Mongabay.co.id

Gurihnya Menu Laut di Tepi Pantai Nipah Lombok Utara

Bebukitan Malimbu di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, memberikan akses pemandangan laut yang memanjakan mata. Tinggal turun dari kendaraan dan berhenti sebentar mengarahkan mata ke samudera lepas di bawahnya.

Beberapa menit menuruni bukit, papan petunjuk di kiri jalan menginformasikan inilah lokasi Pantai Nipah, area makan siang di tepi pantai. Berada di area Dusun Nipah, Desa Malaka, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara. Ada penjaga tiket parkir di depan yang mengarahkan pengunjung ke gubuk-gubuk warung penjaja menu laut yang berderetan.

Nyaris semuanya masih menggunakan material tradisional sebagai warung seperti bambu dan atap rumbai. Sekarang tinggal sabar memilih lokasi warung dan menu laut yang cocok.

baca : Menengok Rumah Hantu Kemudian Lari ke Pantai Senggigi

 

Suasana pantai Nipah, Desa Malaka, Pemenang, Lombok Utara, NTB dengan pasir putih dan air laut yang berwarna biru. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Warung Pak Udin menjadi rekomendasi pemandu wisata kami. Dia mengingatkan mungkin ramai dan cukup sulit mencari meja makan. Benar saja, warung ini ramai, hampir semua gubuk lesehan dan meja makan terisi. Untungnya ada satu yang tersisa persis pinggir pantai.

Pak Udin dan kerabat serta pekerjanya cekatan menunjukkan aneka ikan. Ada baronang, ikan kue, kakap merah, dan lainnya. Tawar menawar harga hanya menurunkan sedikit saja karena harganya tetap per ekor. Pedagang menawarkan apakah kepala ikan mau digulai dan sayuran pelengkap khas Lombok seperti pelecing kangkung dan terong bakar.

Sekitar 30 menit kemudian semua menu pesanan tiba. Terong bakar mengeluarkan uap harum sisa pembakaran dengan genangan sambal tomat diramu terasi khas Lombok. Selain beberuk, sambel tomat terasi ini adalah citarasa kuliner Lombok.

Tujuan ke sini memang makan siang. Namun pantai Nipah ternyata terlihat bersih dan aman untuk tempat mandi atau bersantai. Pesisirnya terlihat ramai dengan sejumlah kegiatan seperti pendaratan perahu nelayan, anak-anak berenang atau bermain ayunan.

Para pedagang cukup memanjakan pengunjung dengan membuat ayunan dan tempat duduk. Jadi tak hanya jadi pusat tempat makan dengan menu laut.

Pak Udin, pria tua ini mengaku mulai jualan awal tahun 2008 di pantai ini. “Saya salah satu yang memulai, lama kelamaan makin ramai,” ujarnya. Ia bangga dengan racikan menunya terutama sambal dan bumbu ikan bakar. Selain mengandalkan rasa, ia juga memberikan servis pada pemandu dengan memberi makan gratis.

baca : Biru Lazuardi Pesisir Selatan Lombok

 

Aneka menu seafood yang disajikan Warung Pak Udin, salah satu dari puluhan warung di pantai Nipah, Desa Malaka, Pemenang, Lombok Utara, NTB. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sebelum ramai jadi pusat makan, Pak Udin menyebut pantai ini adalah tempat bermain dan pendaratan perahu nelayan saja.

Semua bahan baku dipasok langsung dari nelayan, ia tinggal pesan. “Tidak susah mencari ikan kecuali saat bulan puasa banyak nelayan balik kampung,” urainya. Kebanyakan nelayan dari luar Lombok Utara seperti Lombok Timur. Pak Udin sendiri mengaku juga mencari ikan saat malam hari jika sempat.

Selain makanan, warungnya menawarkan wisata naik perahu nelayan dan snorkeling di sekitar area. Selain banyak ikan hias juga penyu. Penyeberangan ke pulau-pulau kecil seperti Gili Trawangan, Air, dan Meno dilayani dengan harga sekitar Rp650 ribu untuk 2 orang dengan perjalanan pulang pergi dalam sehari. Pengunjung dijak berkeliling sambil snorkeling. Waktu tempuh sekitar 30 menit jika arus tenang.

Bersantai di Pantai Nipah usai makan siang bisa membuat ketiduran. Angin cukup kuat dan pemandangan nyiur kelapa dan bebukitan di sekitarnya.

