Mongabay.co.id

Berharap Tegaknya Aturan Pengembangan Perumahan dan Tata Ruang Kota Gorontalo (Bagian-2)

Sebagai seorang dosen dengan bidang keilmuan lingkungan dan pengembangan wilayah di Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Sardi Salim telah banyak terlibat dalam penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) di Kota Gorontalo.  Pembangunan jelasnya, tidak bisa asal jadi bangun saja tanpa memperhatikan aspek kesesuaian lingkungan dan lahan.

Kajian lingkungannya pun bermacam. Untuk pembangunan berbasis objek, maka dokumen lingkungannya harus ada UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup). Untuk pembangunan berbasis kawasan diperlukan Amdal. Sedang jika berbasis wilayah harus ada KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis).

Pembangunan harus mengatur apakah lokasi proyek sudah tepat. Jika tidak, akan tentu ini merupakan pelanggaran. Dalam Undang-undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang telah diatur sanksi berupa ancaman penjara dan denda. Termasuk, jika ada aparat yang memberikan izin terhadap ruang yang tidak sesuai peruntukkan, mereka juga harusnya dikenai sanksi.

“Tapi yang saya lihat kadang dokumen lingkungan sering tidak diperhatikan. Sekarang banyak yang kita temui, menafikan kajian lingkungan,” tutur Sardi. Di Gorontalo, ungkap Sardi, berbagai pelanggaran belum ada yang ditindak, termasuk bagi mereka yang membuka lahan di atas kemiringan 30 derajat.

Sultan Ali, seorang warga kota Gorontalo yang ikut diskusi, mengaku geram dengan aturan tata ruang yang tidak jelas.

“Saya korban banjir. Hujan lima menit saja langsung tergenang. Rumah saya dekat pembangunan kawasan perumahan elit. Dari mana izin-izin itu bisa keluar?” tanya Sultan.

Dia merujuk pada satu kawasan perumahan elit yang sedang dibangun dan izin pembangunan hotel bintang lima di dekatnya. Dahulu wilayah itu adalah daerah persawahan dan area resapan.

Mencermati hal pengurusan izin pembangunan, Irena Utiarahman, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Gorontalo, yang hadir dalam diskusi menyebut seharusnya jalurnya sudah berada di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).

Namun karena tim teknis yang memberikan advice belum ada, maka izin saat ini berada di Bidang Cipta Karya. Izin yang akan keluar jelasnya harus sesuai dengan RTRW berupa SKRK (Surat Keterangan Rencana Kota).

Sebagai contoh, sebutnya pembangunan hotel tapi lokasinya berada di kawasan persawahan, meski sudah mengurus IMB (Izin Mendirikan Bangunan), namun tetap harus ada SKRK yang sesuai dengan dasar RTRW di Kota Gorontalo.

 

Beberapa waktu lalu penebangan pohon di Kota Gorontalo marak dilakukan diberbagai tempat dengan alasan pelebaran jalan. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Protes Penebangan Pohon malah Dipukuli

Rahman Dako, Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Gorontalo, berbagi cerita. Meski suara dan partisipasi warga diatur dalam UU Penataan Ruang, praktiknya tidak demikian. Bahkan, pernah saat masyarakat mengkritik dan protes penebangan pohon di kota, dibalas dengan cara kekerasan.

Ceritanya, malam di awal September 2016. Hidayat Dangkua, anggota AJI Kota Gorontalo dan juga anggota FKH, dipukuli massa di kantor sekretariat AJI Kota Gorontalo. Yayat, panggilan akrabnya, dipukuli di pipi kanan dan kepala bagian belakang.

Persoalannya, Yayat yang seorang karikaturis, melakukan protes penebangan pohon yang dilakukan pemerintah Kota Gorontalo lewat karya karikaturnya. Karya tersebut oleh massa dianggap mencemarkan nama baik walikota saat itu. Padahal saat bersamaan, walikota dan kepala dinas sedang rapat mediasi dengan anggota FKH terkait penebangan pohon.

Saat melakukan protes penebangan pohon di tahun 2016, FKH merilis jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Gorontalo masih minim. Yang eksisting baru sejumlah 582,19 hektar, dimana RTH publik 568,78 hektar dan RTH privat 13,41 hektar.  Masih dibutuhkan 1.791,78 hektar lagi untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh UU Penataan Ruang, dimana setiap daerah harus memiliki minimal 30 persen RTH.

Baca juga: Pohon-Pohon Ditebang, Pemerintah Kota Gorontalo Dikecam

Ironisnya, proyek-proyek pelebaran jalan dan infrastruktur lainnya di Kota Gorontalo dilakukan dengan menghabiskan semua pohon-pohon yang ada.

“Di Kota Gorontalo ini banyak yang merusak. Pengambil kebijakan tinggalnya di kota. Pengusaha-pengusaha perusak alam juga tinggal di kota. Penyadaran lingkungan itu harusnya berpusat di Kota Gorontalo,” tegas Rahman.

Saat ini pun, tuturnya bakal ada lagi pohon-pohon besar yang akan ditebang karena pembangunan Swiss Bell Hotel. Dia menyayangkan pemerintahan transisi Kota Gorontalo saat ini yang tidak memiliki visi misi lingkungan.

“Saat kita protes penebangan pohon, anggota kita malah dipukuli preman. Setelah didengar, ditanami pohon. Tidak lama, main tebang pohon lagi. Ini sikap inkonsisten dari pemerintahan kita.”

Dia berharap, Pilkada Kota Gorontalo tanggal 27 Juni 2018 nanti, akan melahirkan pemimpin yang berpihak terhadap keadilan lingkungan.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Ramli Utina dan Dewi Wahyuni Baderan, “Dampak Kepadatan Penduduk Terhadap Kondisi Biofisik Lingkungan Hidup di Provinsi Gorontalo,” (BKKBN, 2013), disebut permasalahan pembangunan sebuah kota adalah penataan kawasan hutan kota atau Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Di Kota Gorontalo lahan terbangun melonjak tajam tiga tahun terakhir, makin marak sejak Gorontalo berubah menjadi provinsi.  Bagian Kota Gorontalo yang dahulu merupakan jalur hijau dan daerah resapan air, sekarang sudah berubah menjadi wilayah permukiman padat.

Padahal ketersediaan lahan RTH berfungsi sebagai daerah resapan air, pengendali luapan banjir, juga penyerap gas-gas buangan yang sangat membantu dalam mengatasi pencemaran udara.

 

Bagian pertama tulisan ini dapat dibaca pada tautan ini.

 

 

Exit mobile version