Mongabay.co.id

Pelatuk juga Tidak Ingin Hutan Indonesia Rusak

 

Burung pelatuk yang kita kenal dengan nama woodpecker, tersebar luas di dunia. Spesies ini memiliki kaki zigodaktil, yaitu dua jari kaki mengarah ke depan, dan dua lainnya menghadap belakang.

Pelatuk hidup di sekitar kawasan hutan lembab dan terbuka. Makanan utamanya adalah jenis larva serangga yang hidup di balik kulit kayu pepohonan. Paruhnya yang kuat mampu melubangi kulit sebuah pohon baik untuk mencari makanan atau membuat sangkar.

Berdasarkan penelitian ilmiah, diperkirakan ada sekitar 218 jenis pelatuk di dunia. John Mackinnon dalam buku Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan menyebutkan, setidaknya ada 23 jenis pelatuk yang tersebar di Sunda Besar. Gerard Gorman, Writer and Wildlife Tour Leader memperkirakan 10 persen spesies pelatuk dunia ada di Indonesia.

Bagaimanakah kondisi pelatuk di Indonesia? Belum lama ini, di Medan, pengamat dan peneliti burung mendiskusikannya bersama Gerard Gorman yang baru saja merampungkan perjalanannya ke sejumlah wilayah Indonesia.

Menurut Gerard, Indonesia merupakan wilayah penting bagi persebaran burung berparuh kuat ini. Namun, kehidupannya terancam akibat adanya deforestasi. Aturan jelas akan lebih baik dibuat untuk melindungi kehidupan jenis ini.

 

Pelatuk jambul-kuning (Picus chlorolophus). Foto: Asep Ayat

 

Lebih jauh dia menjelaskan, dari sejumlah perjalanan dan pengamatan yang dilakukannya di Indonesia, ada empat jenis pelatuk yang hanya ada di negeri ini. Yaitu, di Pulau Jawa yaitu Javan Flameback atau pelatuk jawa, di Sumatera dikenal dengan Sumatran Woodpecker, dua lagi di Sulawesi yaitu Sulawesi Pygmy Woodpecker dan Ashy Woodpecker.

“Di Sumatera, Sumatran Woodpecker mulai sulit dilihat, bahkan mungkin saja kehidupannya terancam akibat deforestasi,” jelasnya.

Dia menyarankan, jika ingin spesies ini tetap ada di alam, harus dibuat aturan kuat dan mengikat. Terpenting adalah menjaga habitatnya tetap ada.

“Selain perburuan dan perdagangan ilegal, ancaman serius lain bagi pelatuk di Indonesia adalah perusakan habitat. Jika habitanya hancur, jangan berharap spesies ini akan hidup damai,” ujarnya.

 

Pelatuk sayap-merah (Picus punnicus). Foto: Asep Ayat

 

Habitat hancur

Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Utara (Walhi Sumut), menyebutkan ada sejumlah kawasan hutan di Sumut yang beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, pertambangan atau hancur akibat pembalakan liar.

Di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) misalnya, alih fungsi lahan terjadi disana. Ada konsesi tambang PT. Sorikmas Mining, dengan penguasaan lahan seluas 24 ribu hektar di blok B dan 30 ribu lebih di blok A. Ada juga perkebunan sawit di Madina dan Tapanuli Selatan (Tapsel) beserta hutan tanaman industri (HTI) disana.

Selanjutnya, di kawasan Hutan Batang Toru. Menurut Dana Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, ancaman deforestasi dikawasan ini mencapai 1.400 hektar. Ada pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA), di kawasan hutan ini.

 

Caladi tilik (Dendrocopos moluccensis). Foto: Asep Ayat

 

Di Tapanuli, deforestasi juga terjadi. Data Kelompok Study dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), sudah lebih dari 185 ribu hektar. Ini merupakan kawasan hutan yang dikuasai oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL).  Belum lagi di kawasan Parapat, setidaknya 385 hektar hutan di kawasan Simalungun yang terletak di sekitar kawasan Danau Toba, dialihfungsikan untuk perhotelan dan pembangunan pariwisata.

Di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), untuk perambahan kawasan, ada sejumlah wilayah yang sampai saat ini dikuasai oleh perambah: Skoci, Barak Induk, dan Damar Hitam.

Untuk kawasan ini, berdasarkan hasil wawancara dengan penjabat BBTNGL, salah satunya mantan Kepala Balai TNGL Andi Basrul yang saat ini sudah pensiun mengatakan, total kawasan yang dirambah dan berubah jadi perkebunan berdasarkan citra satelit dan drone mencapai 9.000 hektar.

 

 

Data Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL – OIC) menunjukkan, kawasan yang mereka damping untuk direstorasi seluas 1.150 hektar tak luput dari ancaman perambahan. Rinciannya, di Sei Betung, Halaban, luas kawasan yang direstorasi sekitar 500 hektar. Di Cinta Raja ada 300 hektar, di Bukit Mas sekitar 150 hektar, dan di Ketambe ada 200 hektar. Wilayah itu direstorasi, menggunakan berbagai metode salah satunya dengan menggandeng masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNGL.

Berdasarkan berbagai temuan pengamat burung di Sumatera, kawasan di atas merupakan habitatnya berbagai jenis burung, termaksud pelatuk. Sehingga, tindakan untuk menyelamatkan hutan harus dilakukan.

 

 

Exit mobile version