Mongabay.co.id

Sirkus Lumba-lumba, Edukasi atau Eksploitasi?

Sejumlah poster dan spanduk menghiasi beberapa lokasi strategis di Kota Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Isinya mengenai informasi pentas Lumba-lumba (Delphinus capensis) di Kota Purwokerto yang dimulai pada 13-29 Juni mendatang. Penyelenggaranya adalah Wersut Seguni Indonesia (WSI) yang diketahui berasal dari Kendal. Lembaga itu tercatat sebagai lembaga konservasi satwa dan tumbuhan yang berdiri sejak 1999 silam.

Rencana itulah yang kemudian memicu aksi demonstrasi yang dilaksanakan oleh mahasiswa dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Bahkan, sebelum turun ke jalan pada Jumat (8/6/2018) sore, mereka telah mengadakan berbagai macam diskusi dan konsolidasi karena mahasiswa melihat persoalan sirkus lumba-lumba merupakan masalah yang urgen.

baca : Atraksi Lumba-lumba, Pertunjukan yang Kental Eksploitasi Ketimbang Edukasi

 

Para mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsoed saat berdemo di Taman Kota Andhang Pangrenan, Purwokerto pada Jumat (8/6/2018). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dalam rilis yang disampaikan oleh Keluarga Besar Mahasiswa FPIK Unsoed, mereka mengecam kegiatan sirkus lumba-lumba tersebut, karena jelas-jelas memperlakukan satwa langka yang dilindungi secara tidak layak, apalagi di dalam kolam pertunjukan. Lumba-lumba yang ditaruh di kolam menetap saja sudah ‘stress’ dan akan memperpendek umur lumba-lumba. Apalagi kalau dilakukan secara berkala serta berpindah-pindah tempat. Bahkan, dari catatan para mahasiswa FPIK tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara terakhir di dunia yang masih mengizinkan pertunjukkan lumba-lumba.

Pada bagian lain, FPIK juga menyoroti soal sarana dan prasarana yang dipakai untuk atraksi lumba-lumba jauh dari kata layak jika dibandingkan dengan habitat asli lumba-lumba. “Kami telah investigasi ke sana (lokasi), ternyata kolam lumba-lumba hanya terbuat dari terpal. Ini jauh dari kata layak. Bentuk dari fungsi edukasi lembaga konservsi tidak dapat diartikan melalui bentuk eksploitasi di mana lumba-lumba dijadikan sebagai satwa yang beratraksi dalam sirkus,” tegas Koordinator Aksi Hans Kevin di sela-sela aksi.

Ada 30 mahasiswa yang ikut aksi menolak antraksi lumba-lumba di Purwokerto. Dua panduk bertuliskan “Save Dolphin” dan “Stop Sirkus Lumba-lumba”. Selain itu, ada puluhan poster yang dibawa oleh massa aksi. Di antaranya bertuliskan “Menonton Sirkus Lumba-lumba = Menyaksikan Lumba-lumba Disiksa”, kemudian “Pentas Lumba-lumba tidak Pantas”, Usia Lumba-lumba di Alam 40 Tahun, di Kolam Hanya 5 Tahun dan lainnya.

baca : Serukan Warga Tak Nonton Sirkus Lumba-lumba, Koalisi: Itu Eksploitasi Satwa Berkedok Edukasi

 

Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsoed mengangkat poster protes atraksi lumba-lumba di kota Purwokerto, Banyumas, Jateng pada Jumat (8/6/2018). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Para mahasiswa mengatakan sebetulnya ada pelarangan atraksi yang tertuang dalam surat Dirjen PHKA No.S 388/IV/KKH/2013 tanggal 19 Agustus 2013 yang ditembuskan kepada Menteri Kehutanan ketika itu. Isinya BKSDA Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta berkewajiban untuk menertibkan dan menghentikan segala kegiatan pertunjukkan lumba-lumba di wilayah kerja masing-masing dan mengambil tindakan untuk menarik kembali satwa-satwa ke Lembaga Konservasi asalnya, serta tidak mengeluarkan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN) bagi pertunjukkan lumba-lumba.

Pada Peraturan Pemerintah No.7/1999 pasal 22 mengenai fungsi dari lembaga konservasi yaitu sebagai sarana edukasi dalam bentuk taman khusus atau pun kebun binatang. Dalam peraturan tersebut tidak disinggung sama sekali keterkaitan untuk memanfaatkan satwa langka untuk keperluan sirkus apalagi untuk dikomersialisasikan.

