Mongabay.co.id

Cerita Petani Kakao dari Desa Bumi Mulyo

Komariah, (tengah) baju biru, bersama anak-anak perempuannya menyiapkan tanah untuk pembibitan kakao. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Komariah, tampak sibuk memasukkan campuran tanah, kompos dan sekam ke plastik polybag kecil. Perbandingan campuran tanah dan kompos, empat banding satu. Setengah penuh, polybag diisi biji coklat (kakao). Satu polybag dihargai Rp3.000.

Siang itu, perempuan 70 tahun ini tak sendiri. Dia membawa hampir seluruh keluarga besarnya, lima anak perempuan dan beberapa keponakan. Musim pembibitan seperti ini, masa yang bikin senang bagi keluarga nenek lima cucu ini.

Dalam satu periode, tiga atau empat hari, sekeluarga mereka bisa menyiapkan sampai 1.000 bibit. Lebih kurang Rp3 juta bisa mereka bawa pulang. Bibit-bibit ini kemudian diserahkan kepada perusahaan pengolahan kakao, untuk dirawat minimal enam bulan, sebelum ditanam.

Pusat pembibitan milik perusahaan pengolahan kakao berbasis di Swiss, Barry Callebaut, berada di Desa Bumi  Mulyo, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur.

Bersama sekitar 3.500 petani di Lampung Timur, perusahaan ini sedang berusaha menggenjot produksi kakao di daerah dengan metode stek sambung dan stek pucuk. Ia mengawinkan batang kakao muda dengan kakao dewasa pilihan. Meski ini metode sederhana, tak semua petani di desa ini melakukan.

Setelah di-stek, pohon kakao harus diberi perhatian lebih. Dipangkas jika terlalu lebat. Tak jarang buah dari pohon utama harus dipanen sebelum waktunya agar tak memberatkan pohon baru.

Komariah, bukan tak punya lahan untuk tanam kakao. Perempuan asal Jawa ini punya sekitar setengah hektar tanah jadi kebun. Ada bermacam tanaman produksi seperti, kelapa, jagung termasuk kakao. Karena jarak tempuh dari rumah cukup jauh, sekitar 1,5 kilometer, Komariah jarang merawat tanaman kakao ini.

“Kalo distek yo buah lebih bagus,” katanya.

Kalau biji kakao lokal asli Rp25.000 per kilogram, kakao stek bisa Rp30.000 per kilogram. Buah pun lebih banyak.

“Di (halaman) rumah saya ada satu batang stekan bisa banyak buah,” katanya.

Selain bekerja di pembibitan kakao, biasa petani macam Komariah kerja kebun apa saja. Mereka menanam kelapa, kopi, jagung dan lain-lain.

Rata-rata petani di wilayah ini punya pengalaman puluhan tahun menanam kakao tetapi produksi tak stabil. Belakangan sebagian petani bahkan enggan tanam kakao karena harga murah.

“Dari kecil saya sudah punya tanaman kakao,” kata Sutadji. Tanam kakao cenderung lebih mudah, praktis dan santai. Tanaman tak perlu dilihat setiap hari.

“Tak seperti karet yang harus pagi-pagi ambil getah. Kalau kakao bisa sepulang antar anak sekolah baru diambil,” kata Misnah, petani lain.

Kakao juga lebih ‘ramah’ dengan tanaman lain. Saat masih muda dia bisa tumpang sari dengan jagung. Kalau sudah tinggi bisa diselingi pisang dan kelapa, atau gamat, sekaligus buat tanaman pelindung.

Kakao, memang tak jadi tumpuan utama ekonomi keluarga petani meskipun penghasilan dari komoditas ini, kata Sutadji, cukup untuk menutupi keperluan dapur sehari-hari.

Di desa ini, petani bisa memanen beberapa biji sekali seminggu untuk dijual kepada agen pengumpul. Harga, rentang Rp20.000-Rp25.000, tergantung kadar air dan lama jemur biji.

Makin kering harga makin mahal. Rata-rata petani hanya menjemur biji kakao setengah atau satu hari. Mereka juga belum terbiasa fermentasi.

 

Serangan hama

Meski kakao termasuk mudah ditanam, petani di Bumi Mulyo masih menghadapi serangan hama. Tiga jenis hama sering dijumpai yakni hama penggerek (PBK), jamur buah dan hama daun.  Hama penggerek tak mudah dibasmi. Ia menyerang biji kakao. Meski terlihat bagus di luar biji kakao yang sudah terkena hama penggerek tak bisa dipakai. Biasanya petani menghalau hama ini dengan semprot pestisida. Ada juga yang menutup buah dengan plastik.

“Kami tak merekomendasikan penggunaan banyak pestisida. Karena bisa menyebabkan hama resisten,” kata Ani Setyoningrum, Manajer Bisnis Berkelanjutan Asia Pacific Barry Callebaut yang mendampingi petani kakao di Lampung Timur.

