Mongabay.co.id

Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang…

Hutan Kinipan jadi izin sawit dan ditebangi. Apakah ini yang disebut 'ekonomi hijau'? Foto: dokumen warga Kinipan

Pemandangan hutan rimba Laman Kinipan, yang sudah jadi kebun sawit...Foto: dokumen Laman Kinipan

 

 

Masyarakat adat Laman Kinipan sudah turun temurun tinggal di Kecamatan Batang Kwa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Bersama 239 keluarga,  sekitar 938 jiwa,  mereka menggantungkan hidup dari hutan. Belakangan, perusahaan sawit berencana masuk. Wilayah adat dan hidup mereka pun terancam.

”Saya bertani, rotan, karet, durian, jengkol. Tidak usah ditanam mereka tumbuh sendiri,” kata Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan.

Dia begitu khawatir atas rencana perusahaan sawit masuk wilayah adat mereka. Takut susah kayu bakar, kerusakan ekosistem sungai sebagai nelayan dan ancaman bencana. Apalagi, perusahaan terletak di hulu, dan pemukiman di hilir.

”Nantinya, akses masyarakat berburu, mencari ikan dan mencari kayu makin sulit,” katanya.

 

***

Pada 2012, PT Sawit Mandiri Lestari (SML) mulai datang berulang untuk menginformasikan kepada masyarakat adat Laman Kinipan. Mereka mau negosiasi soal pergusuran wilayah adat Laman Kinipan. ”Mereka bilang mau akan ada investasi perkebunan sawit,” kata Buhing.

 

Begini hutan rimba Laman Kinipan, kini…Foto: dokumen Laman Kinipan diambil 9 Mei 2018

 

Mereka kaget dan tegas menolak. ”Penolakan itu kami buat tertulis.” Rencana investasi sawit ini berada di wilayah rimba adat.

Luas wilayah adat Laman Kinipan 16.169,942 hektar, terdiri dari 70% hutan rimba dan 30% lahan garapan masyarakat dan pemukiman. ”Hutan rimba jadi sangat penting bagi kami, salah satu sebagai sumber obat-obatan.”

Tak hanya itu, hutan rimba jadi bahan papan, pangan, sumber air dan penyeimbang alam mereka karena letaknya di hulu.

 

Sudah pemetaan wilayah

Pada April 2016, mereka sudah merilis pemetaan wilayah adat Laman Kinipan. Kala itu,  dihadiri Asisten III Kabupaten Lamandau, anggota DPRD Lamandau, Pengurus Wilayah AMAN Kalteng, PW BPAN Kalteng, Dewan Wilayah AMAN Kalteng.

Awal 2018, dia ambil bagian dalam rapat koordinasi nasional hutan adat yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). ”Kami sudah mengajukan pencadangan hutan adat kepada KLHK. Kami sudah memiliki peta dan sudah diverifikasi,” katanya.

Rencana investasi sempat senyap. Sesekali mereka datang dan pergi mengecek ke hutan dan ke kampung untuk lobi-lobi. Kesepakatan, warga tetap menolak.

 

Hutan ramba Laman Kinipan kini…Foto: dokumen Laman Kininan, diambil 10 Mei 2018

 

Hutan rimba merana

Hingga Februari 2018, SML datang dengan alat berat menebang hutan besar-besaran. Pepohonan dihancurkan dan langsung ditanami sawit. Luasan perkebunan mereka mencapai 1.242 hektar.

”Pohon batang besar-besar ditebang, kayu ulin untuk membuat rumah masyarakat, jelutung, meranti, kapang dan sebagainya rusak.”

Hutan rimba mereka sudah berstatus alokasi penggunaan lain (APL), meskipun memiliki kayu-kayu besar. Kini, kayu-kayu besar berganti tanaman sawit.

Kala alat berat datang, mereka tidak ada bentrokan antara masyarakat dan perusahaan. ”Kami tak ada keberanian karena mereka dijaga kepolisian.”

