Mongabay.co.id

Kota Gorontalo, Perkembangan Kota dibalik Bayang Ancaman Bencana (Bagian 1)

Pengantar redaksi: Memperingati Hari Lingkungan Hidup, Mongabay Indonesia bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo, Perkumpulan Japesda (Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam), serta Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Gorontalo pada tanggal 5 Juni 2018, mengadakan diskusi bertema “Infrastruktur dan Daya Dukung Lingkungan di Kota Gorontalo”. Berikut rangkumannya.

 

Kota Gorontalo adalah salah satu kota tua yang penuh sejarah di Sulawesi. Wilayahnya bermuara diantara dua sungai utama yaitu Sungai Bone dan Bolango, yang hulunya berada di Kabupaten Bone Bolango. Selain pesisir, maka sebagian wilayahnya berada di area pegunungan. Kota Gorontalo juga memiliki areal persawahan, meski luasnya semakin berkurang setiap tahunnya.

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 40/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota 2010-2030, luas wilayah administrasi Kota Gorontalo adalah 139,87 kilometer persegi. Jumlah itu terdiri atas daratan seluas 79,03 kilometer persegi, dan lautan seluas 60,84 kilometer persegi yang meliputi sembilan kecamatan.

Saat ini Perda tersebut sedang dalam proses revisi, seiring dengan finalisasi revisi RTRW Kota Gorontalo, sebagaimana diatur melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 6 tahun 2017.

Tantangan yang dihadapi oleh Kota Gorontalo saat ini adalah semakin pesatnya pusat perekonomian dan pembangunan. Investasi pun bertumbuh berkompetisi dengan keterbatasan ruang.

“Berdasarkan analisis yang kami lakukan, kesesuaian lahan di Kota Gorontalo tidak memungkinkan lagi. Ini akan menjadi ancaman dikemudian hari jika tidak diatur tata ruangnya dengan baik,” ungkap Sardi Salim, akademisi dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG), dan juga tenaga ahli tata ruang Provinsi Gorontalo yang hadir dalam diskusi.

Menurut Sardi, Kota Gorontalo adalah salah satu wilayah yang memiliki rutinitas bencana, terutama banjir. Dengan topografi dataran rendah hingga pegunungan ditambah penataan drainase yang kurang baik, maka ketika intensitas hujan tinggi sering mengalami peningkatan debit air dan terjadi banjir.

Jika melihat peta Kota Gorontalo, kawasan ini sangat dekat dengan outlet kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai) besar, seperti DAS Bolango dan DAS Bone. Hal ini juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kebencanaan di Kota Gorontalo.

“Di bagian hulu banyak terjadi alih fungsi lahan menjadi kawasan perkebunan, terutama perkebunan jagung. Saat kami survei lapangan, degradasinya terlalu besar dan lahan kritisnya mencapai 75 persen. Aktifitas yang dilakukan orang per orang berdampak pada kita semua. Ini juga hal yang perlu diatur dalam RTRW,” jelas Sardi.

 

Bencana di Depan Mata

Pada tanggal 2-4 Juni 2017, banjir berdampak pada 4.000 kepala keluarga atau 14.965 jiwa di Kota Gorontalo. Seperti dilansir Okezone.com (15 Juni 2017), Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kota Gorontalo, Endo Junus Danial, menyebutkan Kecamatan Hulondalangi menjadi daerah dengan korban terbanyak yakni 5.017 jiwa atau 704 kepala keluarga.

Banjir telah menerjang tujuh kecamatan yang tersebar di Kota Gorontalo dan membuat pemerintah setempat terus menyalurkan bantuan berupa beras dan paket kebutuhan rumah tangga kepada korban banjir.

Baca juga: Model Pembangunan Abai Lingkungan Picu Bencana di Gorontalo

Kawasan penyerapan air di Kota Gorontalo pun begitu kritis. Demikian pula dengan kondisi air tanah yang telah terancam. Beberapa sungai di kawasan DAS ketika hujan debitnya tinggi, namun saat tidak hujan sungainya surut. Hal ini mengancam air baku, karena sebagian besar air minum besar berasal dari air baku sungai tersebut.