Dia menyarankan,  petani memutus mata rantai hidup hama ini.

Black pot desease atau serangan jamur, biasa muncul saat musim hujan berkepanjangan. “Kalau sudah hujan dari malam, itu mulai busuk,” kata Misnoto, petani yang sudah 20 tahun lebih menanam kakao.

Untuk jamur yang menyerang buah ini, sanitasi dan sinar matahari cukup harus jadi perhatian petani.

Sedangkan hama daun membuat batang pohon jadi lebih coklat yang lama kelamaan pohon mati.

Beberapa petani berinisiatif membakar pohon untuk jadi pupuk. “Kami tak sarankan buah busuk jadi pupuk,” kata Ani.

 

Kakao muda di antara kebun jagung. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Pendampingan

Barry Callebaut (BC),  salah satu perusahaan pengolah kakao jadi coklat setengah jadi berbasis di Switzerland. Baru- baru ini BC mengenalkan varian baru olahan yakni coklat ruby. BC mengklaim sudah 36% sumber bahan baku mereka dapat dipertanggungjawabkan keberlanjutan sistemnya.

Perusahaan milik Andreas Jacobs ini punya 55 pabrik di 140 negara. Tiga di Indonesia, yakni, Garut, Surabaya dan Bandung. BC juga punya 20 chocolate academy dan 38.280 chef terlatih.

Produknya berupa bubuk coklat, coklat untuk industri makanan, gourmet and specialties lain. Indonesia pasar besar untuk coklat.

Tahun 2016,  sekitar US$1,13 juta dan akan tumbuh 12% pada 2020. Dari survei BC bagi konsumen Indonesia yang terpenting dalam produk olahan coklat yakni 16% rasa, 14% emosi ketika konsumsi coklat dan 12% tekstur lelehan.

Tingginya kebutuhan impor kakao, bikin perusahaan kelimpungan memenui kebutuhan bahan baku. Saat ini,  impor bahan baku lebih 60%. Sebagian besar dari negara-negara di Afrika.

Impor bukan perkara gampang. Perusahaan macam BC ingin lebih banyak pakai kakao lokal dengan kualitas super. BC pun turun ke petani-petani kakao di daerah, meluncurkan sejumlah program mulai dari pelatihan, pembagian bibit, pendampingan perawatan hingga panen.

“Prioritasnya adalah meningkatkan pendapatan petani,” kata Ben De Schryver, Presiden BC Asia Pacific.

Selain pelatihan bagi petani, pembibitan, BC fasilitasi petani untuk ikut sertifikasi UTZ, sebuah lembaga sertifikasi independen berbasis di Belanda, dan riset oleh Katchile. Hingga 2020 BC hendak melatih hingga 50.000 petani untuk good cultural practices (GAP). Ia bagian program Forever Chocolate, dengan target meningkatkan pendapatan 500.000 petani kakao pada 2025.

Dia perkirakan ada satu juta keluarga di Indonesia jadikan kakao pemasukan utama. Catatan BC, 500.000 petani di Sulawesi menghasilkan 60% kakao untuk seluruh Indonesia. Meski tak ada data pasti berapa petani kakao yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun kebanyakan mereka hidup lebih miskin dibanding warga urban.

Pada 2016,  pemerintah Indonesia mengidentifikasi masyarakat miskin dengan pendapatan kurang Rp355.000 atau sekitar US$26,6 per bulan.

Di Indonesia, BC membangun pembibitan kakao untuk keberlanjutan produksi petani lokal. Model bisnis ini berharap 90% bibit terjaga melalui best practice model dan menyediakan investasi start up. Petani-petani mulai mengembangan tempat pembibitan (nursery) sendiri.

“Mulanya hanya untuk saya. Lalu ada tetangga dan keluarga lain yang pesan. Ya saya bikin,” kata Sutadji.

“Ini demi pohon yang lebih bagus dan meningkatkan pendapatan petani,” kata Ben pula.

Selain itu, untuk meningkatkan kualitas bibit, GAP dilakukan dengan pemangkasan berkala, sanitasi dan manajemen hama yang baik, penggunaan pupuk yang bijak, perbaikan gudang, pengaturan bahan kimia dan penggunaan alat pelindung.

Dengan ikut sertifikasi, pada 2016 petani bisa terima premi total US$520 ribu untuk sekitar 18.000 petani di Sulawesi dan Sumatera Utara. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya hanya 7.000 petani total US$350 ribu.

Richard Fahey, Wakil Presiden BC Asia Pacific mengatakan, Afrika Barat mayoritas penyuplai kakao dunia. Indonesia kontribusi sekitar 6% kakao dunia.

