Mongabay.co.id

Ancaman Hilangnya Budaya Agraris Bali dari Kacamata Oka Astawa

Apa jadinya Bali tanpa ruang hijau dan pertaniannya? Nyaris semua ritual berlandaskan alam dan pertanian. Masihkah ritual dijalankan jika keduanya hilang?

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul di pameran seni rupa dan instalasi bertajuk Oka Art Project; A(Rt)Griculture di Kulidan Kitchen and Space, Gianyar, Bali, yang berlangsung sampai 17 Juni ini. Gede Oka Astawa, seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta 2014 ini kembali menunjukkan aneka karya seni ekologinya dan kali ini fokus pada suara-suara sosok petani melalui karung-karung beras.

Puluhan karung berisi gabah ditata dalam satu alur. Gabah berserakan di lantai. Satu kursi kosong ada di tengah-tengahnya menunjukkan ada kuasa atas pangan. Tiap karung disablon gambar wajah-wajah aneka rupa petani dalam serial Save Petani. Tiap pose dilengkapi teks yang memudahkan pengunjung menangkap pesannya, tapi perlu lebih detail memperlihatkan lekuk gambarnya karena di sinilah pesan kuatnya.

Karung dengan teks Darurat Agraria memperlihatkan orang bertopi capil khas petani menggenggam padi. Di tubuhnya ada bayangan pabrik-pabrik mengepulkan asap, gedung tinggi, dan kendaraan. Bagaimana kuasa ruang ditentukan oleh apa yang diyakini sebagai pembangunan dan meminggirkan pertanian serta sumber pangan.

Karung dengan teks Save Petani menggambarkan wajah murung, merunduk dengan memanggul tongkat berisi padi dan uang dollar, namun tak seimbang seolah uang ini lebih berat. Lebih menjerat leher petani dengan iming-iming atau tekanan yang tak kuasa dilawan. Kemudian karung dengan orang-orangan sawah (di Bali disebut Lelakut), tergantung tak berdaya terlihat menarik memakai pakaian ala aparat. Lelakut digunakan untuk menakuti burung pipit yang bergerombol memakan bulir-bulir padi. Agar burung mengira si Lelakut ini petani beneran.

baca : Kembali Ke Alam, Petani Bali Gunakan Burung Ini Atasi Hama Tikus

 

Pameran seni rupa dan instalasi bertajuk Oka Art Project; A(Rt)Griculture di Kulidan Kitchen and Space, Gianyar, Bali, yang berlangsung sampai 17 Juni. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

“Itu simbol orde baru, saat itu banyak petani jual tanah dengan mudah setelah ditekan. Ada yang bertahan tapi akhirnyanya menjual,” cerita Oka melihat pengalaman di kampungnya atau area lain di Bali. Oka bisa berkisah tentang dunia agraris ini dengan gamblang karena dia anak petani penggarap. Kedua orangtuanya sampai kini menggantungkan penghasilan dari lahan yang masih belum dialihfungsikan walau sudah dijual pemiliknya. Agar lahan tetap hijau, dan pangan masih bisa diproduksi.

Seperti proyek-proyek seni ekologi lain garapan Oka, kali ini ia juga terjun ke dalam keseharian, mengalami sendiri persoalannya sebelum merespon dengan karya seni. Dalam A(rt)griculture, ia ikut mengolah tanah, menanam bibit padi, sampai panen bersama orangtuanya. Tak mudah karena ia cukup lama tak menyentuh alat-alat pertanian sejak remaja sampai kuliah di Yogya.

“Ini gambaran saya, apa pun latar belakang pendidikan bisa berdampak pada pertanian walau bukan sarjana pertanian,” ujar pria muda kelahiran Tabanan pada 1989 ini. Darurat Agraria sebagai alarm jika sebagian lahan sudah dikuasai investor. Padi vs Dolar, adalah dilema ketika anak-anak petani lebih memilih jual tanah agar cepat dapat uang.

“Ritual terus terjadi tapi bahannya beli semua. Efek tak ada pohon nanti pasti ada,” seru Oka. Ia menjual hasil panen di tanah garapan orangtuanya di kampungnya, depan studionya. Uniknya, ia menjual beras dengan karung bergambar seperti seni-seni instalasinya itu. Akhirnya komunikasi terbangun antara pembeli dan Oka sendiri yang dimulai dengan pertanyaan, kenapa gambar seperti ini?

