang bersangkutan.

“Pencantuman logo ini sebenarnya bukan tanpa izin. Tapi memang kegiatan ini mentor dan pengawasan ada di bawah naungan BBKSDA Jatim, khusus yang berkaitan satwa liar. Launching dan bedah buku tidak ditunda, tetap berjalan. Yang ditunda hanyalah pendistribusian buku. Karena masih akan kita koordinasikan lagi ke mana buku itu akan dibagi.”

“Perwakilan dari mereka juga tadi hadir. Tapi hanya bisa mengikuti acara pembukaan, tidak sampai ke bedah buku. Karena harus bagi waktu dengan kegiatan di Ijen bersama anggota dewan.”

Mahasiswa Politeknik Negeri Banyuwangi, Fitri, yang kebetulan hadir dalam acara, membenarkan, bedah buku masih berlangsung. Penundaan hanya pada pembagian buku, yang dijanjikan seminggu kemudian.

Bedah buku berlangsung sebentar, lebih banyak diisi paparan profil perusahaan. Selain itu, dalam susunan acara seharusnya ada perwakilan BBKSDA Jatim dan Dinas Lingkungan Hidup yang memberikan sambutan, namun langsung dipotong ke paparan perusahaan dan bedah buku.

 

 

Tetap aksi

“Kami tidak butuh tambang, kami hanya petani yang menyambung hidup dari tanah dan air.”

Tulisan itu terpampang dalam sebuah baliho besar. Ia terletak tepat di bawah sketsa petani yang memanggul cangkul dengan ilustrasi truk dan alat berat yang terbakar. Sebuah simbol ketertindasan yang menggambarkan penderitaan selama ini. Ada juga yang memegang banner bertuliskan, “Stop Kriminalisasi Aktivis Lingkungan Hidup, Bebaskan Budi Pego”.

Baliho ini diusung dari Lapangan Sumbermulyo menuju perempatan pasar sapi, Pesanggaran. Jarak sekitar 100 meter. Warga bergotong royong mempersiapkan aksi mulai pukul 15.30, pada 20 Mei lalu bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Aksi ini diakhiri dengan buka puasa bersama.

Meskipun memasuki Ramadhan, aksi demi aksi menyoal penolakan tambang emas di Tumpang Pitu Banyuwangi terus berjalan. Selain pernyataan sikap, aksi ini bentuk solidaritas dan dukungan moral untuk Budi Pego.

Budi adalah salah satu warga penolak tambang yang terpidana karena dianggap lakukan kejahatan terhadap keamanan negara. Dia dikenai putusan menyebarkan ajaran komunisme atau Marxisme–Leninisme terkait muncul spanduk berlogo palu arit dalam aksi penolakan pertambangan emas Tumpang Pitu, 4 April 2017. Pada 23 Januari 2018, vonis Budi 10 bulan penjara di Pengadilan Negeri Banyuwangi.

Budi mengajukan kasasi atas putusan PN Jawa Timur kepada Mahkamah Agung. Tim kuasa hukum Budi menyerahkan memori kasasi melalui PN Banyuwangi 25 April 2018, didampingi keluarga dan beberapa warga penolak tambang emas. Budi memutuskan,  kasasi karena tak puas putusan PN Jatim.

Sementara itu, tiga konsorsium bank internasional yakni Societe Generale Asia Limited (SGAL) Hongkong, BNP Paribas Singapura dan HSBC limited pada 19 Februari lalu mendanai pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu. Mereka mengucurkan pinjaman US$50 juta.

Solidaritas datang dari tenaga kerja Indonesia di Hong Kong. Mereka protes di depan HSBC Hong Kong. Tiga TKI asal Kecamatan Pesanggaran ini aksi di depan HSBC Hongkong, 20 Mei lalu.

Mereka meminta, HSBC menghentikan pinjaman kepada BSI karena khawatir merusak Banyuwangi.

 

Kekhawatiran warga terjadi dengan kehadiran tambang. Muara penuh lumpur. Dokumentasi 16 Agustus 2016 oleh Pokmas Pariwisata Pulau Merah/ Yogi Turnando

 

Rosdi Bahtiar Martadi,  anggota Komunitas Pencinta Alam dan Pemerhati Lingkungan (Kappala), mengatakan, aliran dana dari SGAL Hong Kong, BNP Paribas Singapura dan HSBC Limited kepada korporasi tambang emas Tumpang Pitu, bisa terlihat sebagai keterlibatan dana asing dalam perusakan hutan lindung Indonesia.

Rosdi mengajak seluruh elemen masyarakat membuat tiga konsorsium bank internasional ini tahu, bahwa,  korporasi yang mereka bantu telah menabrak kawasan konservasi, sekaligus juga wilayah penting dalam sejarah Blambangan.

Rosdi bilang, pertambangan emas di Tumpang Pitu itu tragedi, tak hanya bagi ekologi Banyuwangi Selatan, juga sejarah tlatah Blambangan.

Berdasarkan Babad Tawangalun, Tumpang Pitu adalah tempat Wong Agung Wilis (pahlawan Banyuwangi) olah batin sebelum mengkonsolidasi pasukan. “Mari kita desak SGAL, BNP Paribas, dan HSBC jangan memodali korporasi di Tumpang Pitu,” katanya.

Arie Restoe, turut mengajak semua pihak mendesak ketiga bank menghentikan penyaluran dana kepada perusahaan yang menambang emas di hutan lindung Tumpang Pitu.

“Memodali perusahaan yang menambang emas di Tumpang Pitu berarti membiayai kerusakan hutan Indonesia. Pulau Jawa ini hutannya sudah tinggal sedikit. Untuk keseimbangan ekologi sebuah pulau, Jawa ini perlu hutan,” katanya.

Dari hutan Jawa tersisa itu, katanya, harus terjaga baik bukan malah merusaknya.

 

Keterangan foto utama: Pemandangan di lokasi pertambangan emas Tumpang Pitu, Banyuwangi.Foto: BaFFEL/ Mongabay Indonesia

Aksi solidaritas warga Banyuwangi tolak tambang emas Tumpang Pitu, PT Bumi Suksesindo, kala sidang putusan Budi Pego di PN Banyuwangi, Selasa (23/1/18). Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version