Mongabay.co.id

Begini Cara Unik Desa Pengotan Melestarikan Hutannya

Desa Pengotan di Kabupaten Bangli, Bali menerapkan cara-cara unik yang tanpa disadari melestarikan hutannya. Pimpinan desa berencana mengelola kebiasaan ini agar terwarisi ke generasi berikutnya.

***

Memasuki kawasan Desa Pengotan, kanan dan kiri jalan sudah mulai rimbun bambu. Tak ada pagar pembatas, bambu tumbu di mana saja. Halaman rumah, pinggir jalan, sampai pinggir sungai yang menyibak pemukiman.

Kawasan-kawasan hijau tak hanya ditumbuhi bambu yang menjadi vegetasi dominan. Juga kayu-kayu keras seperti albasia, mahoni, cempaka, sengon, dan lainnya. Pengumuman dilarang berburu dipasang di beberapa tempat.

Sebagai desa penghasil bambu, warga juga menunjukkan bisa mengolahnya dengan sejumlah kerajinan seperti keranjang, kandang ayam, dan lainnya. Jika masuk ke salah satu rumah, bisa jadi penghuninya sedang menganyam bambu.

baca : Ternyata Bambu Mampu Menyelamatkan Lereng Batur. Begini Ceritanya..

 

Jalanan di Kabupaten Bangli, Bali, termasuk di Desa Pengotan, banyak diteduhi kanopi-kanopi alami dari rumpun bambu, salah satu bahan baku yang kuat untuk rumah. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sejumlah rumah masih mempertahankan arsitektur tradisional dengan memanfaatkan bambu sebagai atap, tembok, dan lainnya. Namun makin berkurang seiring makin mudahnya mendapat material bangunan lain selain perubahan gaya hidup dan perspektif pada bambu.

Bendesa (kepala) Adat Pengotan Wayan Kopok ditemui di kantor Lembaga Perkreditan Desa menyebut desa memiliki perarem (aturan adat) yang tak tertulis soal perlindungan hutan. Sejumlah hal yang dipraktikkan adalah jika menebang satu pohon, warga menanam kembali 5 pohon. Terutama saat musim hujan dan lokasinya bebas.

Saat Nyepi adat, perayaan Nyepi khusus di desa ini tak boleh ada kegiatan penebangan pohon kayu apa pun selama 11 hari. Ini seperti memberikan rehat atau jeda pada kegiatan manusia yang sumber penghasilannya dari tumbuhan.

Warga membayar kewajiban desa sesuai dengan lahan ayahan desa adat yang dikelolanya. Istilah-istilah lokal ini memiliki makna dalam. Misal memungkul jika menggunakan lahan di atas setengah hektar, maka kena ayahan (kewajiban) sekitar Rp2 juta. Kemudian nyibakin atau mengolah maksimal setengah hektar kewajibannya sekitar Rp1 juta. Kemudian Banjar Dalem, sekitar Rp70 ribu per are.

Ia menyebut tanah ayahan desa ini tak boleh dijual tapi bisa disertifikatkan asal tunduk pada aturan adat. Ini dibuktikan dengan surat pernyataan, dan jika melanggar status tanahnya bisa dicabut.

“Kami melindungi hutan ini sudah biasa, turun temurun. Di sini jarang longsor walau tebing-tebing,” urai Wayan Kopok. Ia menyebut perarem ini belum diturunkan secara tertulis, hanya disampaikan saat rapat desa. “Kita sempurnakan dulu baru kita daftarkan,” ujarnya soal kemungkinan memanfaatkan status hutan desa adat untuk menguatkan.

baca : Cerita Seputar Proyek Listrik Energi Bambu di Mentawai

 

Warga desa memanfaatkan bambu yang banyak terdapat di Desa Pengotan di Kabupaten Bangli, Bali menjadi produk anyaman untuk dijual. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Namun, pelestarian hutan memang tak serta merta terjadi jika diikat dalam aturan tertulis. Bahkan banyak aturan seperti ini ditelikung untuk kepentingan tertentu. Tantangannya, mewarisi kearifan lokal desa adat yang berada di jalur jalan menuju kawasan wisata Kintamani dan Gunung Batur ini.

Selain perarem soal penebangan pohon itu, ada juga pengetahuan tradisional yang diyakini warga. Misalnya pohon tinggi seperti aren tak boleh ditanam di tanah datar karena mengganggu tanaman lain.