Di Indonesia, kebutuhan kakao makin meningkat. Ada defisit lokal hingga industri macam BC harus impor untuk memenuhi kebutuhan biji kakao. Selama 2016-2017,  BC impor 184.000 MT bibit,  412.000 MT buah kakao dan 256.000 pohon kakao.

Pada 2017-2018,  impor bibit naik jadi 225.000 MT, 425.000 buah kakao dan tanaman menurun jadi 230.000.

 

 

Perbedaan data

Selama ini,  selalu ada perbedaan data produksi kakao antara pemerintah, Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) dan sektor industri.

Pada 2016, missal,  pemerintah mencatat produksi kakao 602.973 MT, menurut Askindo 350.000 MT. Industri mencatat lebih kecil haya 300.000 MT. Tahun 2017,  diperkirakan 460 .000 kg biji kakao dengan 600.000 petani kakao menghasilkan 275.000 MT.

“Indonesia negara ketiga terbesar penghasil kakao. Namun tanpa upaya intensif produksi kakao akan terus menurun,” kata Rudyanto Hadi Manajer Operasi BC Asia Pasifik.

Dia mengestimasi,  pada 2022 produksi hanya capai 150.000 MT.  Padahal, potensi pendapatan dari pertumbuhan kakao cukup besar.

Kalau suplai hanya 240.000 MT, permintaan 680.000 MT, jadi ada sekitar 440.000 MT (kali US$2.700), sekitar Rp16,5 triliun potensi tak terserap.

Penurunan produksi, kata Rudy, lebih karena hama dan penyakit, petani kecil dengan dana terbatas, kurang pendampingan, lahan pertanian berkurang, dan kurang anggaran pemerintah.

Saat ini,  fokus program pemerintah masih kepada tanaman pangan, seperti beras dan jagung. Hal ini tak sepenuhnya buruk untuk pertanian kakao. Kakao termasuk ramah tanaman lain, jadi bisa ‘menumpang’ subsidi yang diberikan untuk lahan pangan, misal subsidi pupuk.

Program BC di Indonesia, katanya, meningkatkan produktivitas dengan tanaman varietas super yang terbukti lebih tahan hama dan penyakit. Pertanian berkelanjutan dengan  penyuntikan dan peremajaan tanaman tua, edukasi petani di lapangan untuk observasi dan analisa, dan edukasi setelah panen yakni pengeringan. Juga, membangun sistem data seperti luas lahan, pelatihan untuk manajeman dan kapasitas organisasi petani, kontrak berkelanjutan dengan partner swasta, bangun kebun kloning serta pusat riset kakao.

Di Indonesia, ada sekitar 30.000 petani dilatih. Peningkatan penerima premi bertambah satu juta selama tiga tahun terakhir dengan mempekerjakan sekitar 150 tenaga lapangan. Ada juga 500.000 pembagian bibit pada 2017  dan membangun lebih dari 100 nurseries dengan lebih dari 30.000 hektar lahan, sudah dipetakan.

Bersama pemerintah, katanya,  industri ini masih perlu fokus untuk peremajaan, pembibitan dan distribusi bibit.  Selain juga perbaikan irigasi, jalan dan listrik, sertifikasi lahan, mengurangi biaya tinggi dan pajak yang lebih baik.

“Saat ini,  masih kena Ppn 10% untuk bahan baku. Kami pikir ini harusnya tidak ada. Karena masih bahan baku, belum ada pertambaan nilai. Dukungan seperti ini yang dibutuhkan.”

Sumber berkelanjutan

Adalah program BC awal 2018 bertajuk Forever Chocolate. Targetnya,  mengeluarkan petani dari kemiskinan, menghapus buruh anak, membangun industri berkelanjutan, dan karbon positif.

BC memilih 600 petani di setiap negara dampingan mereka dari empat komunitas berbeda untuk pilot project.

Programnya, pertama, mensejahterakan petani. “Karena kami yakin buruh anak dan deforestasi adalah dampak dari miskinnya petani,” kata Ani Setyoningrum, Manajer Bisnis Berkelanjutan Asia Pacific Barry Callebaut.

Tahun 2016-17 BC mulai petakan 90.000 petani dalam rantai pemasok mereka, untuk memahami di mana dan bagaimana mereka bertani. Sudah 157.000 petani terlibat dalam program berkelanjutan dalam GAP, kerjasama dengan organisasi non pemerintah dan pemerintah.

Capaiannya,  hingga 2017, 5.814 petani di Afrika, Ghana, Tanzania, Indonesia dan Brazil aktif dalam pelatihan, dapat bantuan peralatan dan bibit, serta pelatihan manajemen keuangan.  Program ini juga sudah meremajakan 175,5 hektar kakao dengan 1.000 hektar lagi target lanjutan. Peremajaan ini mengkombinasikan kakao dengan tanaman lain yang bisa mendukung penghasilan petani misal jagung, kelapa.