Di beberapa titik Pemkab Lombok Utara memasang papan imbauan dengan gambarnya untuk tidak menangkap dan memanfaatkan Pari Manta dan Hiu Paus. Di pusat makanan laut seperti ini, informasi dan edukasi soal seafood menjadi sangat relevan. Juga bagi pedagang.

Pak Udin mengaku tidak tahu apa saja jenis ikan yang tak boleh ditangkap. “Bagus kalau ada penyuluhan langsung untuk penangkapnya karena saya tinggal menerima,” ujarnya. Menurutnya nelayan masih memasok langsung ke para pedagang. Sisa ikan yang kecil-kecil baru dibawa ke pasar.

baca : Air Terjun Kembar Tiu Teja, Semburat Pelangi Lombok Utara

 

Peringatan satwa laut yang tak boleh ditangkap dari pemerintah di pantai Nipah, Desa Malaka, Pemenang, Lombok Utara, NTB. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Para pembeli atau konsumen yang menikmati hasil olahan laut ini perlu mendapat pengetahuan untuk menelusuri asal usul santapannya. Apakah ditangkap dengan cara yang baik, siapa nelayan atau pembudidayanya, dari daerah laut manakah, dan lainnya.

Sejak tahun 2005 WWF-Indonesia telah mengeluarkan panduan memilih seafood yang ramah lingkungan berupa cetakan kertas ukuran saku bagi konsumen seafood untuk memudahkan mereka mengetahui seafood yang terbaik dan seafood yang tengah mengalami tekanan konsumsi sehingga sebaiknya dihindari untuk dikonsumsi. Sebagai sebuah dokumen yang selalu “hidup” dan berubah sesuai kondisi pendataan populasi terkini, WWF-Indonesia kemudian melakukan revisi pada tahun 2007, kemudian revisi kembali pada tahun 2009, dan 2011 akhirnya versi terakhir pada tahun 2015.

Hasil laut itu dibagi tiga kategori sesuai dengan kondisi penangkapan dan populasinya saat ini. Pertama warna hijau sebagai kode pilihan terbaik, artinya aman dikonsumsi seperti tenggiri, teri jengki, dan tongkol, cakalang, cumi, dan lainnya. Berhati-hatilah dan pertimbangkan mengonsumsi produk (kuning), misalnya ikan gindara, gurita, sotong, gurita, kepiting bakau, dan lainnya. Produk-produk ini seringkali dihasilkan dari cara penangkapan yang tidak lestari atau tidak ramah lingkungan, dan secara umum populasi ikan dalam kategori ini mulai menurun.

Hindarilah memesan seafood dari daftar hindari (merah). Seafood dalam daftar ini mengalami penurunan populasi yang serius di alam dan dalam proses penangkapannya sangat merusak dan memungkinkan terjadinyapenangkapan satwa langka atau dilindungi. Misalnya bawal hitam, putih, hiu, kakap putih, kuda laut, telur ikan, tuna sirip biru, dan lainnya. Daftar ini belum lengkap dan bisa berubah kategori.

baca : Ini Candi Narmada, Spirit Sumber Air Gunung Rinjani

 

Produk-produk perikanan yang ditangkap dengan memperhatikan cara sampai bobot ikan. Ini anggota dari Seafood Savers. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Sejumlah catatan WWF Indonesia terkait fakta-fakta di balik perikanan kita di antaranya lobster, ikan hiu dan kerapu membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk tumbuh dan menjadi dewasa. Lobster dan kerapu pada umumnya ditangkap dengan cara menyemprotkan racun. Racun tersebut juga membunuh terumbu karang dan satwa laut lainnya.

Hanya sedikit lobster yang mampu bertahan hidup dan menjadi dewasa di alam. Sementara untuk saat ini masih sedikit teknologi yang mampu mengembangbiakkan lobster secara budidaya.

Sirip ikan hiu diambil dari ikan hiu yang seringkali tertangkap dalam jaring atau rawai (longline), dimana lumba-lumba, penyu, burung dan satwa laut lainnya turut menjadi korban. Daging ikan hiu seringkali dibuang setelah siripnya dipotong. Juvenil ikan hiu semakin jarang ditemukan karena adanya penangkapan ikan hiu dewasa secara besar-besaran (penangkapan yang berlebihan atau over-fishing), sehingga tidak mampu memperbaiki populasinya.

Udang ditangkap dengan menggunakan jaring pukan yang merusak ekosistem dasar laut di dekatnya, dan membawa tangkapan-sampingan (bycatch) antara lain penyu dan mamalia laut. Sementara ikan laut dalam seperti tenggiri, tuna dan bobara/kue dapat dijadikan makanan yang lezat dan mudah diolah.

 

Exit mobile version