Kepala Desa I Wayan Suardana menyebut potensi desanya belum dikelola optimal. Masih ada sekitar 260 KK termasuk miskin pada 2016 dari total 1015 KK (sekitar 3800 orang warga). Ini juga bisa diperdebatkan karena indikator masyarakat miskin oleh negara sangat bias misal lantai tanah, tidak bertembok, dan lainnya. Sementara tradisi rumah di desa tua ini misalnya lantai tanah dan bedeg bambu.

Tantangan lain adalah akses air bersih karena pemipaan belum masuk ke pelosok dan topografi desa ketinggian 800-1000 mdpl. Ratusan warga masih mengandalkan air hujan dengan membuat cubang (sumur) dan embung (kolam besar) untuk menampungnya. Penghasilan utama warga ada hasil pertanian, dan kebutuhan air sangat besar. Juga untuk ternak, sapi daan babi yang membutuhkan air.

Lahan hutan tak terdata di buku catatan profil desanya. “Belum kami inventarisasi, kecuali oleh dinas kehutanan mungkin ada,” katanya. Jika berkunjung ke desa ini, perlu mengajak teman yang memiliki pengetahuan soal vegetasi bambu karena tak ada cukup informasi yang bisa dibaca atau menjadi petunjuk. Satu-satunya cara, ngobrol dengan warga atau pengelola desa.

baca : Ini Layangan Ramah Lingkungan dari Bali yang Melangit di Negara Eropa. Seperti Apa?

 

Rimbun hutan bambu membelah jalan di Desa Pengotan di Desa Pengotan di Kabupaten Bangli, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sejumlah ritual yang populer dan khas di desa ini adalah tradisi menikah massal secara adat, dilakukan dua kali dalam setahun. Juga ada penguburan massal selain tradisi-tradisi keseniannya.

Padahal dari lansekap, desa ini memiliki banyak potensi selain hanya menjadikan bambu atau pohon kayu keras sebagai komoditas perdagangan. Pengetahuan tradisional dan perarem pelestarian hutan adalah modal besar sebagai spot pengetahuan yang bisa dibagi ke warga lain. Dalam awig-awig (aturan tertulis) sudah ada tentang imbauan untuk membuat pekarangan hijau dan menjaga tanaman keras. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan ritual seperti bahan baku sesajen.

Sejumlah rekomendasi jika ingin menambah pengetahuan soal bambu, di Bangli ada Desa Penglipuran juga di Kabupaten Bangli. Bisa ditempuh sekitar 15 menit dari Pengotan. Penglipuran adalah obyek wisata yang terkenal rapi dan bersih dengan pola ruang dan pemukiman arsitektur tradisional, salah satunya dari bambu. Desa ini menata dan mengelolanya dengan lebih serius, sehingga pelancong tak ragu berkunjung mengelilingi hutan bambu 45 hektar ini.

baca : Menikmati Suasana Sakral Hutan Bambu Panglipuran Tanpa Takut Tersesat

 

Hutan bambu di Desa Panglipuran, Bangli, Bali tidak hanya sebagai obyek wisata, tetapi juga aktivitas lainnya seperti untuk pemotretan pre wedding. Foto : salapariwisata

 

Dalam informasi petunjuk di pintu masuk utama jalur trekking, tertulis 14 jenis yang ada dalam kawasan hutan bambu dikelola desa adat setempat ini. Misalnya bambu petung, jajang, dan tali yang di manfaatkan sebagai bahan bangunan. Jenis lainnya adalah bambu ampel, tambang, gading.

Rekomendasi berikutnya soal bambu ada di Kebun Raya Eka Karya atau lebih dikenal Kebun Raya Bedugul di Desa Candikuning, Baturiti, Kabupaten Tabanan. Dari belasan spot koleksi tumbuhan dataran tinggi kering, ada hutan bambu.

Ketika masuk area ini ada gerbang berbentuk batang bambu di depan. Papan informasi mengenalkan bambu sebagai pendukung revolusi teknologi di masa lalu ketika Thomas Alva Edison yang menemukan lampu pijar menggunakan serat bambu dalam kawat yang memendarkan cahaya.

Bambu dari berbagai daerah di Indonesia ini dikelompokkan di sejumlah sudut. Dedaunan bambu kering memenuhi area. Beberapa tempat duduk disediakan di tengah hutan dengan batang-batangnya yang melintang. Menjadi kanopi alami yang indah.

Tiap jenis diberi papan informasi dalam bahasa latin dan daerah asal bambu. Ada juga bambu hias yang ditaruh dalam pot-pot di beberapa sudut taman.

 

Exit mobile version