Dia akui, tak ada intimidasi saat mereka negosiasi ataupun lobi-lobi. Ketua Adat pun selalu mengingatkan untuk tak melakukan perbuatan anarkis untuk menghindari kriminalisasi.

”Mereka berani beroperasi karena sudah mengantongi izin lokasi dan izin usaha perkebunan. Bagaimana izin di wilayah adat, ini yang jadi masalah,” katanya kesal.

Warga adat sudah tiga kali bersurat. Pertama, melakukan penolakan dan menghentikan operasi di wilayah adat. Kedua, mengajak perusahaan duduk bersama dengan masyarakat adat. Ketiga, mengirimkan tuntutan adat.

Semua surat tidak digubris.

”Kami meminta untuk menghentikan tanam sawit.” Warga adatpun mendenda adat perusahaan karena tak hanya mengambil tanah juga pohon-pohon masyarakat. “Pohon ini melindungi masyarakat adat. Jumlah denda adat Rp5 miliar,” katanya.

Mayoritas masyarakat Laman masih menggantungkan hidup dari hutan adat. Mereka berladang, kebun karet, rotan juga jengkol.

Mereka pun menyebutkan jengkol mulai terkenal, dan harga lebih baik dibandingkan sawit. “Lebih baik jengkol dijual bisa mendapatkan Rp15.000 perkg, sawit hanya Rp1.400. Jengkol tidak memerlukan pupuk dan perawatan seperti sawit.”

Begitu juga potensi madu di pepohonan kapang atau biasa dikenal kayu madu.

 

Kala pepohonan di hutan rimba Laman Kinipan, bertumbangan…Foto: dokumen Laman Kinipan, diambil 9 Mei 2018

 

Lapor ke kementerian dan lembaga negara

Sembilan warga adat Laman memutuskan bertolak ke Jakarta awal Juni lalu. Mereka mengadu ke berbagai kementerian dan lembaga negara. Mereka sudah mengadu di level pemerintah daerah, tetapi tak mendapatkan respon. DI Jakarta, mereka mendatangani Kepala Staf Kepresidenan, KLHK, sampai Komnas HAM.

Soal legalitas selalu membuat mandek negosiasi antara warga dan perusahaan. ”Mereka selalu tanya legalitas, tapi legalitas itu kan ada setelah negara merdeka. Kita sejak dalam kandungan memiliki pengakuan hak adat disitu.”

Pemerintah, katanya,  jangan semena-mena mengeluarkan izin tanpa persetujuan masyarakat adat.

”Maka kami datang ke Kantor Staf Presiden, KLHK dan Komnas HAM,” kata Buhing.

Pemerintah menerima laporan dari masyarakat dan berjanji menindaklanjuti. Mereka datang ke Jakarta, juga meminta bantuan pengurus besar AMAN menyelesaikan sengketa adat ini.

Buhing bilang, permintaan mereka investor angkat kaki dari wilayah adat Laman. Sawit yang sudah ditanam ataupun lahan yang belum ditanam, katanya, tetap milik masyarakat adat. Perusahaan, katanya, didenda secara adat.

Dia bilang, warga adat tegas menolak sawit antara lain karena beberapa alasan. Pertama, wilayah itu hutan adat, baik pemerintah maupun perusahaan seharusnya pamit dan membuat kesepakatan dengan masyarakat.

Kedua, belajar dari pengalaman desa lain, kompensasi lahan per keluarga tak menjanjikan. Sistem plasma dua hektar hektar per keluarga tidak cukup untuk kehidupan sehari-hari, apalagi hutan sebagai sumber kehidupan mereka hilang.

Ketiga, pola kerja plasma tak menguntungkan dan dibebani utang. Keempat, investasi ini sangat riskan konflik kepentingan internal antar warga, hingga khawatir berebut lahan.

 

Keterangan foto utama: Pemandangan hutan rimba Laman Kinipan, yang sudah jadi kebun sawit…Foto: dokumen Laman Kinipan

Kayu di hutan rimba Laman, setelah jadi kebun sawit. Foto: dokumen Laman Kinipan
Exit mobile version