“Waktu kami berkunjung di kawasan Limboto kondisinya sangat memprihatinkan. Saat hujan turun semuanya sebagian besar jadi run off (aliran atas tanah), dan ini yang menjadi penyebab banjir. Sebab tidak ada yang meresap ke dalam tanah, sementara hutan sudah digunduli, Ruang Terbuka Hijau (RTH) kita sudah banyak yang hilang,” ungkap Sardi.

 

Kondisi drainase di Kota Gorontalo yang buruk, penyebab banjir di musim penghujan. Foto: Chris Paino

 

Dilema Pembangunan

Irena Utiarahman, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Gorontalo, yang hadir pada diskusi tersebut menanggapi. Pemda Kota Gorontalo jelasnya memiliki pertimbangan yang dilematis. Di satu sisi sudah berkewajiban mempertahankan kawasan lindung, seperti sawah, tapi satu sisi Kota Gorontalo ingin maju, sejalan dengan datangnya investor.

Jelasnya, sebagai ibukota provinsi, Kota Gorontalo tidak bisa menghindari pertumbuhan penduduk. Banyak orang datang bekerja, dan berinvestasi. Irena pun mengutip perkataan Pejabat Sekretaris Daerah Kota Gorontalo yang tidak ingin wilayah kota hanya sekedar menjadi kota tua penuh kenangan, namun menginginkan transformasi menjadi kota yang menarik.

“Nah, kota menarik itu seperti apa? Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah buat kami di Bidang Tata Ruang, misalkan bagaimana mengatur RTH-nya. Sekarang lahan semakin sempit, banyak dibangun gedung dan berdampak pada makin berkurangnya lahan hijau,” ungkap Irena.

Dia pun tak menampik jika masih ada masalah dengan aturan dalam RTRW.

“Untuk mengeluarkan izin berdasarkan RTRW itu belum terlalu maksimal. Sebab dalam RTRW hanya menyebut bahwa ini salah, itu tidak bisa. Itupun diatur dari sempadan bangunannya saja. Tidak diatur lebih detail,” jelas Irena.

Menurutnya perizinan itu idealnya harus melihat RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) yang memiliki skala 1 : 5000 yang lebih rinci. Amat jauh jika dibandingkan dengan peta RTRW yang skalanya 1 : 25,000.

 

Banjir di Kota Gorontalo beberapa tahun lalu. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Tumpang Tindih

Dalam sebuah laporan penelitian yang ditulis Suwitno Imran dalam Jurnal Dinamika Hukum (September, 2013), Suwitno menjelaskan pemanfaatan fungsi tata ruang demi kelestarian lingkungan hidup di Kota Gorontalo belum sesuai dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Khususnya Undang-undang Tata Ruang dan Undang-undang Lingkungan Hidup.

Selain itu, pemanfaatan fungsi tata ruang demi kelestarian lingkungan hidup di Kota Gorontalo belum memperhatikan analisis yang didasarkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Hal ini disebabkan pemanfaatan tata ruang seperti kawasan-kawasan yang ada selama ini masih tumpang tindih dengan arah kebijakan yang diambil Pemerintah Kota.

Adapun kendala yang dihadapi dalam melaksanakan fungsi tata ruang bagi lingkungan hidup di Kota Gorontalo adalah rencana yang tersusun tidak memperhitungkan keserasian, keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Akibatnya muncul berbagai konflik.

“Selain itu tidak adanya ketegasan hukum bagi siapa yang melanggar perintah undang-undang tata ruang dan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya pengambil kebijakan sendiri, masyarakat, dan juga pengusaha,” ungkap Suwitno dalam penelitiannya.

 

Lanjutan artikel ini dapat dibaca pada tautan ini.

 

 

Exit mobile version