“Karena ini masih tahap pilot terlalu awal untuk klaim ada hubungan antara kegiatan kami dengan petani yang keluar dari kemiskinan. Sesuai definisi World Bank kami ingin petani minimal sesuai standar punya pengasilan US$1.90 per hari.”

Kedua,  Forever Chocolate menghapus buruh anak pada 2025 dari rantai pasokan dengan akses pendidikan berkualitas, peningkatan kesadaran, monitoring dan remediasi untuk setiap kasus buruh anak yang ditemui.

Di Indonesia, bukan tak ada buruh anak di perkebunan kakao. Beberapa petani juga mengakui dibantu anak mereka di kebun tetapi kondisi tak seperti di Afrika.

“Kami tak bisa memaksa mereka tak melibatkan anak bekerja di kebun. Yang bisa kami sarankan, agar anak-anak kerja setelah pulang sekolah dan tidak melakukan kerja berbahaya,” kata Nor Badron, Direktur Komunikasi BC.

 

Kakao di Sigi, Sulawesi Tengah. Warga mengeluhkan, kakao mereka terserang hama hingga produksi turun drastis. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Karbon positif  

BC, salah satu korporasi di balik Cocoa and Forest Initiative Framework for Action yang ditandatangani 16 November 2017 dalam COP-23. Kesepakatan ini awalnya untuk menghapus deforestasi dari hutan di Afrika Barat.

“Kami memetakan semua petani kakao dalam rantai pasokan kami untuk memastikan mereka tidak berada di hutan lindung,” kata Ani Setyoningrum.

Karena itu target Forever Chocolate pada 2025 industri mereka termasuk karbon positif, menyimpan karbon dengan menanam lebih banyak pohon dari pada yang dipangkas.

“Perubahan iklim telah berdampak pada perkebunan kakao jadi kami haru ambil tindakan,” kata Ani, mengacu pada penurunan kesuburan tanah dan polusi. Secara tak langsung, katanya, hal  ini bikin petani ingin memperluas kebun di tanah subur baru yang tak bisa ditemukan di luar hutan.

Banyak petani dalam rantai pasokan BC terkendala status lahan, mulai dari tak punya sertifikat legal hingga berada di kawasan lindung.

“Kami selalu dorong agar mereka tak masuk lebih jauh ke hutan lindung.”

Sadar sejumlah pabrik BC juga menyumbang polusi, perusahaan pun investasi efisiensi energi dan energi terbarukan. Pada 2016-2017, pabrik yang menggunakan energi terbarukan naik dari tujuh ke 13.

“Untuk semua bahan-bahan lain pabrik kami juga membuat peta bahan baku yang berisiko berkontribusi pada deforestasi.”

Program ini, katanya,  juga memastikan bahan baku lain yang dipakai bebas dari praktik deforestasi. Ia dibarengi mengajak mitra lain juga untuk regenerasi hutan.

Dalam catatan BC, jejak karbon dari rantai pasokan, dari petani ke konsumen mencapai 8,23 juta ton CO2, naik 11% dari sebelumnya karena produksi lebih tinggi. Namun intensitas CO2 ini berkurang dari tahun 2014-2015 dari 4,4 juta ton jadi 4.32 ton di 2016-2017.

Selanjutnya, 100pada 2025,  bahan sudah 100% berkelanjutan buat semua produk pendukung olahan. Dengan kata lain, katanya, semua target Forever Chocolate juga jadi standar pemakaian produk olahan lain dengan memastikan semua bahan dalam pabrik BC dapat dipertanggungjawabkan.

Sampai 2017,  tercatat 36% sumber kakao dapat dilacak system berkelanjutannya. Ia juga berkat dukungan Cocoa Horizon Program, bersama sertifikasi dengan UTZ, Rainforest Alliance, dan Fairtrade and Organic.

“Ini bagian kami. Kami tak bisa lakukan ini sendiri. Kami butuh dukungan pemerintah dan perusahaan lain serupa untuk lakukan program-program senada untuk meningkatkan produksi kakao,” kata Nor Badron.

 

Petani berkurang?

Dukungan lain yang industri pengolahan perlukan dari pemerintah, yakni memastikan lahan-lahan yang telah dan kelak diremajakan masih memiliki petani. Dunia industri juga khawatir dengan tren usia produktif petani berkurang.

Di Lampung Timur, missal,  rata-rata petani kakao usia 50 tahun lebih. Sebagian besar generasi muda merantau baik ke kota terdekat maupun ke luar negeri.

“Kami khawatir 10 tahun ke depan kita kembali ke sini, mungkin kita tahu siapa pemilik lahan, tapi siapa petaninya?” kata Nor.

 

Exit mobile version