Masalah seringkali dikubur menjadi keluhan sendiri atau desas desus yang kerap hilang begitu saja tanpa bekas. Melalui suara di karung-karung beras ini, menjadi dialog terbuka. Oka sendiri merangkum banyak keluhan, kekagetan petani penggarap yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Apalagi kampungnya ada di dekat kawasan obyek wisata Tanah Lot yang kesohor dengan pemandangan matahari terbenam dan pura di laut. Harga tanah milyaran, dan investor ingin memanfaatkan limpahan turis dengan membuat restoran, hotel, villa, dan lainnya.

baca : Arang Briket Solusi Atasi Sampah di Tanah Lot. Bagaimana Caranya?

 

Gede Oka Astawa, seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta 2014 ini kembali menunjukkan aneka karya seni ekologinya dan kali ini fokus pada suara-suara sosok petani melalui karung-karung beras. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Oka mengaku orang tua tak mengijinkan jadi petani penggarap seperti mereka. Masa depan bagi orang tua adalah bisnis atau karir kerja kantoran. Di sinilah ia bernegoisasi jika seni bisa melebur dan memiliki dampak luas pada masalah-masalah sosial sekitarnya. Cara yang sederhana untuk meyakinkan orang tuanya adalah menjual hasil panen berkolaborasi dengan karya seninya.

“Bahasa seni harus mampu dicerna publik. Orang sulit mengakses galeri, jadi tempat ini menurut saya sesuai dengan semangat pergerakan kampanye ini,” tutur Oka soal pemilihan ruang pameran Kulidan Kitchen yang egaliter. Ini media baru karung beras. Kerja kolaborasi dengan teman tak hanya kerja di studio lalu pindahkan ke galeri.

Lebih dari 3 kali Oka membuat projek seni serial ekologi. Ia menggunakan beragam medium sesuai dengan isunya, dan nyaris semuanya merespon masalah di sekitar desanya. Dimulai 2011 dengan istilah Oka Art Project. Terakhir pada 2016 Ecoko Green Art Project. Menggunakan medium kaos karena saat itu usaha distro banyak digemari anak muda di kampungnya. Fashion dan gugatan alam, ketika melihat banyak pohon ditebang di pinggir pantai. Tiap pembelian satu kaos barter satu bibit pohon. global warming.

baca : Melihat Suksesi Alam Pasca Letusan Gunung Agung Bali

 

Putu Dudik Ariawan melalui seri berjudul Potret Usang melalui sapuan cat minyak pada karung beras. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pada 2015, instalasi seni patung Manusia Nyampah 2015 merespon banyaknya sampah dibuang sembarangan di pantai dekat rumahnya. Ia mendekatkan masalah dengan berbaur dan jualan di pantai melihat perilaku pedagang dan pengunjung. Kemudian ia mulai memunguti sampah termasuk kayu-kayu bekas untuk dibentuk instalasi. Cara ini menarik sejumlah anak-anak pantai dan ikut gerakannya sampai klimaksnya membakar patung instalasi ini sebagai simbol pralina, ritual mengembalikan keseimbangan alam dan kebangkitan perilaku baru yang lebih baik.

Hubungan manusia dengan alam sangat lekat dengan konsepsi ritual-ritual agama di Bali. Ada Tumpek Bubuh untuk menghormati tumbuhan, Tumpek Kandang menghormati binatang, dan ritual lainnya. Dalam tataran filosofi sebagai panduan dasar ada Tri Hita Karana yang sering jadi sebatas jargon, tentang konsep hubungan harmonis antar manusia dengan alam, sesama manusia, dan Tuhan.

Seniman lain yang terlibat dalam pameran ini adalah gabungan antara mahasiswa ISI Denpasar, mahasiswa yang sedang kuliah pendidikan keguruan di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, dan anak-anak muda lain yang memiliki benang merah karya terkait topik pertanian dan kuasa di baliknya ini.

Mereka adalah Ratih Aptiwidyari, Angga Junawan, Deny Gita Pramana, Nana Partha Wijaya, Juni Pariawan, Wisnu Hendrayana, Putra Wali Aco, Dudik Ariawan, Leona Mahardika, Siska Nurul Hikmatilah, Surya Dwipa, Muhammad Taufiq, dan Adril Husni.

 

Exit mobile version