Oleh karena itu, Keluarga Besar Mahasiswa FPIK UNSOED sepakat mengecam keras diselenggarakannya sirkus dalam mengeksploitasi lumba-lumba dan satwa langka lainnya. “Kami juga menuntut pemerintah setempat dalam hal ini pemerintah Banyumas untuk mencabut izin atraksi lumba-lumba sesuai dengan Surat Edaran Dirjen PHKA No.S 388/IV/KKH/2013,” demikian bunyi pernyataan sikap Keluarga Besar Mahasiswa FPIK Unsoed.

Lalu bagaimana sikap dari BKSDA Jateng? Saat dikonfirmasi, Kepala BKSDA Jateng Suharman mengatakan secara legalitas, pelaksanaan sirkus lumba-lumba masih sesuai dengan ketentuan yang berlaku. “Berdasarkan PP No.8/1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) disebutkan kalau salah satu bentuk pemanfaatan satwa dilindungi adalah peragaan satwa baik di dalam maupun luar negeri. Peragaan satwa dilindungi dapat dilakukan setelah diterbitkannya izin peragaan satwa oleh Dirjen KSDAE KLHK, salah satunya kepada lembaga konservasi baik di areal maupun di luar lembaga konservasi,” ujar Suharman.

Khusus untuk satwa lumba-lumba, lanjut Suharman, ada pedoman peragamannya sendiri melalui Perdirjen KSDAE. “Jadi, dari sisi aturan, atraksi lumba-lumba masih “on the track”. Namun, kami tetap akan menurunkan tim untuk melakukan pengecekan terkait dengan kondisi air, kadar garam dan lainnya,” katanya.

baca : Resahnya Aktivis Lingkungan pada Pertunjukan Sirkus Lumba-lumba

 

Lokasi tempat atraksi lumba-lumba di Purwokerto, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Suharman juga membantah kalau sirkus lumba-lumba tersebut merupakan upaya eksploitasi satwa. “Jangan dikatakan sebagai eksploitasi satwa, karena kan itu dalam rangka pendidikan konservasi. Dan semuanya telah diatur secara formal.  Masyarakat Indonesia secara umum, juga belum tahu lumba-lumba secara langsung. Dengan adanya pendidikan konservasi seperti itu, maka mereka bisa lihat langsung tanpa harus ke laut,”imbuhnya.

Dihubungi secara terpisah, Koordinator Pelaksana Atraksi Lumba-lumba dari WSI Dani Satria mengungkapkan bahwa pihaknya tidak mungkin menyelenggarakan kalau tidak memiliki izin dari yang berwenang. “Kita dapat menggelar acara atraksi lumba-lumba ini karena telah mempunyai izin. Kalau kita ilegal. Tentu saja tidak boleh. Yang kami bawa ke sini ada dua lumba-lumba. Kalau di WSI mempunyai 10 lumba-lumba, karena menangkarkan juga. Penangkarannya ada di Kendal,” kata Deni.

Ia mengatakan, lumba-lumba yang dibawa ke sini untuk melakukan atraksi benar-benar sehat. Pengangkutannya juga dengan perlakuan khusus. Untuk kolam atraksi diameternya mencapai 10 meter dengan kedalaman hingga 2,5 meter. Dan itu sesuai dengan ketentuan. “Kita juga menyiapkan dokter hewan untuk memantau kesehatan lumba-lumba. Meski setiap harinya nanti ada atraksi empat kali, tetapi setiap kali atraksi, tidak sampai setengah jam. Karena sekali sesi atraksi selama satu jam, ada empat satwa yang beraksi di antaranya adalah linsang dan beruang madu,” ungkapnya.

baca :  Ketika Pecinta Satwa Protes Angkut Lumba-lumba buat Sirkus Keliling, Ini Alasannya?

 

Bottlenose dolphin, jenis lumba-lumba yang banyak digunakan untuk pertunjukan di Indonesia. Foto: Wikimedia Commons/NASA/Public Domain

 

Dani mengatakan bahwa atraksi lumba-lumba merupakan bagian dari pendidikan konservasi dengan mengenalkan satwa cerdas kepada anak-anak. “Dari mana mereka tahu kalau tidak ada gelaran acara semacam ini. Jelas, tidak semua orang bisa melihat lumba-lumba di habitatnya di laut. Makanya, dengan menggelar atraksi ini, mereka akan mengenal satwa jenius Indonesia itu,” tandasnya.

Acara yang diklaim sebagai pendidikan konservasi dengan atraksi lumba-lumba tidaklah gratis, karena penontonnya ditarik tiket Rp40 ribu. Biaya itu untuk pemeliharaan dan memberi makan lumba-lumba. Jadi sebetulnya, apakah klaim pendidikam konservasi benar adanya ataukah ada unsur eksploitasi? Tetap saja pro dan kontra.

 

 

Exit mobile version